”Ustadz ini seperti orang sinting saja,” kata Camat Wonosari Camat Lukman Amu SPd, MM, menanggapi permintaan Ustadz Mawardi. Bagaimana tidak. Senin kemarin mereka duduk bersama di Kantor Kecamatan tanpa bicara soal naik haji sama sekali. Tiba-tiba Selasa esok harinya Ustadz datang lagi ke Kecamatan, mau pinjam uang untuk ongkos naik pesawat ke Jakarta karena akan berangkat haji. Cerita apa ini, kayak Kisah 1001 Malam saja. ”Ustadz ini seharusnya pergi saja ke Rumah Sakit Jiwa,” ucap Pak Camat kesal.
Mawardi Yusuf hanya mampu menghela nafas. Jangankan Pak Camat, keluarganya sendiri pun tak ada yang percaya dia akan naik haji, kecuali sang istri. Demikian pula warga Desa Dimito, hanya tertawa mendengar cerita Ustadz mau naik haji. ”Ustadz Mawardi itu kerja di mana, gajinya berapa, kok tiba-tiba mampu naik haji. Dia kan kerjanya hanya dakwah,” celoteh seorang tetangganya.
Kabar gembira itu memang begitu mendadak. Senin malam sepulang menemui Pak Camat, Ustadz Mawardi ditelepon dari Kantor Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Jakarta. ”Ustadz, antum berangkat haji tahun ini. Segera siap-siap, dan harus sudah tiba di Jakarta dalam pekan ini,” begitu pesan dari induk organisasinya.
Tentu saja Mawardi terperangah mendengar kabar tanpa ba-bi-bu itu. Dia sampai tiga kali mengonfirmasi berita tersebut hingga haqqul yaqin.
Setelah pontang-panting kesana-kemari, akhirnya Ustadz Mawardi mendapat pinjaman ongkos dari seorang saudara istrinya di Kota Boalemo. Diapun mengantongi tiket pesawat ke Jakarta. Petang sebelum berangkat ke Bandara Djalaluddin, Ustadz Mawardi dan istrinya, Maryam Pakaya, mengundang para tetangga untuk walimatus safar haji. Tetangga memang berdatangan. Tapi, bukan untuk mendoakan keberangkatannya, melainkan mencemooh. Mereka pun ogah masuk rumah Ustadz untuk menikmati sajian syukuran kecil.
Malam itu juga, dengan hanya ditemani istri dan Idris anaknya, Ustadz Mawardi pergi ke kota yang jaraknya sekitar 55 km dari Dimito. Esoknya, Ustadz akan terbang ke Jakarta dengan pesawat paling pagi.
Sepekan kemudian, nomor telepon asing berawalan +966 menderingkan ponsel Camat Wonosari, Kab Boalemo, Gorontalo.
”Siapa ini?” tanya Lukman Amu.
Ustadz Mawardi! Ternyata Sang Ustadz pembina Wonosari itu yang menelepon dari Masjidil Haram di Makkah.
”Masya Allah, jadi benar rupanya Ustadz naik haji,” Lukman Amu terperangah. Tiba-tiba ia merasa sangat menyesal telah mengingkari Ustadz. Ternyata Sang Ustadz bukan saja naik haji, melainkan berhaji dengan ONH Plus!
Maka, tergopoh-gopoh Camat Wonosari lalu ngebut ke Desa Dimito. Sesampainya di sana, ia berseru lewat pengeras suara Masjid Darul Falah: ”… Ustadz Mawardi Yusuf memang sedang menunaikan ibadah haji, tadi beliau menelepon saya langsung dari Makkah….”
Tak hanya itu. Ketika dua pekan kemudian Ustadz Mawardi pulang haji, Lukman Amu menyambutnya dengan pesta syukuran di rumah Ustadz. Seluruh biaya dia yang bayar. ”Masya Allah Ustadz, maafkan saya. Kalau tahu begini, waktu itu pasti saya akan kasih uang Ustadz, bukan hanya meminjamkan,” ucap Camat Wonosari sambil memeluk hangat Ustadz Haji Mawardi.
Pelukan Pak Natsir Mawardi N Yusuf, termasuk da’i generasi tahun 1990-an yang dikirim Dewan Da’wah ke pedalaman Nusantara. Sebelum bertugas, ia bersama puluhan da’i muda lainnya digembleng di Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea, Bogor.
