Prof. Salim adalah profesor tamu di Forschungszentrum Juelich, saudara saya dari Mesir. Orangnya masih bisa dibilang muda. Ia satu institut dengan Oskar, saudara saya dari Malaysia. Oskar ini beruntung karena di institut dia banyak yang muslim. Selain Prof. Salim, masih ada saudara saya Karim, mahasiswa PhD dari Afganistan walaupun lahir di Jerman. Saya sempat bertanya pada Prof. Salim perguruan-perguruan tinggi di Mesir selain Al Azhar, dan kemudian bertanya juga mana yang cocok untuk pendidikan teknik. Entahlah, tetapi ingin rasanya suatu saat ke negeri Ibunya Dunia ini.
Prof. Salim sendiri mengepalai salah satu grup riset di salah satu universitas di Mesir, lupa saya nama perguruan tingginya. Prof. Salim lalu mengeluhkan saat ini ada perlakukan khusus bagi lulusan Al Azhar yang belajar bidang selain dari bidang ilmu yang selama ini dikenal Al Azhar lah tempat belajar yang tepat untuk itu. Sebenarnya dia waktu itu berujar ilmu agama, tetapi saya tidak hendak menggunakan istilah ilmu agama untuk suatu bidang ilmu khusus. Bagi saya semua ilmu itu adalah ilmu agama, karena tujuan sebenarnya adalah untuk berislam secara menyeluruh dan mengenali Yang Menurunkan Risalah ini, jadi tidak ada pemisahan ilmu dengan Islam. Maka ketika menceritakan ini sulit saya menemukan kata yang tepat untuk mengganti kata yang selama ini dikenal dengan ‘ilmu non-agama’. Mungkin di antara saudaraku ada yang bisa membantu mencarikan istilah yang tepat?
Prof. Salim beralasan bahwa cukuplah Al Azhar hanya fokus di bidang semula dan membiarkan universitas-universitas yang lain menyediakan tenaga ahli untuk bidang lain. Saya sebenarnya memahami maksud Prof. Salim itu, tetapi kadang masalah itu bukanlah pada sistem yang telah dibuat, melainkan manusia nya lah yang belum bisa memenuhi harapan sistem itu. Jadi, rasanya niat baik Al Azhar itu justru untuk semakin menunjukkan bahwa memang tidak ada pemisahan ilmu dan Islam itu sendiri. Ilmu diatur dalam Islam dan tunduk pada ketentuan Islam dalam bagaimana seseorang itu menuntut ilmu dan mengamalkannya.
Hanya saja sampai saat ini Prof. Salim mendapatkan kualitas mahasiswa penelitinya yang di bawah harapannya dan mau tidak mau ia harus menerimanya karena memang ada aturan yang memberi perlakuan khusus demikian. Ya, semuanya berproses. Oskar tidak setuju dengan cara berpikir Prof. Salim ini dan kemudian berargumen bahwa justru orang yang telah mengenali dasar-dasar agama ini akan menjadi lebih kuat tauhidnya ketika ia mempelajari ilmu-ilmu terapan. Dan itulah maksud Al Azhar dalam pandangan Oskar. Waktu itu Oskar sambil bercanda malah menyindir bahwa pantas saja Mesir tidak bisa berbuat banyak terhadap israel, ilmuwannya saja berpikir seperti ini. Prof. Salim hanya tersenyum. Oskar ini memang blak-blakan, tetapi rasanya sikap ini amat cocok untuk saudara-saudara saya dari arab karena mereka sendiri juga bersikap demikian.
Ketika kami dalam perjalanan dengan bis menuju pusat riset sehabis shalat Jumat, karena kebetulan tidak ada mobil tumpangan, kami melanjutkan diskusi mengenai masalah Palestina. Saya langsung bertanya pada Prof. Salim, bagaimana sikap dia terhadap Hamas. Ia mengatakan bahwa ia mendukung Hamas, dan begitulah sikap seluruh rakyat Mesir. Lalu saya tanyakan kenapa pemerintah mereka seolah membiarkan Hamas berjuang sendiri. Prof. Salim hanya menjawab bahwa itu bukanlah kehendak sebenarnya dari pemerintah mereka, itu hanya tampilan luar mereka karena keadaan memang menuntut demikian dan mereka belum punya keberanian untuk mengubah ini.
