Ya, dunia kecil, inilah kesan saya ketika bertemu teman-teman kuliah dari empat benua, kecuali Australia. Program master yang saya ikuti memang lebih banyak diikuti oleh negara berkembang. Pada semester pertama, selain kami yang kuliah di Oldenburg, juga ada mahasiswa EUREC[1] yang ikut meramaikan kelas kami. Mereka dari eropa dan amerika. Berikut adalah mereka yang mungkin akan banyak mengisi cerita saya.
Ritah, begitulah panggilannya. Ia berasal dari Uganda. Kenapa saya menaruhnya di depan? Ini semata karena dialah yang pertama kali saya temui ketika kami berkumpul untuk perkenalan sesama peserta kuliah. Lagi-lagi saya agak canggung juga ketika tidak menjawab jabat tangannya. Ingin saya menjelaskan, tetapi waktu saat itu tidak tepat sehingga saya hanya menyampaikan alasan sekedarnya saja, dan ia membalas, “Oh, so you don’t shake hand”. Ritah adalah orang yang amat ramah dan murah senyum sehingga siapapun yang bergaul dengannya ikut senang. Ia kemudian kami sepakati untuk menjadi wakil kami dari peserta kuliah ini.
Anwar sudah pernah saya jelaskan sebelumnya. Ketika pertama kali bertemu dengannya, saya mendapati ia adalah sosok yang formal, walau kenyataannya amat berbeda. Sosok formal itu saya simpulkan karena ketika pertama kali perkenalan ia memakai pakaian yang lebih rapi ketimbang kami yang hadir di situ, kemeja garis-garis lengan panjang, sedangkan kami lainnya kebanyakan hanya memakai kaos, maklum pada saat perkenalan pertama, Bulan Agustus, masih musim panas.
Anwar ini juga murah senyum, dan rasanya kami punya kecocokan dalam beberapa hal, terutama mengenai kebiasaan. Anwar ini membawa banyak sekali bumbu masak dari negaranya di dalam kopornya ketika berangkat ke Jerman, dan itu di dalam toples-toples kecil. Ketika saya di dapurnya, melihat kelengkapan memasaknya, saya seakan tidak percaya bagaimana bisa itu ia bawa semua. Panci pun juga dia bawa. Saya jadi teringat kisah yang disampaikan ayah saya yang juga punya teman dari Bangladesh ketika kuliah di Swedia. Ayah saya jarang tertawa lepas, tetapi tiap menceritakan kisah temannya ini, Beliau tidak sanggup menahan tawanya. Ini membuat saya, ibu saya, dan adik-adik saya biasanya ikut tertawa juga.
Ayah saya menceritakan bahwa temannya dari Bangladesh itu amat hemat. Ketika orang lain memakai uang sakunya untuk jalan-jalan, belanja, makan di kantin kampus, maka teman-teman Bangladesh ini tidak ikut. Suatu saat profesor ayah saya bertanya kenapa teman-teman Bangladesh ini tidak ikut makan di kantin. Salah seorang teman ayah saya menjawab bahwa karena menu makanannya tidak cocok dengan mereka, mungkin kantin universitas bisa mengusahakan agar menyediakan menu-menu yang menolong teman-teman dari Bangladesh.
Mendengar ini ayah saya tahu dalam hatinya bahwa bukan itu alasan mereka tidak ikut makan di kantin, melainkan karena mempersiapkan makanan sendiri lebih hemat dan tentu saja lebih bisa disesuaikan dengan selera mereka. Maka akhirnya beberapa waktu berikutnya kantin universitas mengeluarkan menu baru, yang spesial untuk teman-teman Bangladesh. Nah mereka jadi merasa terpojok karena tidak punya alasan lain untuk menolak ikut makan di kantin. Akhir cerita ini saya juga tidak tahu, apa yang dilakukan teman-teman ayah saya itu. Gambaran ini saya dapatkan persis pada diri Anwar. Tetapi ada kebaikan yang tersembunyi di baliknya.
