Suatu saat saya punya cerita unik dengan Ersoy ini. Kami semobil ketika baru selesai shalat Jumat, menumpang mobil Ersoy. Ali dan saya adalah penumpangnya. Ersoy mengatakan pada Ali bahwa ia melihat anak Ali yang di kereta bayi sudah besar, dan berujar pada Ali, „Kamu saatnya membuat yang kedua.“ Anak perempuan Ali bernama Nada, mengingatkan pada nama anak dari saudara saya di Indonesia. Artinya pun indah, embun di pagi hari. Umurnya masih sekitar setahun. Biasanya ketika kami shalat Jumat yang hadir tidak hanya jamaah pria tetapi juga wanita.
Jadi ini memang kesempatan sepekan sekali yang paling baik untuk bertemu saudara-saudara lainnya. Sehingga ibu-ibu pun ikut membawa serta anak mereka ke masjid. Ali pun kemudian menjawab Ersoy dengan mengatakan, "Yang kedua mana dulu?“ Saya sempat berpikir maksud perkataan Ali tetapi kemudian menyadarinya. Ersoy malah langsung tertawa. Rasanya Ersoy melihat ini adalah kesempatan untuk membicarakan sesuatu yang tidak mungkin ia obrolkan bila saat itu ia ada bersama istrinya. Ya, maksud Ali adalah apakah istri kedua atau anak kedua, walau sebenarnya dari senyumnya ia bermaksud pada definisi yang pertama.
Saya pun bertanya pada Ali, apakah di Jordan lazim beristri lebih dari satu. Ali pun menjawab bahwa itu lazim. Saya pun beralih bertanya pada Ersoy. Ersoy malah menjawab seolah mengatakan jangan coba-coba poligami di Turki, itu dilarang. Ya, aturan negara mereka melarang poligami. Pantas saja Ersoy terlihat seolah menemukan kesempatan untuk mengobrolkan sesuatu yang dilarang untuk dilakukan di negaranya. Maka saya pun kemudian menanyakan Ali apakah ia sendiri berencana untuk mengambil istri lagi. Waktu itu Ali hanya menjawab, "I don’t know.“ Ia katakan bahwa berpoligami di Jordan syaratnya hanya kemampuan sang suami untuk membuktikan bahwa ia mampu terutama secara materi untuk secara adil menafkahi istri-istrinya.
Ia katakan semakin bertambah istri, bertambah pula uang yang harus dibayar untuk diperbolehkan menambah istri. Waktu itu ia menyebut jumlah 1000 untuk istri ke empat. Saya sendiri lupa apakah 1000 itu dalam euro, dollar, atau pound. Lalu saya tanyakan apakah bila ia nanti hendak berpoligami maka ia harus mendapat izin istrinya dahulu. Maka Ali menjawab tidak ada keharusan itu. Yang penting adalah sang suami betul-betul yakin bisa bersikap adil terhadap istri-istrinya. Ia katakan bahwa jangan main-main dengan syariat ALLAH yang satu ini.
Saya sendiri menangkap kesan bahwa Ali punya rencana untuk berpoligami karena memang itu lazim di negaranya, hanya saja belum saatnya. Ersoy yang melihat saya bersemangat bertanya masalah ini malah berkata pada saya untuk menikah dahulu. Ali yang mendengar Ersoy, lalu hanya membalas, "Ia sudah menikah!“ Ersoy tentu kaget karena mungkin dilihatnya saya layaknya pemuda yang masih pantas disebut bujangan. Terlebih saya hidup di Jerman tidak bersama keluarga. Maka saya pun menjelaskan bahwa saya sudah punya anak yang berumur hampir 20 bulan. Ersoy malah kaget lagi mengetahui anak saya sudah cukup besar. Saya sendiri terkadang sulit percaya ternyata saya sudah seorang ayah dari anak yang sudah hampir 2 tahun. Ali kemudian mengakhiri kata-katanya dengan mengatakan, "Walaupun wanita itu seorang muslim yang baik, ia tetap tidak suka poligami.“ Saya kira bukan bagian saya untuk mengklarifikasi ini.
Tetapi sebagai seorang muslim saya meyakini bahwa saya perlu tahu tentang syariat ALLAH yang satu ini. Karena hal ini memang diatur dalam Islam. Saya tidak ingin menjadi mengambil yang sebagian dan meninggalkan yang sebagian. Islam ini bukan untuk kita pilah-pilah mana yang kita suka kemudian kita ambil dan yang tidak kita suka kita tinggalkan. Tidak ada itu. Itu bukan Islam. Islam itu submission. Berserah penuh pada apa yang telah ditetapkan-Nya karena Dia lah Yang Maha Tahu apa yang baik dan tidak baik bagi kita.
Apa hak manusia untuk mencoba mengatur apa yang telah Dia atur. Jangan sampai kita melakukannya, karena inilah penyebab sampai sekarang ada sekelompok umat yang hidup di dunia ini tidak pernah mendapatkan tempat yang tetap, merampas yang bukan miliknya. Ya, bumi ini seolah menolak untuk menganggap mereka sebagai teman karena begitu angkuh dan bebalnya mereka dengan apa yang telah diberikan ALLAH kepada mereka tetapi malah mereka lemparkan itu ke belakang mereka.
Membicarakan poligami, saya sendiri punya kisah unik. Saya dan istri saya menikah dalam usia yang relatif masih muda, bahkan bagi keluarga besar ayah saya, hal ini tidak lazim bagi seorang laki-laki dalam keluarga mereka. Nah, ketika kami masih awal-awal menikah, istri saya malah berujar pada saya, apakah saya mau dicarikan istri yang kedua. Saya tentu kaget. Mana ada kepikiran untuk menambah beban seorang pemuda polos yang mendapat istri saja sudah beruntung.
