Salah seorang saudara saya yang sering ditemui di masjid juga adalah seorang sopir bis. Awalnya saya tidak tahu jika dia adalah seorang sopir bis kota Oldenburg. Abdul Majid namanya. Pertama kali saya mengenalnya adalah ketika ia datang bersama Karim, saudara saya dari Aljazair. Karim ini adalah pemuda tampan dan pemalu yang senyumnya begitu menawan, amat serasi dengan janggut lebat dan rapi yang menghiasi wajahnya. Saya tidak tahu pasti pekerjaan Karim, tetapi suatu saat ia pernah menceritakan bahwa ia juga bermain sepak bola di suatu klub kecil. Ketika pertama kali melihat Abdul Majid, saya melihat ada yang berbeda dari wajahnya. Wajahnya amat bercahaya. Senyumnya juga menawan. Ketika kami di masjid, yang paling sering dilakukan oleh Abdul Majid adalah mengambil mushaf Al Quran dan membacanya hingga terdengar oleh kami yang duduk di dekatnya, biasanya saya dan Karim.
Kadang Karim menjelaskan suatu ayat dan Abdul Majid ikut berkomentar mengenai ayat tersebut. Saya sendiri hanya sedikit memahami penjelasan mereka karena mereka berbicara dalam bahasa arab. Karim ini bagi saya adalah salah satu jamaah yang paling paham dalam hal agama dan hafalan serta bacaan Al Qurannya pun paling bagus, tetapi ia senantiasa menolak untuk menjadi imam. Ia terlalu pemalu. Tetapi suatu saat ia tidak dapat menolak untuk mengimami shalat kami karena seluruh jamaah bersepakat menyuruhnya menjadi imam.
Awalnya saya tidak tahu nama Abdul Majid ini, kami hanya sesekali mengobrol di masjid. Suatu saat ketika saya sedang menunggu bis di ZOB[1], maka saya mendengar ada suara seseorang dari belakang saya tetapi tidak begitu jelas bagi saya. Saya pun tidak berpikir bahwa suara itu ditujukan untuk saya. Tetapi kembali suara itu berulang dan kali ini jelas bagi saya, itu adalah ucapan salam. Maka saya pun kemudian menoleh ke belakang dan ternyata Abdul Majid di situ. Ia memakai seragam sopir bis berupa sweater lengan panjang warna biru dongker. Ia terlihat gagah dengan pakaiannya. Bersamanya ada tas yang memang khas tasnya para sopir bis. Saya pun kemudian menjawab salamnya dan sambil tersenyum meminta maaf karena saya tidak menyadari kalau ia lah yang memanggil saya. Di situlah kami berkenalan. Saya tanya namanya dan ia pun kemudian menanyakan nama saya. Seperti biasa, saya pun terpaksa harus mengatakan, "Suratul Kahf, surah achzehn im Koran[2]“ karena ia tidak mendapatkan jelas nama saya.
Dan subhanallah, Abdul Majid kemudian mengeluarkan dari saku kecil di dadanya sebuah mushaf Al Quran kecil dan mencari apa yang saya maksud. Barulah ia kemudian tersenyum memanggil saya dengan benar. Di situlah saya kemudian mendapatkan jawaban mengapa wajah Abdul Majid begitu bercahaya ketika saya melihatnya.
Suatu hari ketika saya pulang dari asrama Anwar dan menunggu di halte asrama, maka bis yang berhenti ternyata diawaki oleh Abdul Majid. Ketika itu juga ada mahasiswi berjilbab yang naik duluan ke dalam bis, dan Abdul Majid pun kemudian mengucapkan salam pada wanita itu dan dibalas oleh wanita itu. Saya pun kemudian menjabat tangannya sambil membalas ucapan salamnya. Ia dengan senyum lebar menanyakan kabar saya.
Saya duduk tidak jauh dari tempat sopir tetapi tidak berani mengajak sopir mengobrol karena sebenarnya ada aturan yang biasanya ditempel di bagian depan bis di dekat sopir yang memberitahukan untuk tidak berbicara dengan sopir selama dalam perjalanan. Ketika kemudian penumpang di dalam bis itu tinggal saya sendiri, maka Abdul Majid kemudian memanggil saya dan meminta saya untuk duduk di kursi penumpang yang paling dekat dari dia. Kami pun kemudian mengobrol. Ia bertanya studi saya dan kondisi negara saya.
Ketika pada kali lain bis yang saya tumpangi melewati ZOB, saya melihat beberapa sopir bis sedang bercengkrama satu sama lain. Yang mencolok adalah Abdul Majid, karena yang lainnya adalah orang Jerman. Tetapi sebenarnya bukan itu yang membuat Abdul Majid mencolok bagi saya, tetapi begitu jelas ia terlihat yang paling istimewa dalam kelompok sopir bis yang sedang bercengkrama itu. Entahlah, sikapnya, pembawaannya, senyumnya, atau mungkin cahaya wajahnya yang membuat hati saya kemudian membisikkan bahwa kalaulah di antara bebatuan ada mutiara, maka seorang muslimlah yang layak menjadi mutiara itu. Kalaulah di antara mutiara ada yang paling bercahaya, maka dari yang paling akrab dengan kitab-Nya lah terpancar cahaya itu.
