Selang waktu yang saya miliki untuk mencari pemondokan dan jadwal mulai tesis hanya sepekan. Waktu itu saya dan teman-teman kuliah baru selesai dari excursion selama dua pekan menjelajahi sedikit pelosok Jerman. Saya masih di Oldenburg, dan tidak mungkin bagi saya datang ke Juelich hanya untuk melihat-lihat tempat yang akan dijadikan pemondokan, karena letaknya yang jauh dari Oldenburg. Jadi saya hanya mengandalkan internet untuk mencari pemondokan. Hanya ada sedikit penawaran WG[1] yang tersedia di internet untuk kota Juelich.
Ya, Juelich kotanya memang kecil, mungkin dua titik terpanjang di kota ini hanya 5 km. Tawaran yang ada mahal, tetapi ada satu yang murah, maka saya kirim aplikasi melalui fasilitas internet. Saya sempat bertanya pada saudara saya, Aulia di Dortmund, apa sarannya untuk menemukan pemondokan di Juelich. Ia kemudian memberi saran bahwa bila tidak menemukan tempat di Juelich, maka coba cari di kota terdekat, seperti di Dueren. Waktu itu saya hanya berpikir bahwa saya harus mengeluarkan ongkos untuk transportasi karena semester ticket[2] saya tidak berlaku di wilayah ini. Maka bagi saya bila saya harus mengeluarkan banyak uang hanya untuk ongkos pulang-pergi sayang rasanya.
Kemudian saya diberi kontak oleh saudara saya, Johar di Hannover, agar mengontak Ismail di Aachen, mungkin ia bisa ikut memberi saran mengenai masalah saya. Maka saya pun mengontak saudara saya Ismail, dan ia mengatakan bahwa ia juga belum pernah ke Juelich, tetapi dahulu ada orang Indonesia di Aachen yang juga riset di Juelich, dan tiap hari pulang pergi dengan mobil, dan tidaklah lama jarak tempuhnya. Ia menyarankan saya untuk coba tinggal di Aachen saja dulu, bahkan ia menyediakan tempatnya untuk saya tinggali sementara selama saya belum menemukan kamar.
Ia berkata bahwa nanti dia akan menemani saya mencari kamar yang cocok bagi saya di Aachen. Ia menyarankan saya untuk mencari informasi di pusat riset tersebut jika ada peneliti-peneliti di sana yang menawarkan mobilnya untuk pulang-pergi bersama Aachen-Juelich setiap hari kerja. Tetapi setelah saya pikir-pikir, bukannya saya menolak kebaikan dari saudara-saudara saya, tetapi saya hanya berpikir ketika sudah memulai tesis, saya tidak mau dipusingkan lagi dengan mencari pemondokan ini. Akhirnya untuk sementara saya menunggu balasan dari aplikasi yang telah saya kirim.
Keesokannya saya langsung mendapat balasan dan karena ingin lebih lancar komunikasinya maka saya menelepon yang mengontak saya via email. Dia adalah seorang mahasiswa Jerman, kami langsung akrab mengobrol, dan saya jelaskan kondisi saya apa adanya bahwa saya amat memerlukan kamar mulai pekan depan, dan tidak bisa datang ke Juelich hanya untuk melihat kamar tersebut. Ia mengerti keadaan saya dan berjanji akan menanyakan ini pada sang nyonya pemilik WG. Ia meminta saya untuk menelepon lagi hari berikutnya.
Esoknya saya menelepon lagi, dan dia dengan agak sedih mengatakan bahwa nyonya rumahnya agak keberatan dengan mahasiswa asing, walaupun dia dan teman-temannya di WG tersebut tidak keberatan. Karena itu, untuk membuat nyonya rumah yakin dengan saya, maka sebaiknya saya datang ke Juelich melihat langsung tempatnya dan bertemu dengan sang nyonya rumah. Saya kemudian mengulangi lagi kondisi saya yang tidak memungkinkan untuk datang kesana. Maka saya pun memintanya memberi saya nomor telepon sang pemilik WG.