DR Mohammad Natsir, salah satu mentor mereka. Sebelum melepas para da’i, Pak Natsir menyalami dan memeluk mereka satu persatu. Wasiat da’wah pun dibisikkan mantan Perdana Menteri RI yang juga pendiri Dewan Da’wah itu.
Kelak, taushiyah dan pelukan Pak Natsir, menjadi kenangan sekaligus energi besar bagi para da’i. ”Kalaulah bukan karena amanat dakwah yang diwasiatkan Pak Natsir, da’i Dewan Da’wah tidak akan tahan hidup di pedalaman,” ucap Mawardi Yusuf.
Ketika diterjunkan ke Wonosari yang waktu itu masih bagian dari kecamatan Paguyaman, Ustadz Mawardi seperti berdakwah di ”Indonesia Kecil”. Di daerah transmigrasi tersebut, berdatangan keluarga-keluarga trans dari berbagai suku di Tanah Air; Lombok, Bali, Madura, Jawa, Minahasa, Makasar, dan lain-lain.
Di tengah hutan yang baru dibuka sebagai pemukiman itulah, Mawardi harus berjuang untuk eksis sekaligus menerangi kehidupan kaum transmigran.
Beruntung dia mendapat jodoh Maryam Pakaya, gadis Kota Gorontalo yang mau diajak hidup di tengah hutan. Selain pintar memasak, Maryam juga gesit berkebun dan beternak. Mereka punya sepetak lahan kacang tanah dan seekor sapi, yang ditangani Maryam.
Perempuan ini juga membuka PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) ”Rinjani” di rumahnya. Dia mengajar di situ bersama sejumlah guru lain. Muridnya sekitar 40-an.
Salah satu tantangan dakwah Ustadz Mawardi adalah adat-istiadat yang tidak Islami. Misalnya budaya sunat yang hanya menggores sedikit alat vital bocah lelaki muslim, bukan memotong ujung ”kulup burung” sebagaimana seharusnya. Kalau goresan itu sudah sembuh, si bocah boleh bersunat lagi disertai pesta tiga hari. Begitu seterusnya, sehingga seorang anak dapat bersunat lebih dari dua kali.
Budaya lain adalah feodalisme. Seluruh pengunjung sebuah hajatan tidak boleh bubar dulu, sebelum pejabat desa atau kecamatan apalagi kabupaten, datang. Padahal, para pejabat itu biasa datang sangat terlambat. Selain jalanan yang jauh dan rusak, mereka juga punya bermacam dalih untuk telat.
”Waktu dakwah saya bisa habis hanya untuk menunggu kehadiran pejabat,” keluh Mawardi, yang melayani umat di 14 desa di Kecamatan Wonosari.
”Saya semakin tua, stamina kian lemah. Saya kurus bukan karena kurang makan, tapi terlalu banyak kena angin malam,” ujar Ustadz yang berkendara motor untuk dakwah.
Dalam sehari, ia biasanya melayani undangan dakwah di 3 tempat berbeda. Bukan kemacetan yang jadi kendala menuju lokasi, tapi jarak yang jauh dan kondisi sekujur jalan yang berkubang. Seringkali Ustadz harus menginap di tengah jalan, bila jalan malam dan motor rusak atau turun hujan.
Untuk meneruskan dakwahnya kelak, Ustadz Mawardi menyekolahkan anak sulungnya, Usman Yusuf Mawardi, ke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Gorontalo. ”Alhamdulillah, Usman mendapat beasiswa di sini, tadinya mau saya masukkan ke Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah M Natsir di Jakarta,” ungkap Ustadz.
Mohammad Idris, anak kedua yang masih duduk di kelas 6 SD, juga sudah digadang-gadang agar kelak jadi da’i. ”Saya ingin Idris masuk Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah M Natsir,” harap Ustadz Mawardi.
Dia pun mengundang da’i baru untuk menemaninya di Wonosari. ”Tolong beri saya teman satu da’i lagi. Insya Allah saya sediakan rumah saya untuk ditempati, tanah untuk digarap, dan gadis tercantik untuk diperjodoh,” katanya penuh asa. (nurbowo/humas LAZIS Dewan Da’wah)