Namun karena ada maksud lain, putri sang Qadhi memohon kepada ayahnya supaya menerima lamaran tersebut. Akibat desakan putrinya, Sang Qadhi pun mengabulkan permintaan putrinya dan bersedia menikahkannya dengan al-Zamakhsyari.
Singkat cerita, setelah akad nikah dilangsungkan, tibalah malam pertama bagi suami istri ini. Sebelum memulainya, sang istri mengatakan kepada suaminya, “Duhai Suamiku pujaan hatiku. Sesungguhnya malam pertama ini adalah salah satu kenikmatan terbesar bagi pasangan suami isteri di dunia. Aku harap di malam yang indah ini engkau melakukannya denganku sebanyak 70 kali.”
Kata-kata itu jadi pembuka alias muqaddimah shughra sang istri dalam rangka menggiring opini untuk melemahkan paham teologi suaminya yang tidak satu madzhab.
Al-Zamakhsyari merasa terkejut dan keberatan dengan permintaan istrinya tersebut. Ia menilai permintaan istrinya ini sungguh terlampau berat dan dia takut akan tantangan istrinya ini.
Akhirnya dia pun mengatakan tidak sanggup melayani istrinya berhubungan intim sebanyak itu. Hampir tidak ditemukan laki-laki seperkasa manapun yang mampu melakukan hubungan suami istri sebanyak permintaan istrinya.
Mengetahui reaksi suaminya yang tampak kewalahan, sang istri akhirnya menyerang suaminya dengan pertanyaan yang semakin memojokkan madzhab yang dianut suaminya.
“Bukankah engkau mengatakan bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya sendiri? Sekarang aku beri dua pilihan. Kita bercinta sebanyak tujuh puluh kali atau engkau cabut dan bertobat atas pendapatmu itu!” kata sang istri sambil mendesak.
“Iya, aku akan bertobat dari pendapatku itu!,” ujar Al-Zamakhsyari.
Sejak saat itu, Al-Zamakhsyari bertobat dari madzhab Mu’tazilah kemudian memeluk paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah.