Sebagian mufasir yang lain mengatakan bahwa perbedaan ungkapan itu disebabkan perbedaan tempat terjadinya mukjizat—mukjizat terjadi berkali-kali di tempat yang berbeda. Menurut yang terakhir ini perubahan bentuk tongkat menjadi ular jantan yang besar terjadi di hadapan Firaun, sedangkan perubahannya menjadi ular kecil terjadi pada malam ketika Nabi Musa diseru Allah untuk pertama kalinya.
Ada juga yang memahami su’ban berarti ular yang panjang dan lincah, hayyah berarti tumpukan badan ular yang menyatu dan menakutkan, sedang jan berarti ular
yang sangat menakutkan. Perbedaan penampakan ular itu disesuaikan dengan tempat, sasaran, dan tujuan penampakannya.
Perbedaan penyebutan bentuk ular dalam kisah Nabi Musa merupakan salah satu bukti kehebatan Alqur’an dalam memilih kata-kata yang harmonis sesuai situasi dan konteks kisah secara keseluruhan. Kalau tongkat itu hanya berubah menjadi seekor ular yang merayap, mengapa Musa melihat ular itu bergerak gesit dan seberapa besar ular itu hingga membuat Firaun begitu takut ketika Musa melemparkan tongkatnya, masih perlu jawaban.
Pertemuan Musa dan Firaun merupakan kisah yang sering diulang dalam al-Qur’an, bahkan bisa dikatakan kisah ini adalah peristiwa yang paling banyak diulang dari sekian banyak pengulangan kisah-kisah dalam AlQur’an. Pemunculan mukjizat ular ini dapat dipahami sebagai upaya Al-Qur’an untuk menunjukan arti penting pertemuan Musa dan Firaun.
Bahwa pada setiap zaman akan ada perseteruan antara yang hak dan batil, yang berkesudahan dengan kemenangan yang hak dan berasal dari Allah. Dalam Surah Toha: 66 dan asy-Syu’ara’: 44, ular-ular yang dilemparkan oleh penyihir-penyihir Firaun diungkapkan dengan lafal hibal.