Ian, Scott, dan Craig berasal dari Amerika Serikat. Dalam pandangan saya, orang-orang Amerika memang sangat ramah, bahkan dari yang saya dapati ketika bergaul dengan teman-teman dari Barat lainnya, mereka lah yang paling ramah dan supel. Mereka lebih terbuka ketimbang bangsa Jerman yang agak tertutup. Mereka bicara apa adanya, kadang kata-kata kasar pun meluncur dari mulut mereka seolah itu sudah biasa menjadi ekspresi mereka dalam bergaul.
Waktu itu sedang masa persaingan antara Hillary Clinton dan Barrack Obama untuk menjadi kandidat dari Partai Demokrat. Saya, Ian, dan Scott sedang satu meja di kantin kampus. Kami pun mengbrol tentang hiruk pikuk pemilu di AS. Mereka berdua ternyata mendukung Obama, bahkan Scott lebih aktif lagi dengan ikut sebagai tim kampanye melalui internet.
Saya masih ingat bagaimana ketika kami sedang melakukan excursion keliling Jerman, dan tidak setiap tempat penginapan menyediakan internet. Maka ketika suatu saat di sebuah penginapan mahasiswa kami ada internet, saya dapati Stanley dan Scott sedang di depan internet mengamati hasil penghitungan suara sementara di mana Obama unggul. Mereka terlihat begitu gembira dan ribut dengan ekspresi kegembiraan mereka. Stanley juga mendukung Obama, ia bilang, “He is my man”.
Ketika Obama akhirnya menjadi Presiden AS, maka saya mengirim e-mail padanya untuk mengucapkan selamat padanya bahwa “orangnya” telah menjadi presiden. Saya sebenarnya juga kagum dengan Obama. Bahkan saya sudah mengenali sosok ini jauh sebelum ia berkiprah sekarang ketika peluangnya menjadi presiden amat besar dan berpotensi membuat sejarah baru bagi Amerika.
Saya masih ingat ketika suatu hari di Bandung, saya membaca surat kabar, ada artikel singkat tentang Obama. Waktu itu ia masih senator yang amat muda, dan ikut bersaing dalam calon kandidat dari Partai Demokrat. Tetapi karena usianya yang masih begitu muda, mungkin belum waktunya ia memimpin negerinya. Ia tersisih dari kandidat-kandidat lain dari Partai Demokrat. Tetapi dari artikel yang saya baca, mengenai apa amal kesehariannya, entah kenapa dalam hati saya berujar, bahwa suatu saat dialah yang akan memimpin Amerika.
Obama memang orang yang cerdas dan sederhana. Ia mengambil jalan hidup yang berbeda dengan teman-temannya yang cerdas lainnya ketika mereka lebih memilih hidup untuk diri mereka sendiri. Obama setelah keluar sebagai salah satu mahasiswa berprestasi teratas di Harvard, ia mengabdikan dirinya bagi masyarakat. Semakin jelaslah bagi saya bahwa seorang pemimpin itu memang lahir dari rakyat. Mereka bergumul dan berjuang bersama rakyat. Mereka menyerap saripati segala keinginan dan kebutuhan rakyatnya.
Mereka menyadari itu semua dan dengan kemampuan yang mereka miliki maka mereka pilih jalan yang berbeda dengan kebanyakan hanya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan rakyat di sekeliling mereka, seolah itulah hadiah yang baru bisa mereka berikan untuk rakyatnya. Tetapi saya menjadi sedih ketika negeri saya dan kebanyakan negeri muslim lainnya seolah menaruh harapan besar pada sosok yang satu ini. Saya bertanya mengapa seorang muslim harus sampai berharap pada orang di luar mereka. Kenapa mereka tidak berharap pada diri mereka sendiri untuk mengubah keadaan yang ada pada mereka.
Bahkan ketika baru-baru ini saya dan beberapa saudara di Juelich sedang di dalam mobil menuju masjid untuk shalat jumat, saudara saya dari Malaysia, Oskar, memulai pembicaraan dengan bagaimana tanggapan kami terhadap terpilihnya Obama. Mereka berdebat ada yang mengatakan kehadirannya akan membawa kebaikan bagi Umat Islam dan yang lainnya mengatakan bahwa dirinya sama saja dengan pendahulunya. Maka saya segera memotong perdebatan mereka, dengan mengatakan, “My Brother..He is not a moslem leader! Ummah can not rely on people who is not a part of them!”