Tetapi istri saya hanya beralasan bahwa dia merasa bahagia bersama saya dan ingin orang lain juga merasakan kebahagiaan yang ia rasakan. Saya tentu sulit menerima hal ini. Tetapi memang salah satu yang membuat saya jatuh cinta pada istri saya adalah dia amat baik terhadap orang lain, siapa saja. Ia ingin orang-orang di sekitar dia juga bahagia. Kadang saya suka cemburu dengan sikapnya yang terlalu baik pada orang lain.
Bahkan istri saya sering digoda teman-temannya atau para dokter senior di rumah sakit yang mengatakan bahwa apa tidak takut bila nanti suaminya pulang dari Jerman berdua. Ia hanya menjawab tenang-tenang saja, bahkan membela alasan bila itu terjadi untuk kebaikan suaminya. Istriku, engkau memang aneh.
Nah ketika saya pulang ke Indonesia, selama sebulan, pertengahan Ramadhan lalu, maka tentu kami punya banyak waktu untuk bercengkrama. Kepulangan saya yang pertama pada akhir tahun 2007 hanya selama dua pekan, hingga terlalu singkat rasanya, walau yang sebulan ini pun tetap terasa singkat juga. Waktu itu istri saya tiba-tiba berujar bahwa sekarang ia menyadari bahwa ia amat menyayangi saya dan tidak rela bila harus berbagi dengan yang lain. Saya yang tidak ada angin tidak ada hujan tentu tidak pernah menyiapkan komentar apapun untuk kata-katanya yang tak pernah terpikir oleh saya. Tetapi setiap ada obrolan ini, seingat saya tidak pernah saya yang memulai, selalu istri saya. Rasanya suatu saat saya harus bertanya pada suami-suami lain apakah mereka mengalami sama seperti yang saya alami. Waktu itu mendengar ucapan istri saya, saya hanya berujar dalam hati, "Berarti dulu belum sayang dong.“
Ketika sekitar satu bulan yang lalu kami chat di internet menjelang kepulangan habis saya ke tanah air, maka lagi-lagi materi ini menjadi tamu yang datang tak diundang. Dalam sms yang pernah saya kirim ke istri saya selama hidup di Jerman ini, maka saya katakan, "Aku ingin mencintaimu sebagaimana Rasulullah mencintai Khadijah, cintanya Ali pada Fatimah.“ Saya memang amat mengagumi kedua sosok wanita dalam kalimat saya itu. Yang pertama adalah manusia yang pertama beriman pada Rasulullah, pendamping setia sekaligus saksi dari berbagai kesulitan dan kepayahan yang dialami Rasulullah di masa-masa awal dakwahnya, dan satu-satunya ibu dari anak-anak Rasulullah SAW, sedangkan yang kedua adalah penghulu para wanita surga. Maka saya pun ingin meneladani laki-laki yang bersanding dengan mereka ini dan ingin mencintai istri saya layaknya Baginda Rasulullah mencintai Ibunda Khadijah r.a. dan layaknya Sahabat Ali mencintai putri tercinta Rasulullah, Fatimah r.a.
Jadi tentu sudah jelas kemana sikap saya ini berujung. Saya sendiri tidak tahu sejak kapan saya bisa merangkai kata-kata cinta, tetapi mungkin kesendirian dan kerinduan memaksa seluruh tubuh dan pikiran saya untuk bersatu padu membuat suatu rangkaian kata hanya untuk istri tercinta. Ketika chat itu istri saya bertanya apakah saya sudah membaca pesannya. Saya sendiri tidak tahu pesan mana yang ia maksud. Ia lalu berujar bahwa ia mengirim pesan dalam e-mailnya. Maka saya pun segera membuka e-mail dan rupanya istri saya mengirimkan attachment berupa puisi, judulnya saja "puisi cintaku“.
Terharu saya membaca puisi itu. Istri saya memang amat pandai berpuisi. Tetapi baru kali ini rasanya ia menyampaikan puisi yang seolah menjelaskan perasaan sebenarnya terhadap saya. Sempat saya abaikan chat istri saya karena berulang-ulang membaca puisinya. Maka ia pun kemudian berusaha menyadarkan saya dari perenungan singkat saya. Maka saya hanya membalas, "Pantaslah Rasulullah senantiasa mengingat Khadijah, pantas pula Aisyah senantiasa cemburu pada Khadijah.“ Saya sebenarnya hendak menonjolkan kelebihan yang satu dengan membandingkannya dengan yang yang sama-sama setara. Ya, bagi saya maka untuk menonjolkan kelebihan Ibunda Khadijah r.a., maka tidak ada wanita lain yang pantas sebagai pembanding kecuali wanita yang amat mulia pula, Ibunda Aisyah r.a.
Yang pertama sudah jelas, dan yang kedua adalah satu-satunya perkataan „yang paling dicintai“ yang pernah diucapkan oleh Rasulullah untuk manusia selain kepada sang ayah dari yang disebut namanya. Eh, istri saya malah membalas, "Do you need Aisyah too? Did you? Do you?“ Waktu itu yang terlontar dari saya hanya, "Apakah Rasulullah membutuhkan selain Khadijah?“ Istri saya malah membalas bahwa kadang ia merasa egois untuk hanya ingin suaminya menjadi miliknya tetapi ia kemudian berkata bahwa ia rela bila memang saya menghendakinya. Lagi-lagi saya harus berusaha menangkap kenapa istri saya bisa berpikir sampai kepada hal yang pada saat itu sama sekali tidak terpikir oleh saya. Tetapi tetap tidak saya temukan jawabannya. Ah..kalaulah di dunia ini ada dua misteri, maka bagiku yang pertama adalah fisika dan yang kedua adalah wanita. (Bersambung)