Suatu saat saya dan saudara-saudara saya mengunjungi dataran tinggi salju yang ada di Jerman. Kami melakukan olahraga dan permainan salju di sana. Ramai orang Jerman yang juga berkunjung ke tempat ini. Begitu mudah pula bagi kami untuk menemukan mobil-mobil yang dari plat kendaraannya menunjukkan bahwa pengendaranya berasal dari Belanda. Sempat saya tanyakan pada saudara saya, apa tidak ada salju di Belanda, sehingga mereka harus jauh-jauh berolahraga salju ke Jerman.
Sepulang dari pengalaman yang amat mengesankan saya itu, kami menginap di kamar salah satu saudara kami. Waktu itu masih suasana 1 Muharram. Kami pun makan bersama. Saudara-saudara saya yang pandai memasak mempersiapkan masakan. Bahan-bahannya kami beli bersama di supermarket terdekat.
Ketika salah seorang saudara saya sedang meracik masakan, saudara saya lainnya datang ke dapur membawa buku mengenai sirah Sahabat. Agak kaget juga saya melihat apa yang dibawanya. Ya, ia hanya ingin kami mengenang dan belajar dari kehidupan Sahabat. Ia tanyakan pada kami, siapa Sahabat yang ingin dibacakan kisahnya. Waktu itu saya menjawab Khalid bin Walid.
Saya ingin tahu lebih banyak mengenai sahabat yang satu ini. Kisah ketika Sahabat ini sudah masuk Islam begitu banyak, tetapi yang masih belum saya ketahui adalah bagaimana awalnya seorang panglima perang kaum musyrikin ini bisa berubah menjadi panglima perang kaum muslimin yang selama ia memimpin pertempuran, hanya kemenanganlah yang diraihnya.
Ketika kami beranjak untuk tidur, sudah ada kasur yang bisa dipergunakan oleh kami selain saudara kami yang tuan rumah, untuk dipakai sebagai alas istirahat malam kami. Maksud kami, saudara kami yang tuan rumah bisa tetap tidur di atas tempat tidurnya dan kasurnya yang satu lagi sudah cukup bagi kami.
Tetapi yang dilakukan saudara kami sang tuan rumah adalah mengambil kasurnya yang masih ada di tempat tidurnya dan menggabungkan dengan kasur yang sudah dipersiapkan lebih dulu di lantai berkarpet. Ia beralasan ingin sama-sama tidur di bawah. Ketika kami hendak tidur, selimut pun terbatas.
Saya sendiri membawa selimut yang menyerupai sleeping bag, walau bahannya hanya layaknya bahan sprei. Selimut saya hanya cukup untuk satu orang, jadi saya tidak punya masalah dengan selimut untuk tidur. Tetapi ketika dua saudara kami lainnya mendapat hanya satu selimut yang lebar dan hendak dipakai berdua, maka seorang saudara saya mengatakan bahwa tidak boleh seorang muslim tidur satu selimut dengan saudaranya yang lain.
Ia katakan begitulah yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ia pun menolak bentangan selimut yang ditutupkan ke atasnya. Saudara saya lainnya yang sudah lebih dulu ditutupi bentangan selimut lebar itu lalu juga mengulurkan selimut ke bawah hingga hanya menutup kakinya. Ketika saya tanyakan alasannya, ia menjawab bahwa ia memang tahu hal tersebut dan takut bila kemudian mengabaikan contoh dari Rasulullah ini.
Jumlah kami waktu itu mengharuskan ada seorang di antara kami yang harus rela tidur tidak di atas kasur yang dibentangkan horizontal. Saya sebenarnya sudah lebih dahulu mengambil posisi ini, walau saudara saya lainnya meyakinkan bahwa tempat di kasur itu masih cukup, tetapi rasanya hal itu terlalu dipaksakan bila ingin dicoba.
Tetapi kemudian seorang saudara saya yang masih di depan meja komputer mengatakan pada saya bahwa biar ia yang mengambil posisi ini, karena ia sendiri belum mau tidur. Ia agak bersikeras bahwa saya pindah saja ke atas kasur, dan ia yang akan menempati posisi ini. Ketika kami larut dalam tidur, sesekali saya tersadar.
Saya hanya mendengar saudara saya yang menolak untuk tidur dalam satu selimut mengubah-ubah posisi tidurnya karena rela kedinginan asal sunnah Rasulnya ia patuhi dan gerakan badan saudara saya lainnya yang entah apakah ia bisa tidur dengan nyenyak di atas lantai yang keras hanya karena mendahulukan saudaranya ketimbang dirinya.
Ketika pada kesempatan lain saya menginap di tempat saudara-saudara saya, banyak pelajaran yang saya dapati dari mereka. Pernah saya kunjungi kamar seorang saudara saya yang banyak ditempeli kertas-kertas bergambar tidak jelas, maksudnya maknanya tidak jelas saya tangkap.
Saya tanyakan padanya apa maksudnya, ia hanya diam sambil tersenyum seolah itu adalah rahasianya. Berusaha saya merayunya karena rasa penasaran saya, tetapi ia tetap tidak bergeming. Akhirnya saya hanya menanyakan apa maksud dari gambar sederhana sebuah masjid di dekatnya. Ia lalu menunjukkan pada saya sebuah benda yang mirip toples kecil yang berisi uang-uang kecil. Saya awalnya mengira itu hanya tempat dia menyimpan uang kecilnya. Ia lalu berujar, uang di dalam toples itu untuk apa yang ada di gambar tersebut. Ia katakan bahwa ia ingin kelak membangun masjid, dan ia memulainya dari apa yang terkumpul di toples kecil tersebut. Ketika saya mengaitkan dengan gambar sebuah bukit di dekat gambar masjid tersebut dan bertanya apakah ini maksudnya sedikit-sedkit lama-lama menjadi bukit, ia tidak menjawab selain dengan senyuman yang hanya membuat saya penasaran.
Ia pun mengatakan pada saya, ada tiga amal yang memerisai diri seorang mukmin setiap mengawali harinya. Bila perisai yang satu lepas, maka perisai yang lain akan tetap melindungi seorang mukmin itu. Ia katakan amal-amal tersebut adalah shalat fajar, zikir dan doa pagi hari, dan berinfaq di awal hari. Apa yang ada di toples itu adalah infaqnya sebagai perisai dari perisai-perisai lain yang telah dipersiapkannya setiap ia mengawali hari-harinya.(Bersambung)