Baiklah, saya merasa agak perlu sedikit berpanjang-panjang dalam masalah yang satu ini. Suatu kali saya mengobrol dengan saudara saya yang baru lulus S2 dari Perancis dan sekarang bekerja di Jerman. Kami waktu itu membicarakan gaya hidup orang Jerman, khususnya para peneliti dan engineer mereka. Saudara saya ini mengatakan bahwa pimpinan perusahaannya kadang bersepeda ke suatu tempat karena merasa sudah cukup menggunakan sepeda untuk mencapai tempat tujuan.
Nah, sebenarnya saudara saya ini cocok dengan gaya hidup sedemikian, sederhana, dan tidak perlu berlebihan bila memang tidak dibutuhkan, walau mungkin jumlah materi yang dimiliki banyak. Dia mempersoalkan hal ini bila ia harus bekerja di tanah air, karena ia lihat adalah keanehan di tanah air bila seseorang yang diketahui memiliki uang banyak penampilannya tidak ada bedanya dengan mereka yang berpenghasilan lebih rendah. Ya, di negeri kita definisi kesuksesan lebih banyak dibentuk dari seberapa ‘sukses’ kita menampilkan diri sebagai orang sukses. Waktu itu saya menjawab keluhan dia dengan mengatakan bahwa semua itu tergantung pendirian orang itu sendiri.
Saya pun memberi perumpamaan mengenai orang yang diundang pada acara yang megah dan mewah, dan orang yang mengundang adalah orang yang dihormatinya. Nah sekarang apakah orang yang diundang itu kelak punya pendirian bila suatu saat harus mengundang orang yang dihormati ini dalam acara yang hanya sederhana dan tidak berlebih-lebihan, walau uang untuk itu tersedia. Maaf, boleh saja kita berpendapat bahwa kita harus menghormati tamu. Tetapi bagi saya adalah penting juga bagi tamu untuk menghormati pilihan sang tuan rumah bila sang tuan rumah punya selera yang berbeda dengan dia.
Sebenarnya gaya hidup yang sekilas terlihat sederhana dari orang Jerman atau orang barat lainnya bila dibandingkan posisi yang mereka sandang dan kondisi serupa oleh masyarakat kita di tanah air, maka jawabannya adalah kondisinya memang memaksa demikian. Di sini orang sudah terpatok pada hak dan kewajiban mereka. Sudah jelas kedua hal itu bagi mereka. Yang saya jumpai, orang Jerman kebanyakan cenderung tidak memberi lebih dari apa yang menjadi kewajiban mereka, tetapi kewajiban mereka harus mereka penuhi dan itulah yang berusaha mereka lakukan.
Jadi di luar itu mereka tidak mau ambil pusing, dalam hal ini kita bisa mengatakan inilah sisi individualistisnya. Mungkin ada di antara saudaraku yang pernah mendengar cerita, Tony Blair, ketika dahulu masih menjabat perdana menteri, pernah tiba di bandara suatu negara lain, dan kemudian hanya menggunakan taksi ke tempat tujuan dia. Tidak ada acara khusus penjemputan. Mungkin sekilas ini adalah kesederhanaan, ya benar, tetapi di balik itu, bila saat itu tidak ada kewajiban untuk menjemput sang perdana menteri maka kenapa harus melakukannya.
Ini adalah cara berpikir orang eropa kebanyakan, lakukan hanya sekedar batas kewajiban dan itu sudah cukup, selanjutnya pikirkan diri sendiri saja. Nah saya ingin melihat nilai kesederhanaan ini dari Islam yang menjadi jalan hidup saya. Dalam Islam, memberi lebih itu amat diperhitungkan, bahkan di situlah yang membedakan antara orang yang peduli dan yang lebih memikirkan diri sendiri. Jadi dalam Islam kesederhanaan itu tidak berasal dari kondisi yang memaksa umatnya untuk tidak memberi lebih, tetapi karena kesederhanaan itu yang kemudian membuat umat ini merasa untuk memberi lebih. Jadi kesederhanaan adalah pilihan yang diambil dari awal. Agak sulit dimengerti?
Di sini saya hendak bermaksud, umat Islam merasa lebih layak untuk hidup sederhana karena dengan demikian lah mereka merasa lebih bisa memberi lebih pada saudara-saudara lainnya. Saya kira hal ini jelas.