Jadi dia berkata, bahwa di hati terdalam para pimpinan Mesir, mereka amat seperjuangan dengan Hamas, membebaskan Palestina, tetapi ya secara formal ada tuntutan untuk tidak terang-terangan menunjukkan sikap asli mereka ini. Memang ini semua tidak jelas, hanya ALLAH dan orang-orang itulah yang tahu. Kami pun kemudian melakukan kilas balik mengenai sejarah dunia Arab dan israel. Prof. Salim menjelaskan mengenai perang yang pernah dimenangkan bangsa Arab, perang yang sebenarnya bangsa Arab tidak kalah, dan perang yang membuat bangsa Arab kemudian harus mengalah. Bahkan ia kemudian mengingatkan kembali bahwa Husni Mubarak itu dahulu adalah pilot pesawat tempur andalan ketika perang menghadapi israel. Jadi memang tidak mungkin jika di hati terdalam para patriot Mesir itu mereka secara tulus bersahabat dengan israel. Tetapi tetap saja saya tidak bisa menerima sikap yang dengan mata dan hati saya secara jelas menangkap bahwa mereka terlalu takut risiko atas ‘sesuatu’ dan kemudian membiarkan Hamas sendirian.
Karim adalah mahasiswa PhD dari Afganistan, satu institut dengan Oskar dan juga bergelut dengan teknologi material. Seingat saya ia sedang bekerja untuk membuat material baru yang diperlukan bagi dunia kedokteran. Ia lahir di Jerman dan sekarang menetap di Koeln. Ia lebih merasa dirinya seorang Afgan ketimbang Jerman, walaupun ia berpaspor Jerman. Karim ini tampan dan humoris. Kadang ia memutar musik Afganistan di mobilnya dan bertanya pada saya apakah saya suka dengan musiknya. Kalau saya tidak suka, maka ia akan menurunkan saya di jalan, begitulah ancam Karim sambil bercanda.
Mengenai musik, saya jadi teringat ketika pernah menyaksikan kuliah dari seorang ulama Inggris di internet. Waktu itu ia menjawab pertanyaan penelepon mengenai musik. Maka ulama ini hanya berujar singkat, "Tidak selamanya apa yang tidak diatur dalam Islam kemudian harus dibuat menjadi ada dalam Islam.“ Ia lalu berkata bahwa bila barat punya musik sendiri, maka Umat Islam tidak harus serta merta membuat musik islami. Ia katakan bahwa seharusnya Umat Islam itu mencari hiburan dengan Al Quran. Hanya itu jawaban beliau tetapi begitu membekas di hati saya.
Shabaz dan Shiraz adalah ahli komputasi di Forschungszentrum Jelich. Super komputer tercepat di eropa yang ada di pusat riset ini menjadi tanggung jawab mereka. Mereka berdua adalah saudara saya dari Pakistan, dan mereka saudara kembar. Sempat saya bisa mengenali yang mana Shabaz dan yang mana Shiraz, tetapi satu pekan kemudian saya lupa lagi. Sampai sekarang pun saya hanya memanggil mereka "Brother“ supaya lebih mudah.
Pernah saya tanyakan apakah superkomputer yang kecepatannya sudah tidak terbayangkan itu memang dimanfaatkan atau hanya untuk berlomba-lomba siapa yang paling cepat, maka mereka menjawab bahwa itu memang dimanfaatkan untuk perhitungan kasus-kasus yang rumit dan amat membutuhkan bantuan komputer untuk menghitungnya. Kadang-kadang Shabaz dan Shiraz ini setelah shalat Jumat tidak kembali lagi ke institut tetapi bekerja dari rumah. Mereka online dan kemudian mengirim serta mengkomunikasikan pekerjaan mereka melalui internet. Keduanya amat bersemangat bila bercerita tentang kondisi Pakistan, terlebih ketika saat ini sudah berganti pemimpin.
Shabaz dan Shiraz ini juga pernah mengatakan bahwa Sahabat Saad bin Abi Waqash dimakamkan di Cina. Saya sendiri tidak tahu mengenai hal ini, tetapi mereka mengatakan bahwa jangan dikira Umat Islam di Cina itu sedikit, persentase mereka yang kecil berarti banyak bila dibandingkan jumlah muslim di negara-negara lain. Tetapi ketika pernah membaca mengenai hal ini, memang banyak Umat Islam di Cina, hanya saja keberadaan mereka kurang diliput oleh media.(Bersambung)