Suatu saat ketika sehabis pulang dari suatu acara di Darmstadt, saya berbincang dengan saudara saya Deden dari Bonn yang juga menghadiri acara tersebut. Kami sedang berjalan kaki menuju stasiun kereta. Dia menanyakan di mana saat ini saya tinggal. Maka ketika saya ceritakan bahwa saya tinggal di desa, responnya adalah desa saya menarik juga, dan dia mengusulkan kepada saya untuk menulis tentang desa saya ini. Saudaraku, pesanmu baru tertunaikan sekarang.
Saya adalah orang yang gemar bertualang. Selama ada peta, insyaALLAH tidak akan tersesat, begitulah prinsip saya. Ketika awal datang ke Oldenburg, waktu itu saya habiskan seharian berkeliling kota kecil tersebut dengan berjalan kaki dari dan ke asrama saya hanya dengan mengandalkan sebuah peta. Ya, peta di Jerman ini reliable, amat sangat dapat diandalkan. Tampilannya jelas dan nama-nama jalan lengkap tercakup dalam sebuah peta. Karena saya tidak mengerti Kartografi, maka saya tidak bisa menyimpulkan apa sebenarnya rahasia Jerman bisa membuat peta senyaman ini kecuali saya yakin bahwa sang pembuat peta amat paham betul seluruh pelosok wilayah yang diproyeksikannya ke atas sebuah peta, baik itu karena teknologi yang tersedia, atau mungkin memang setiap pelosok itu pernah dicek langsung keberadaannya.
Tetapi tidak ada peta untuk Flossdorf karena desa ini memang tidak memerlukannya. Saya baru tahu tempat halte bis dan saya masih ingin tahu di mana tempat menyetop kereta terdekat. Saya hanya mengandalkan petunjuk Frau Weiergraeber, yang berisi kata-kata, “turun, kiri, kanan, lurus.” Tapi karena waktu itu masih musim panas, maka berjalan kaki adalah pekerjaan yang menyenangkan, walau jaraknya jauh.
Dan saya berpikir, kalaulah saya tidak tahu jalan berikutnya, semoga saya ingat jalan pulang saja. Menuruni tanjakan yang tidak jauh dari rumah, saya langsung disambut dengan lapangan bola rumput yang terawat. Ketika musim panas, biasanya penduduk desa bermain bola setiap hari Jumat sore. Pernah sekali saya melihat dua tim saling beradu kebolehan. Waktu itu Willy, sang menantu Frau Weiergraeber yang tinggal bersama istrinya di sebelah rumah kami ikut menonton.
Selain lapangan bola ini, maka yang ada di kiri kanan adalah hutan lindung, teridentifikasi dari plang “Schutzgebiet” yang tertancap di beberapa tikungan, ladang yang terhampar luas, tadinya saya kira kentang, tetapi kemudian Frau Weiergraber mengoreksinya bahwa itu adalah ladang Rueben[1] , dan padang rumput yang agak luas di mana sapi-sapi berkumpul di sana. Ketika Thomas mampir ke desa saya ini, ia sebenarnya ingin melihat sapi-sapi ini, tetapi ketika saya bawa ke tempat biasanya sapi-sapi tersebut berada entah kenapa sapi-sapi itu seolah disembunyikan pemiliknya.
Jarak dari rumah saya ke tempat menyetop kereta sekitar 3 km, dan terlebih dahulu saya harus melewati Tetz, desa tetangga. Bila berjalan kaki santai maka sekitar 35 menit dari rumah. Sebenarnya saya menikmati tinggal di Flossdorf walau jauh dari tempat saya saat ini mengerjakan tesis. Melihat padang hijau yang terhampar, langit yang bersih, udara yang segar, seolah-olah menjadi energi tersendiri ketika saya berangkat menuju kereta atau pelepas lelah ketika saya pulang dari institut. Tetapi jika malam hari memang tidaklah saya dapat mengandalkan cahaya apapun selain pantulan cahaya bintang dan bulan di langit, jika harus melewati perladangan ini.
Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah pertama kali saya di Jerman mendengar suara kokok ayam tiap pagi menyambut tasbih alam semesta. Flossdorf juga adalah desa istimewa karena di sinilah saya pertama kali bertemu dengan Bung Azhar, pensiunan profesor fisika nuklir di Forschungszentrum Juelich dari Indonesia yang hanya membuat saya semakin yakin bahwa perubahan bangsa saya ini amat bergantung pada bangunnya para pemuda bangsa ini dari tidurnya.
Flossdorf adalah desa yang istimewa ketika seorang milyuner seperti Frau Weiergraeber lebih memilih tinggal di desa karena jauhnya dunia yang telah ia jelajahi ternyata tidaklah memberikan ketenangan baginya layaknya kampung halamannya, tempat pulang dan asalnya. Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah pertama kali saya melewati padang luas nan gelap tak berteman selain ditemani Dia Yang Maha Dekat bila kita pun mengakrab pada-Nya. Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah saya pertama kali menggerakkan tangan untuk menulis hanya karena cintanya saya pada para pemuda umat di lima benua.
Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah saya menjadi saksi burung-burung yang bersatu mengitari langit ini melakukan shalatnya. Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah saya menjadi saksi kelompok burung-burung yang bersatu dan ditahan-Nya di langit tak mampu menahan diri untuk melakukan sa’i dari satu pohon ke pohon lain ketika senja datang, hanya semata-mata untuk mensucikan-Nya. Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah saya menjadi saksi bahwa manusia tak mampu menolak hati nuraninya bahwa hari setelah kematian itu pasti adanya.
Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah saya menjadi saksi betapa daun-daun rela syahid berguguran hanya karena berharap sang pohon tetap tumbuh mendapatkan cahaya-Nya. Flossdorf adalah desa istimewa karena di sinilah saya mendapatkan arti putih-seputihnya ketika tidak ada padanan putih bersihnya salju yang langsung diturunkan oleh-Nya.