Saya melihat Linnich-Flossdorf ini di Googlemap[1]. Benarlah bahwa tempat yang akan saya tempati itu tidak lain adalah sebuah desa. Desanya kecil, hanya ada satu jalan raya yang menghubungkan desa ini ke Juelich. Tetapi dalam hati saya hanya berujar inilah yang terbaik dari ALLAH. Karena saya berencana membawa dua kopor besar, dan melihat medan tempuh yang tidak begitu fleksibel dari segi transportasi, maka saya menghubungi saudara saya Aulia di Dortmund untuk membantu saya pindahan ke desa ini. Kami bersepakat untuk bertemu di Koeln.
Ketika sampai di Juelich, maka kesan saya adalah inilah pertama kali saya melihat Bahnhof[2] seperti ini, dan ZOB[3] seperti ini. Tidak ada atap yang menaungi Bahnhof melainkan langit. Bahnhof yang selama ini saya kenal adalah gedung agak besar yang tertutup dan biasanya di dalamya terdapat kedai-kedai kecil, menjual buku, majalah, dan makanan. Tetapi Bahnhof yang satu ini begitu polos, cuma ada rel, pijakan atau peron yang menyambut para penumpang yang turun dari kereta, bahkan mesin tiket otomatis pun rusak tidak bisa dipakai. Sampai saat ini pun mesin itu tidak juga bisa dipakai, sehingga bila ingin membeli tiket saya harus membeli di kios yang buka di Bahnhof, hanya itulah satu-satunya kios di Bahnhof tersebut.
Waktu itu yang masih musim panas semakin membuat betapa tidak menariknya kota Juelich ini bagi pendatang seperti kami. ZOB yang terlihat tidak terawat dan debu yang mencolok pada tiap bus yang sedang parkir, bangku-bangku besi dengan atap kaca hanya sekadar untuk mereka yang menunggu bis, seolah-olah menjadi sinyal bahwa tidak ramai orang yang berkunjung ke kota ini. Aulia bahkan menyuruh saya melihat ke salah seorang sopir bis yang dengan dada telanjang sedang membaca koran di dalam bis. Ya, pantaslah orang kepanasan membuka baju, tetapi untuk seorang sopir bis di Jerman?
Betul-betul saat itu saya hanya meyakinkan diri saya untuk menerima kondisi kota ini yang memang beginilah adanya. Sampai saya menulis tulisan ini hanya dua orang yang pernah sampai ke kamar saya di Flossdorf, yaitu Aulia, dan Thomas, teman saya yang sedang PhD di Forschungszentrum Juelich, yang berasal dari Kenya. Sebetulnya ada satu saudara saya yang tinggal selangkah lagi menginjakkan kaki ke desa saya ini, yaitu Hafez dari Duisburg, tetapi pada waktu itu belum memungkinkan karena jadwal bis dari Juelich ke Flossdorf yang sejam sekali menyulitkannya untuk menyesuaikan rencananya hari itu.
Ya hari itu bertepatan dengan adanya demo solidaritas muslim Jerman menentang agresi militer Israel terhadap Palestina di kota Dortmund. Kami sudah sampai di Juelich, tetapi setelah melihat jadwal kereta balik menuju Duisburg dan Dortmund, maka akhirnya kami memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar pusat kota saja.
Perjalanan dengan bis dari Juelich ke Flossdorf sekitar 15-20 menit. Saya masih ingat Aulia menunjukkan pada saya batas kota Juelich yang kami lewati saking kecilnya kota ini. Sepanjang perjalanan yang banyak kami lihat adalah ladang. Kami harus melewati beberapa desa sebelum akhirnya kami sampai di Flossdorf. Sempat saya tanyakan pada saudara saya Aulia apakah memungkinkan bila rute ini ditempuh dengan sepeda setiap hari. Dia hanya berujar kalau jarak tempuh sepeda masih 30 menit wajar, tetapi kalau sudah 40 menit rasanya itu terhitung jauh untuk sepeda.
Kami pun berhenti di Abzweigung Flossdorf[4] , begitulah halte itu disebut. Sebenarnya yang mengidentifikasikan tempat tersebut adalah halte hanya sebuah tiang dengan tulisan “H” yang hampir saja tidak terlihat oleh saya karena letaknya yang berdekatan dengan pohon rindang di dekatnya. Kami sempat berdiskusi menentukan mengambil jalan yang mana. Menurut peta yang saya bawa, maka jarak dari halte ke rumah tidaklah jauh, mungkin sekitar 10 menit jalan kaki. Ketika kami sedang hendak memutuskan memilih suatu jalan, tiba-tiba ada sebuah mobil datang dan berhenti di dekat kami. Di balik kaca yang diturunkan, tampaklah seorang wanita tua, kalau boleh saya menyebutnya seorang nenek yang menyapa kami. Awalnya saya tidak mengerti apa yang dia katakan, tetapi kemudian barulah saya sadar bahwa dialah sang pemilik rumah yang menjemput kami.(Bersambung)
Catatan :
[1] Layanan peta online oleh Google
[2] Stasiun kereta api
[3] Terminal bis
[4] Persimpangan Flossdorf