Kesempatan lainnya ketika berbincang dengan Ali saya pergunakan untuk tahu lebih banyak tentang bahasa arab. Entahlah, bagi saya Bahasa Arab adalah bahasa yang paling indah dan paling mampu memenuhi kebutuhan berbahasa umat manusia karena lengkapnya perbendaharaannya. Pantaslah Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Sungguh beruntung saudara-saudara saya yang bisa berbahasa Arab. Sampai sekarang saya suka sedih bila mengingat saya belum bisa berbahasa Arab. Entahlah, rasanya kesia-siaan terbesar saya saat ini adalah belum bisanya saya berbahasa Arab.
Ali mengatakan bahwa setiap nabi diturunkan sesuai dengan kondisi kaum di mana nabi itu diturunkan. Nabi Isa diturunkan pada kaum yang mengenal dunia pengobatan. Sehingga ketika Nabi Isa berdakwah pada mereka, maka ALLAH memberikan mukjizat yang membuat kaum Nabi Isa tersebut kagum bahwa yang mereka lihat dari Nabi Isa tidak pernah mereka dapati pada pengetahuan mereka sebelumnya. Alasannya cuma satu, agar mereka yakin bahwa yang berkuasa atas itu adalah Yang Maha Kuasa Atas Segalanya.
Jadi ketika Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk memulai dakwahnya dari kaum di mana Rasulullah berada, maka bangsa Arab saat itu adalah bangsa yang amat menghargai sastra karena mereka memang amat menguasai sastra. Ketika Rasulullah membawa mukjizat berupa Al Quran, maka itu untuk mengatakan bahwa mana yang lebih indah, sastra buatan bangsa Arab itu atau untaian kalimat yang dirangkai langsung oleh ALLAH Yang Ahad. Itulah kenapa kemudian ALLAH menantang mereka untuk membuat satu ayat saja serupa Al Quran, tetapi mereka memang tidak bisa.
Saya lalu bertanya pada Ali kenapa orang Arab belum tentu bisa membaca Al Quran. Ali menjawab bahwa karena memang Al Quran itu bahasanya lebih tinggi dari bahasa Arab yang saat ini dikenal. Ia katakan bahwa dibutuhkan ketelitian dan tidak boleh main-main dalam mengucapkan Al Quran karena nanti yang terjadi adalah secara grammar tidak tepat dan maksudnya pun menjadi berbeda. Waktu itu Ali mencontohkan ayat yang mengatakan bahwa yang takut kepada ALLAH hanyalah ulama. Maka jika orang yang mengucapkannya mengabaikan tata bahasa, maka yang terjadi adalah objek dan subjek tertukar, dan tentu saja artinya amat salah.
Saya sempat bertanya pada Ali apakah Abu Bakar itu memang nama Sang Sahabat. Maka Ali menjawab bahwa itu hanya nama kecil Sang Sahabat dan begitulah seterusnya ia dikenal oleh kaumnya. Nama Abu Bakar sendiri aslinya adalah Abdullah. Saya lalu bertanya apakah nama yang memakai „Abu“ tidak harus berarti bahwa ia adalah anak dari nama sesudahnya. Ali menjelaskan bahwa tidak harus. „Abu“ bisa dipakai untuk menunjukkan kedekatan seseorang dengan kata sesudahnya. Waktu itu ia bahkan menyebut, orang yang ahli fisika pun bisa saja disebut "Abu Physics."
Contoh lain yang ia utarakan adalah Sahabat Abu Hurairah r.a. yang karena kedekatannya dengan kucing kemudian mendapat panggilan ini. Saya lalu bertanya apakah Umar Bin Khattab adalah anak dari Khattab. Ali dengan sabarnya menjelaskan bahwa Khattab itu bukan nama ayah sang sahabat, tetapi adalah julukan untuk sang ayah, Al-Khattab. Jadi sebenarnya Umar bin Al-Khattab. Saya pun melanjutkan dengan nama putri Rasulullah SAW yang diawali dengan "Ummu", apakah memang ia adalah ibu dari nama sesudahnya. Maka Ali sempat bingung ketika menjawab pertanyaan saya ini. Ia katakan bahwa bila "Ummu“ dipakai dengan nama lain maka itu lazim di Arab bila digunakan sebagai nama, ia lalu mencontohkan salah satu artis wanita Arab yang berawalan "Ummu“. Tetapi bila"Ummu“ itu dipakai sebagai nama kecil layaknya Abu Bakar, ia katakan bahwa ia belum pernah mendapatinya. Sebenarnya pertanyaan saya ini saya arahkan untuk bertanya mengenai pertanyaan terakhir saya.
