“Bung Kusni”, begitu sesama laskar pejuang kemerdekaan memanggilnya. Seorang pemurung pendiam yang berkulit cerah. Berkumis tipis. Posturnya tidak tinggi. Berperawakan kecil sekaligus tidak bertulang besar. Namun liat dan bertenaga kuat. Sorot mata Kasdut tajam dan pemberani. Solidaritasnya sesama pejuang juga tinggi.
Saat itu namanya masih Kusni . Belum ada tambahan Kasdut di belakangnya. Kusni juga terlibat aksi pelucutan senjata tentara Jepang. Di Malang. Ia ikut memimpin penyerbuan gudang-gudang senjata. Menggasak amunisi sekaligus membagi-bagikan ke sesama pejuang. Tidak terkecuali aset-aset vital. Kusni juga ikut merebut paksa.
Tentara Jepang yang mentalnya sudah ambruk karena kalah perang , ditawan. Yang nekat melawan, dengan terpaksa mereka habisi. Jelang akhir Oktober 1945. Surabaya yang kelak menjadi ibu kota Jawa Timur, tengah bergolak. Inggris dengan NICA yang diboncengi tentara Belanda hendak menjajah kembali Indonesia melalui Surabaya.
Sejak September 1945 pasukan Inggris sudah masuk Semarang. Mendengar kabar itu, darah Kusni mendidih . Berbekal sepucuk bedil thomson rampasan, ditambah sebutir granat rakitan produksi Claket (Malang), serta semangat nasionalisme yang menyala-nyala, Kusni Kasdut bertolak ke Surabaya.
“Kusni dan rombongan naik kereta api menuju Surabaya. Sejak waktu masih di Rampal sampai dekat kota (Malang), suasana terus makin panas,” tulis Parakitri dalam buku “Kusni Kasdut”.
Kusni Kasdut berasal dari Blitar. Begitu cerita yang terlanjur tersebar luas. Kelak saat diinterogasi aparat kepolisian Semarang, Jakarta, dan Surabaya, atas aksi kejahatan yang dilakukan, ia juga menyampaikan cerita serupa. Ia selalu mengaku lahir di Desa Jatituri, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, pada akhir tahun 1929.
Daniel Dhakidae dalam “Menerjang Badai Kekuasaan” mengatakan: “Mencari tahu kapan Kusni Kasdut dilahirkan sama dengan mencari jarum dalam jerami. Hampir tidak ada catatan yang bisa dipercaya untuk menentukan tanggal lahirnya”.
“Namun untuk keperluan resmi tanggal lahir yang dicatatnya sendiri adalah 29 Desember 1929,” tulis Daniel Dhakidae. Kastun atau akrab dipanggil Mbok Cilik, adalah nama ibu Kusni Kasdut . Seorang penjual pecel di Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang.
Cerita tentang asal-usul Kusni Kasdut dari Blitar, datang dari Kastun. Kisah itu diungkap saat Kusni hendak pamit berjuang mengusir penjajah Inggris, dan Belanda, di Surabaya. Bukannya percaya. Kusni Kasdut malah marah. Termasuk bapaknya yang dikatakan seorang Lurah Jatituri yang mati karena disiksa Jepang, Kusni juga tak percaya.
Beragam pertanyaan berpusing di kepalanya: “Kenapa selama ini dirahasiakan? Ada apa? Kenapa tidak tinggal saja di Blitar? Kenapa hidup dengan menyewa rumah di Malang?. Kusni Kasdut sempat mendatangi Desa Jatituri, Blitar, dan menemui kepala desa di sana”.
Namun ia mendapati jawaban yang mengecewakan. Nama-nama yang disebut ibunya, tidak pernah ada. Kecurigaanya terlahir sebagai anak haram , makin berlipat. Kecewanya ditumpahkan dengan ancaman tidak sudi pulang sebelum ibunya bercerita yang sebenarnya.
Dalam buku “Kusni Kasdut”, Parakitri menulis, Kusni Kasdut ternyata memang bukan berasal dari Blitar. Juga bukan dari Malang. Kusni lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung. Sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar.
Wonomejo, ayahnya bukan kepala desa. Ayahnya seorang petani biasa. Sebelum menikahi Kastun dan memiliki anak Kusni Kasdut , Wonomejo sudah memiliki istri dengan delapan anak. Sementara Kastun sebelumnya adalah istri adik kandung Wonomejo, yang dari pernikahannnya dikaruniai satu anak perempuan yang diberi nama Kuntring.