Lain kota lain di desa. Penduduk desa memang ramah tetapi hal ini tidak berlaku untuk sopir bis, bila saya menilainya secara umum. Sampai saat ini hanya tiga sopir bis yang melewati desa saya yang bagi saya mereka termasuk ramah. Dua orang sopir bis pria dan yang satu adalah wanita, mungkin seorang ibu. Kebanyakan yang lainnya amat sulit untuk berwajah agak cerah kepada penumpang yang naik. Saya tidak tahu apa alasannya. Apa mungkin karena rute mereka yang tidak menarik, melewati desa dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Ya, sepuluh menit perjalanan bis di kota berbeda dengan sepuluh menit perjalanan bis di desa. Yang berbeda adalah jarak yang ditempuh dari sepuluh menit itu.
Di kota tiap halte berjarak hanya ratusan meter, tetapi bila menuju desa, jarak antara tempat pemberhentian yang satu dengan yang lain berjauhan. Kadang mereka pun membawa bisnya dengan kecepatan yang bagi saya agak tinggi bagi ukuran Jerman. Bila ada orang yang sudah tua dengan kereta bantunya hendak naik ke dalam bis, kebanyakan sopir bis ini hanya diam di kursinya dan menunggu orang tua itu naik sendiri. Pernah beberapa kali saya membantu orang tua yang kesulitan itu. Waktu itu saya hanya tidak habis pikir.
Padahal saya duduk tidak di dekat pintu naik bis yang dipergunakan oleh orang yang sudah tua, tetapi ada beberapa penumpang yang lebih dekat dengan pintu itu. Tetapi yang mereka lakukan adalah menoleh sebentar ke arah penumpang yang sudah tua itu dan kemudian memalingkan kembali pandangannya. Karena sempat beberapa kali saya menolong orang tua yang naik ke dalam bis, maka sopir bis yang biasanya berwajah kaku ketika saya naik ke dalam bis sedikit terlihat ramah bila saya menunjukkan tiket saya.
Saya merasa sudah dikenali oleh para sopir bis yang melewati desa saya. Pertama karena saya jelas berbeda dari mereka. Kedua karena hampir saya lah penumpang seorang yang naik dari halte bis di desa saya pada jam biasa saya menunggu bis, begitu pula bila sore atau malam hari saya kembali ke desa saya, hampir saya seorang lah yang turun di halte desa saya. Amat jarang ada yang menemani saya naik dan turun di halte ini. Sampai saat ini ada seorang sopir bis yang jelas-jelas menyatakan ia mengenali saya.
Bila saya naik bis dan menunjukkan tiket, ia biasanya berkata, "Saya sudah tahu.“ Ini bukan berlaku pada saya saja, tetapi juga pada penumpang yang lain. Alasannya cuma satu, karena biasanya penumpang bis yang melewati desa ini kebanyakan orangnya hanya yang itu-itu saja. Bahkan saya hafal di mana biasanya mereka naik bis. Ada seorang nenek yang tetap kuat berjalan tanpa alat bantu. Ada seorang nenek yang biasanya pergi dengan bis dengan dibantu kereta jalannya. Kereta jalan ini hanya kereta kecil beroda yang didorong sehingga tangan sang pemakai bisa bersandar pada pegangan kereta itu. Ini membantu orang tua yang sudah lemah tetap bisa berjalan.
Ada seorang bapak tua yang senantiasa memakai topi mirip topi koboi tetapi sayap topinya tidak terlalu lebar. Ada pula bapak tua yang senantiasa pergi dengan anjingnya, dan yang paling senang berbicara dengan sopir dan penumpang yang lain sambil mengomentari perilaku sang anjing. Ada pula seorang anak muda berkaca mata yang membawa tas layaknya seorang pelajar atau mahasiswa. Bila pulang dari institut biasanya saya dapati seorang ibu yang sering membawa belanjaan berupa mainan dan perlengkapan anak kecil. Dari usianya tidak jelas bagi saya, apakah itu untuk anaknya atau cucunya.
Pernah tiga kali bis ini tidak melihat saya menunggu di halte desa saya. Saya sendiri heran, keberadaan saya begitu jelas di halte ini, bahkan bila saya melihat bis sudah kelihatan dari jauh, saya agak ke tengah halaman tanah halte ini agar mudah terlihat oleh sopir bis. Halte desa saya memang mengharuskan bis untuk keluar dari jalan besar kemudian mengambil penumpang di halte dan kemudian masuk kembali ke jalan besar untuk melanjutkan perjalanan. Ini berbeda dengan halte-halte lain yang hanya terletak di pinggir jalan, sehingga bis hanya tinggal menepi dan berhenti. Mungkin itulah penyebabnya mereka tidak terlalu memperhatikan bila ada penumpang di halte saya ini.
Penduduk Flossdorf sendiri juga jarang yang saya ketahui sehari-hari menggunakan bis. Mereka biasanya sudah punya kendaraaan sendiri. Nah lucunya ketika bis ini tidak melihat saya, mereka kemudian menyadari keberadaan saya ketika sudah terlambat untuk keluar dari jalan besar. Tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka berhenti di tengah jalan, dan mengisyaratkan bahwa saya bisa berlari mengejar mereka dan kemudian naik. Ketika ini sudah dua kali terjadi, saya sempat berpikir bahwa cukuplah dua kali ini terjadi. Ternyata tetap terjadi yang ketiga kalinya. Dan untungnya, setiap saya mengalami kejadian ini, tidak ada mobil yang berada di belakang bis, sehingga amanlah bagi sang bis untuk berhenti mendadak di tengah jalan. Saudara saya Deden dari Bonn sempat tertawa ketika saya menceritakan ini.(Bersambung)
Catatan :
[1] Terminal bis
[2] Surat Al Kahfi, surat 18 dalam Al Quran