“So, what is Islam?” Begitulah pertanyaan Craig ketika kami berkumpul dalam satu meja sedang menanti makanan dihidangkan. Pada waktu itu adalah masa excursion, kami sedang berhenti di sebuah pinggiran kota, dan Hans, sang koordinator excursion sekaligus salah satu staf pengajar kami memilih tempat yang mirip saung ini sebagai tempat makan siang sekaligus beristirahat sebentar.
Waktu itu saya, Stanley, Craig, dan Jutta[1], sedang duduk di satu meja. Jutta sendiri adalah gadis istimewa yang nanti insyaALLAH akan saya ceritakan. Saya tidak tahu darimana diskusi kami bermula hingga kemudian membicarakan agama, dan kemudian Islam. Stanley menceritakan kondisi negerinya.
Jadi di Nigeria ini jumlah umat Islam dan Katolik hampir seimbang. Bila umat Islam lebih banyak berdomisili di bagian utara, maka umat Katolik di bagian lainnya. Stanley menceritakan bahwa ia mengetahui banyak terjadi konflik antara kedua umat ini. Ia menceritakan aturan-aturan yang saya mendefinisikannya sebagai syariat Islam, di mana ia bilang aturan-aturan itu keras menurutnya, dan kemudian terbawa pada umat Islam. Ia tidak menyalahkan Islam, tetapi ia hanya mengambil kasus dari apa yang terjadi negaranya.
Suatu saat ketika Stanley bertandang ke kamar saya di asrama, waktu itu ia belum memiliki komputer dan ingin berinternet dengan laptop saya. Saat itu bertepatan dengan Bulan Ramadhan. Maka ketika dia tahu saya berpuasa dan juga waktu itu meminta izin padanya untuk sejenak tidak menemaninya karena hendak shalat, maka ia katakan bahwa ia juga mengenal seorang teman muslim di negaranya yang mempraktekkan Islam, dan ia katakan bahwa temannya itu adalah teman baiknya.
Menjawab pertanyaan Stanley seperti itu, maka saya katakan padanya, “Apakah kamu tahu apa itu syariat?” Saya katakan bahwa syariat itu adalah segala cara untuk melakukan sesuatu. Makan kita butuh caranya, tidur kita perlu tahu caranya, ke toilet kita perlu tahu caranya. Jadi segala sesuatu yang butuh suatu cara untuk melakukannya maka dengan sendirinya ia perlu syariat. Jadi untuk hidup ini perlu syariat. Nah, syariat Islam mengatur segala sesuatu ini. Saya katakan bahwa kalau saya makan, maka saya mengikut bagaimana aturan Islam mengatur makan, kalau saya ke toilet, saya mengikut bagaimana Islam mengatur bila ke toilet. Jadi sampai hal-hal yang kecil pun diatur dalam Islam.
Saya kemudian melanjutkan dengan nada yang agak keras bahwa, “Bila kamu mau tahu apa itu Islam, jangan melihatnya dari umat Islam, amat sedikit umat Islam yang mempraktekkan Islam. Baca Al Quran, di situlah kamu akan menemukan Islam.”
Saya juga menceritakan pada Stanley, bahwa banyak negara muslim yang masih bergelimang korupsi, dan saya katakan apakah lalu dia melihat ini sebagai Islam? “Itu bukan Islam, Islam itu menyisihkan 2,5 % pendapatannya untuk orang-orang miskin di sekitarnya. Apa Islam itu teroris? Dalam Islam, membunuh seorang manusia tanpa alasan yang jelas sama dengan membunuh seluruh umat manusia, jadi bagaimana bisa dibilang Islam itu teroris? Dalam Islam, kami berperang hanya jika kami diserang terlebih dahulu, barulah kami balas menyerang. Bahkan ketika berperang kami ada akhlak tersendiri untuk tidak menebang pohon-pohon, menghancurkan tempat ibadah, membunuh wanita dan anak-anak, orang-orang yang tidak berdaya, bahkan tawanan perang pun kami perlakukan selayaknya kami memperlakukan tentara kami.”
Entahlah, tetapi kalau menjelaskan Islam kepada orang yang belum tahu apalagi sudah punya stigma negatif saja, saya rasanya amat bersemangat dan tahan melayani serbuan pertanyaan dan kadang argumentasi mereka. Kemudian saya berpaling kepada Craig, dan saya katakan, “Craig, Islam itu bukan agama. Islam is not a religion.” Lalu Craig pun heran bertanya pada saya, “So, what is Islam?” Saya hanya menjawab, “I difficult to find the correct word to define Islam in English, but may be you can use this word. Islam is a way of life.”
Ya, saya jelaskan pada Craig bahwa selama ini kita banyak terikat pada definisi formal. Agama menjadi sebuah lembaga formal, seolah disebut beragama bila pakaiannya mencerminkan agamanya, datang ke gedung yang mencerminkan agamanya, kemudian di luar itu tidak ada lagi agama. Itulah masalah kalau agama hanya sekadar formalitas.
Maka saya katakan padanya bahwa Islam itu adalah cara hidup. Bahkan hingga sekarang saya sendiri tidak begitu nyaman dengan penggunaan istilah “agama” dalam Bahasa Indonesia untuk mengartikan “Din” dalam Bahasa Arab, entahlah terasa maknanya menjadi lebih sempit saja. (Bersambung)
Catatan :
[1] Baca : Yutta