Rania, muslimah dari Sudan. Ia mengenakan kerudung yang masih memperlihatkan sedikit rambutnya, walau itu tidak mengurangi manisnya wajahnya. Ketika baru awal-awal di Jerman, ia dan Ritah adalah teman-teman kami yang belum bisa mengendarai sepeda. Mereka semua tinggal di asrama yang sama dengan di mana Anwar tinggal. Suatu saat ketika saya ada perlu ke tempat Anwar, saya melihat mereka belajar sepeda di halaman asrama sambil tertawa-tawa. Kontan saja saya ikut tersenyum melihat kejadian itu. Sebenarnya mereka sudah menghabiskan beberapa pekan untuk belajar sepeda, sehingga terlihat mereka sebenarnya sudah bisa.
Rania sendiri dipesankan oleh suaminya untuk tidak mengendarai sepeda. Ia bilang, suaminya bilang tidak boleh, karena khawatir bersepeda di jalan raya. Saat itu suaminya masih di Sudan, Kadura namanya, yang kemudian menjadi sahabat dekat saya ketika ia sudah datang ke Oldenburg. Di Oldenburg hampir setiap jalan ada jalur lebar untuk sepeda. Bahkan untuk jalan yang tidak ada jalur khusus sepeda pun, bersepeda di Jerman insyaALLAH tetap dan sangat aman. Di sini pengendara sepeda adalah tuan ketimbang mobil. Mobil bagus yang sedang melaju kencang pun akan memelankan lajunya jika ia melihat ada sepeda butut di depannya yang sedang bergerak pelan. Waktu itu rupanya mereka sedang berencana hendak ke pusat kota, ke toko elektronik.
Anwar pun ikut, jadi saya juga memutuskan ikut bersama mereka karena sehabis dari Anwar saya juga tidak punya acara apa-apa. Maka kami pun pergi ke jalan dengan sepeda kami. Anwar di depan memimpin jalan, karena ia adalah orang yang tanpa peta tetap memiliki insting navigasi yang bagus. Saya waktu itu juga tidak membawa serta peta saya. Kisah lucu terjadi ketika kami berada di persimpangan jalan yang kami belum mengenalinya. Saya, Ritah, dan Rania, serta Bahadur, mahasiswa angkatan atas dari Bhutan, bersikeras mengambil suatu jalan, sedangkan Anwar sudah di depan mengambil jalan lain. Melihat ini tentu kami memanggil Anwar.
Anwar pun malah heran dan menyuruh kami ikut jalan dia, dia bersikeras bahwa dia sudah pernah menempuh jalan ini. Tetapi saat itu kami ikut kepada ajakan Bahadur, yang sudah satu tahun di Oldenburg, tetapi ternyata juga tidak kenal dengan jalan yang kami lewati. Maka saya pun menghampiri Anwar untuk memintanya bergabung dengan kita. Dia awalnya tetap tidak beranjak untuk mengubah arah sepedanya, sambil mengulang kembali bahwa dia tahu jalan ini. Tetapi akhirnya ia pun memenuhi ajakan saya untuk bergabung dengan yang lain mengikuti saran Bahadur. Beberapa ratus meter kami melalui jalan yang dipilih, tiba-tiba Bahadur berhenti, dan kemudian sedikit menyesal mengatakan bahwa kami salah jalan.
Melihat itu wajah yang pertama kali saya tatap adalah Anwar yang dengan sungut menjadi orang pertama yang memutar balik arah sepedanya dan menyeru kami untuk ikut dia.
Chandra, ia berasal dari Nepal. Badannya tinggi besar, sehingga ketika pertama kali berbicara dengannya saya sedikit mendongak. Pertanyaan saya yang sampai sekarang belum kesampaian padanya, adalah apakah rata-rata orang Nepal juga tinggi seperti dia. Ia adalah salah satu mahasiswa yang cukup cerdas dan rajin di kelas kami. Info-info penting biasanya ia yang mendapat dahulu dan kemudian membaginya pada kami. Ia mengatakan bahwa di Nepal ia bekerja di bandara, dan di bandara tersebut mereka sedang mempersiapkan panel surya untuk membantu memenuhi kebutuhan energi untuk operasional bandara. (bersambung)
Catatan :
[1] European Renewable Energy Centres