Setelah saya mengucapkan terima kasih karena sudah berusaha membantu saya, maka saya beralih menelepon sang nyonya rumah. Saya pun langsung mengutarakan niat saya, apa yang akan saya lakukan di Juelich, dan menjelaskan kondisi saya yang amat memerlukan pemondokan, serta tidak memungkinkan bila saat ini harus ke Juelich. Dia hanya menjawab bahwa sulit baginya memberi kamar di rumahnya bagi orang yang belum ia kenal, dan meminta saya untuk datang saja, kalau tidak bisa, ya dia juga tidak bisa memberikan kamar tersebut.
Mendengar penjelasannya maka kami pun mengakhiri pembicaraan sambil saya bilang akan pikir-pikir dulu. Tiba-tiba tercetus ide untuk meminta Dr. Steinberger untuk berbicara dengan sang nyonya rumah, mungkin Dr. Steinberger bisa meyakinkan bahwa saya bisa dipercaya. Maka saya pun mengirim e-mail pada Dr. Steinberger yang sedang di Juelich, dan menceritakan masalah saya serta berharap dia mau membantu saya. Pada malam harinya saya menerima e-mail dari Dr. Steinberger bahwa dia sudah berbicara dengan sang nyonya rumah , dan sang nyonya tetap pada pendiriannya. Dr. Steinberger malah sempat melihat rumah tersebut sehabis pulang kerja, dan mengatakan pada saya bahwa tempatnya sebenarnya cukup bagus.
Apa daya, saya pun hanya menerima kabar dari Dr. Steinberger tersebut sambil bingung apa langkah selanjutnya yang dilakukan. Dalam e-mail tersebut Dr. Steinberger mengatakan akan berusaha ikut mencarikan pemondokan bagi saya. Saya tentu saja senang dengan niat Dr. Steinberger, walau saya sendiri tahu bahwa bagaimanapun amat sulit menemukan pemondokan dalam waktu singkat ini. Sebenarnya Forschungszentrum Juelich memiliki Guest House yang bisa dipakai oleh para peneliti dan mahasiwa yang terlibat di pusat riset ini. Guest House ini bisa disewa untuk jangka pendek maupun yang lebih panjang, tetapi hanya satu alasan saya tidak mencoba alternatif ini, yaitu mahal.
Ketika saya sedang bingung, lalu saya coba lagi buka situs yang menginformasikan pemondokan di sekitar Juelich, mana tahu ada penawaran baru. Ternyata saya menemukan ada tawaran baru, tetapi alamatnya tidak tepat di Juelich, melainkan di Linnich-Flossdorf[3]. Maka saya telepon nomor yang tertera di halaman informasi tersebut. Yang mengangkat adalah seorang laki-laki. Ia gembira mengetahui saya berminat dengan tawaran tersebut. Ia bilang rumah itu adalah milik ibu mertuanya, kemudian ia memberi saya nomor telepon untuk langsung berbicara dengan sang pemilik rumah. Maka saya pun menelepon sang pemilik rumah.
Suara perempuan yang sepertinya sudah tua menyambut saya. Ia mengatakan bahwa silahkan saya tinggal di tempatnya. Bahkan ia tidak mempermasalahkan jika saya langsung datang dan langsung tinggal tanpa bertemu dulu dengannya, melihat tempat tersebut. Ketika ia bertanya saya darimana, dan menjawab dari Indonesia, maka dengan nada ramah ia mengatakan bahwa dulu dia juga pernah mendapat penghuni kamar dari Malaysia. Akhir pembicaraan di telepon, saya malah aneh sendiri, ternyata masih ada hal seperti ini di Jerman. Tiada ucapan saat itu yang saya bisikkan ke hati saya melainkan Alhamdulillah. (Bersambung)
Catatan :
[1] Wohngemeinschaft, layaknya kosan di Indonesia
[2] Tiket mahasiswa yang berlaku selama satu semester untuk bebas menggunakan segala sarana transportasi yang terlingkupi dalam area tempat studi sang mahasiswa
[3] Dorf sendiri berarti desa