Mereka pun sedikit memelankan perdebatan mereka. Saudara saya Oskar juga sepaham dengan saya, bahkan dia amat tidak suka dengan kepala staf Obama yang berkebangsaan Yahudi. Saya tidak bisa melihat Umat Islam ini terus memamerkan ketidakberdayaannya. Bagaimana mungkin berharap pada orang lain? Sungguh sedih seolah saat ini umat sudah kehilangan identitasnya. Sungguh sulit menemukan anak bangsa yang mengenali pribadi agung Muhammad SAW sehingga kekagumannya pada pribadi tersebut terlihat dari hidupnya sehari-hari.
Saya bertanya di mana Abu Bakar? Mana Umar, Usman, Ali, Khalid, Usamah, Umar bin Abdul Aziz, Muhammad Al Fatih, Shalahuddin Al Ayyubi, yang pernah menggetarkan bumi ALLAH ini. Adakah pemuda kita mengenal sosok H.O.S Cokroaminoto, Agus Salim, Natsir, Hatta, Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Bung Tomo, Jenderal Sudirman, Hamka? Entahlah, apa kebanyakan dari umat ini masih tidur. Begitulah bila terlalu lama tidur, amat sulit membangunkannya. Karena begitu lamanya tidur, seolah sudah tidak ada lagi kata “bangun”.
Sungguh, musuh begitu takut dengan umat ini. Mereka amat sangat takut umat ini bangun dari tidurnya. Karena itulah mereka menyusup pelan-pelan, diam-diam, agar umat ini tidak bangun. Mereka mengendap-ngendap di sela-sela barisan umat yang tidur, menyelimuti mereka dengan segala kelenaan. Apa yang diperlukan umat agar umat ini tetap menikmati tidurnya mereka penuhi. Mereka sebenarnya tidak punya rencana apa-apa terhadap umat ini kecuali hanya untuk membiarkannya tidur. Mereka tidak hendak meluluhlantakkan umat ini karena itu tidak mungkin mereka lakukan.
Bagaimana mereka mau melenyapkan hembusan nafas tauhid dari bumi ini jika hembusan nafas tauhid itu tersebar di seluruh pelosok bumi, di tiap benua, di tiap pulau, bahkan di dasar laut sekalipun. Kalau mereka hendak melenyapkan hembusan nafas tauhid itu maka jalan satu-satunya adalah menghancurkan seluruh bumi ini beserta isinya. Ya, tetapi tidak mungkin mereka lakukan, karena itu berarti menghancurkan diri mereka sendiri. Jadi jalan terbaik yang mereka pilih adalah ‘menjaga’ umat ini, ‘mengamankan’ umat ini, ‘memelihara’ umat ini, ‘merawat’ umat ini agar tetap dalam tidurnya.
Tetapi saudaraku, sungguh yang berkuasa atas segenap alam semesta dan segala skenarionya hanyalah ALLAH Yang Satu. Dia sudah menjanjikan kebangkitan itu. Bila umat ini tidak juga bangkit, maka Dia sendiri yang akan membangkitkan umat ini. Yakinlah, Dia punya cara sendiri untuk ini. Tetapi saudaraku, entah kenapa aku begitu yakin seyakin-yakinnya, bahwa bangunnya umat ini kelak hanya akan dimulai dari bangunnya para pemudanya.
Para pemuda yang tetap tersadar di antara keramaian yang tidur ini, saat ini mungkin masih terpaku diam, ada yang berusaha pelan-pelan membangunkan saudara-saudara di dekatnya yang tidur, tapi itu memang belum cukup untuk membuat saudaranya itu bangun karena tidurnya yang sudah amat panjang. Tetapi insyaALLAH, teriakan keras para pemuda yang membuat Gunung Uhud kembali terpaksa bergetar, membuat pegunungan salju Alpen sekalipun harus mencair karena merasakan mendidihnya gejolak para pemuda umat ini, akan menjadi saksi bahwa tidak ada yang tidak mungkin bila ALLAH berkehendak.
Sesungguhnya bagiku, perubahan dua puluh tahun yang dibawa oleh sekelompok pemuda yang sabar dan bertauhid, setara dengan dua ratus tahun perubahan oleh manusia kebanyakan. Saatnya akan tiba, insyaALLAH. Hanya satu bekal yang tidak boleh lepas dari genggaman kita walau kita terpaksa kehilangan dunia beserta isinya. Pegang eratlah mushaf kita di dada.