Ketika dalam salah satu fase excursion kami di pegunungan salju Alpen bagian Jerman, di dekat Muenchen, para peserta excursion menginap di sebuah Mountain Hut, layaknya pondok di pegunungan. Pengelolanya adalah orang yang amat ramah. Mereka bertiga, sang suami, istri, dan seorang gadis kecil mereka yang lucu. Saya lupa nama ketiganya. Mereka menjaga pondok mereka itu hanya ketika musim panas di mana banyak pendaki gunung yang mampir ke pondok mereka untuk bermalam.
Ya, pegunungan Alpen tetap bersalju walau musim panas, dan ketika musim panas, di mana matahari begitu cerah, mendaki menjadi kenikmatan tersendiri, seolah-olah menjadi penyeimbang suasana dingin dari salju tempat pijakan kaki kami. Waktu itu kami sedang berkumpul di ruang makan menunggu sarapan. Saya dan Jutta duduk berhadapan di meja panjang yang diisi teman-teman kami yang lain. Ketika yang lain ada yang bermain kartu dan mengobrol seru sambil ketawa-ketawa, maka saya yang saat itu melihat Jutta diam sendiri tidak ada yang mengajak ngobrol memulai obrolan.
Saya bertanya padanya, “Apa sebenarnya yang mendasari seseorang itu memilih sebagai vegetarian?” Dia menjawab bahwa tiap vegetarian punya alasan berbeda-beda, tetapi kebanyakan karena mereka menganggap makan daging itu tidak sehat bagi kesehatan tubuh, dan makan sayuran lah yang lebih sehat. Maka saya pun melanjutkan, “Kalau kamu, apa alasan kamu menjadi vegetarian?” Ia menjawab bahwa baginya, manusia pada dasarnya adalah hewan juga. Jadi ketika manusia itu membunuh hewan untuk memakannya, maka itu berarti mereka menyakiti hewan tersebut dan memakan bahagian dari diri mereka sendiri.
Saya katakan padanya bahwa kita tidak akan membahas manusia itu adalah hewan atau tidak, karena itu isu lain. Saya waktu itu hanya tidak ingin membahas Teori Darwin yang saat ini begitu diagung-agungkan semata-mata hanya semakin menunjukkan betapa jelasnya manusia itu membutuhkan Tuhan. Bukankah denial yang amat keras terhadap sesuatu itu hanya menunjukkan kebenaran atas sesuatu yang dibantah. Ya, begitulah bila manusia berusaha membantah nuraninya, berusaha membantah fitrahnya. Manusia itu sebenarnya sadar akan keberadaan Tuhan.
Hanya mereka tidak hendak mengenali Tuhan karena tidak hendak mengambil konsekuensi sebagai seorang pengenal Tuhan. Jadi mereka mencari pelarian untuk melarutkan diri dalam segala hal yang membuat mereka tidak perlu mengingat-ingat keberadaan Tuhan. Sepanjang mereka berada dalam kondisi yang terlupa pada Tuhan maka mereka nyaman dengannya, karena tidak perlu melakukan kewajiban apapun sebagai makhluk Tuhan.
Saya kemudian mengatakan pada Jutta, “Memakan hewan dengan menyembelihnya dan kemudian merasa bahwa hewan itu menderita kan adalah persepsi kita, manusia. Belum tentu hewan tersebut merasa menderita.” Saya katakan bahkan bisa saja hewan tersebut rela disembelih untuk dimakan karena tahu mereka dikorbankan untuk kebaikan manusia.
Saya bilang bahwa hewan itu makhluk Tuhan dan diciptakan untuk kebaikan manusia. “Dalam Islam sendiri, kami punya aturan dalam menyembelih hewan, yaitu langsung pada urat yang membuat hewan itu mengalami fase paling singkat kepada kematiannya. Jadi kami tidak hendak menyiksa hewan, bahkan kami tidak boleh memakan hewan yang terbunuh, misalnya dipanah, atau jatuh dari ketinggian. Bahkan kami menyembelih dengan menyebut nama Tuhan terlebih dahulu sebagai arti bahwa tidaklah kami melakukannya melainkan semata mengharapkan kebaikan dari-Nya.”
Jutta yang terdiam sebentar kemudian hanya menjawab singkat, “Ya, itu kan ditinjau dari segi agama.” Saya yang kurang puas dengan tanggapannya hanya bisa menerima bahwa mungkin memang itulah pemahamannya saat ini, tetapi saya yakin bahwa diamnya Jutta adalah berpikir yang berkepanjangan.