Kembali pada cerita perjalanan saya dengan Dr. Steinberger. Kami waktu itu melewati pintu utama research center. Saya yang waktu itu hanya berstatus visitor harus mengembalikan kartu pengenal tamu. Sebenarnya kartu pengenal para peneliti pusat riset ini hanya kartu yang di sisi kirinya ada foto sang pemiik dan di sisi kanan ada stiker kuning bertuliskan tahun, waktu itu 2008. Di luar itu tidak ada yang istimewa dari kartu itu, walau ada chip yang bisa dipakai untuk mengisi kredit layaknya pulsa ketika makan di kantin research center, tetapi ketika ditunjukkan kepada petugas, ia hanya diperlakukan sebagai kartu biasa, bukan sebagai chip. Penumpang dan pengendara mobil yang memilki kartu pengenal ini pun hanya memperlihatkan kartu ini dari dalam mobil.
Bagi para pejalan kaki yang hendak melewati gerbang utama ini maka mereka cukup memperlihatkan kartu ini dari jauh, dan sang petugas kemudian membuka pintu penghalang gerbang. Nah, melihat ini saya pun bertanya pada Dr. Steinberger apakah mereka betul-betul memperhatikan kartu yang ditunjukkan kepada mereka, padahal apa sih yang bisa dilihat jelas dari luar dan hanya sekilas dari benda kecil yang ditunjukkan. Dr. Steinberger sendiri tidak yakin dengan jawabannya sembari hanya mengatakan setidaknya mereka tahu bahwa mereka yang lewat di gerbang ini punya kartu.
Sampai sekarang saya masih penasaran antara meyakini bahwa mereka punya keahlian khusus untuk mengenali kartu dari jauh karena tuntutan tugas pengamanan mereka atau memang yang mereka lakukan tidak lebih dari formalitas belaka. Sempat saya tercetus ide untuk memasuki gerbang bersama teman saya dan kami menukar kartu pengenal kami masing-masing, masihkah sang petugas mampu mengenali mereka yang masuk berdasarkan kartu yang ditunjukkan dari jauh. Tetapi memang kalau ada ide yang aneh-aneh harus dilihat dulu tempat mencobanya kalau tidak mau malah tidak bisa membuat ide lagi.
Dr. Steinberger menunjukkan pada saya area tambang batu bara yang terbesar di Jerman. Kami bisa melihatnya dari jalan tol. Ya, amat luas. Dr. Steinberger bahkan menyebut, „Like the moon“ karena memang begitulah sepintas. Ia kemudian berkata bahwa area itu sudah tidak ditambang lagi. Jerman lebih memilih mengimpor batu bara ketimbang menghasilkannya sendiri karena ongkos tenaga kerja di sini mahal.
Setahu saya dalam hal energi, Jerman amat bergantung pada batu bara ini dan pasokan gas dari Rusia. Di dalam mobil ada peta dan saya mencoba membacanya. Peta tersebut adalah peta khusus bagi mereka yang sedang berkendara, jadi setiap jalan tol beserta nomor-nomornya lengkap dimuat. Cukup mudah membaca peta tersebut sehingga saya bisa memahami sedang di jalan mana kami berada dan hendak kemana Dr. Steinberger mengarahkan mobilnya.
Kemudian saya bertanya nama belakangnya yang memakai strip. Jadi nama lengkapnya adalah Robert Steinberger-Wilckens, dan bagi saya adalah aneh mengenai nama yang ada strip itu. Ia lalu mengatakan bahwa Wilckens adalah nama istrinya, dan kemudian ia menyandingkannya sebagai namanya juga. Hal ini tentu bagi saya aneh, karena selama ini yang saya temui adalah istri yang menyandingkan nama suami pada nama mereka.
Tetapi di Jerman hal seperti ini tetap diakui sebagai nama resmi. Ia kemudian melanjutkan bahwa untuk anak-anaknya, mereka tetap memakai nama ibu mereka yang terdahulu, Wilmms sebagai nama keluarga mereka. Saya sempat bingung kenapa tidak memakai nama Steinberger, tetapi waktu itu saya tidak bertanya. Rupanya Wilckens adalah istrinya yang sekarang, tetapi saya tidak bertanya apa yang terjadi dengan istrinya yang terdahulu. (Bersambung)