Apakah seseorang yang bernama "Ibnu" harus berarti anak dari nama sesudahnya. Maka Ali pun menjawab itu tidak harus. "Ibnu“ itu bisa dipakai untuk menunjukkan kedekatan dengan nama sesudahnya. Waktu itu Ali pun lalu mengingatkan mengenai Maryam yang juga disebut Akhu Harun. Itu bukan berarti Maryam adalah saudara Nabi Harun, tetapi semata menunjukkan bahwa Maryam adalah wanita yang keimanannya amat menyerupai Nabi Harun. Saya sebenarnya hanya ingin tahu maksud di balik nama saya.
Suatu saat ada Ali yang datang ke rumah saya di Flossdorf. Ali ini bukan Ali saudara saya di Forschungszentrum Juelich, tetapi Ali yang ini adalah saudara saya dari Yaman. Entahlah, kadang saya merasa pengalaman hidup saya banyak yang aneh-aneh hingga harus berjumpa dua Ali dengan karakter yang berbeda sama sekali. Ali ini dahulu pernah tinggal di tempat Frau Weiergraeber selama 3 bulan, sebelum kemudian ia pindah ke Juelich yang lebih dekat dengan kampus studinya di FH Aachen kampus Juelich.
Ketika di sini dahulu ia juga sempat mengajari Luka pelajaran matematika. Saat ini ia sedang menyelesaikan master bidang teknologi kedokteran, tomography, di Koeln. Pertama kali bertemu di depan pintu rumah Frau Weiergraeber, saya sudah bisa langsung tertawa-tawa dengan dia. Orangnya lucu dan banyak bicara. Gayanya sedikit santai dan waktu itu sambil merokok. Karena banyaknya bicaranya, Frau Weiergraeber sempat mengingatkan batang rokoknya yang sudah hampir habis mencapai jarinya. Saya tentu tertawa melihat tingkah Ali ketika meyadari ini.
Ia kemudian melihat nama saya yang tertera di dekat pintu masuk dan mengomentarinya. "Oh..Kamu tahu apa arti nama Kamu?“ Saya pun tidak menjawab tetapi malah bertanya, "Apa?“ Ia lalu menjelaskan bahwa Kahfi itu berarti cukup. Saya tentu heran dengan makna yang ia sampaikan berbeda dengan yang saya duga sebelumnya. Ia melanjutkan bahwa Kahfi itu berarti kalau sudah memiliki sesuatu itu maka itu sudah cukup dari segalanya. Tidak perlu yang lain lagi kalau sudah memilikinya, karena itu disebut cukup.
Saya tentu senang dengan arti yang diutarakan Ali tetapi tentu saja saya juga bingung kok artinya bisa berbeda dengan yang selama ini saya pahami. Saya pun lalu mengeja nama saya dan terdengar jelas oleh Ali saya menyebut "H“ ketika menyebut nama saya ini. Ali pun lalu bertanya apakah saya mengeja nama saya layaknya orang Jerman atau ikut menyebut "H“ nya. Saya tentu menjawab yang kedua. Rupanya Ali awalnya mengira ejaan saya layaknya dalam bahasa Jerman yang bila ada huruf "H“ di tengah maka tidak disebut, dan bila ada huruf vokal yang mendahuluinya maka, sebutan huruf tersebut diperpanjang. Jadi sebenarnya maksud Ali adalah "Kafi“.
Lalu saya pun bertanya, "Nah sekarang apa artinya?“ Ia hanya terdiam seolah mencari makna yang pantas diutarakan. Waktu itu ia hanya mengatakan, "Apa ya?“ Ia mencoba menjelaskan kepada Frau Weiergraeber sesuatu yang disebut gua tetapi ia lupa bahasa Jermannya. Kemudian saya lanjutkan, "Ada arti lainnya?“ Ia hanya menjawab, "Hanya itu.“ Ketika saya sempat chat dengan istri saya di warnet, maka saya ceritakanlah pengalaman saya dengan Ali ini. Saya katakan pada istri saya bahwa saya rasanya lebih suka dengan arti awal yang dikatakan Ali terhadap nama saya.
Yang saya tahu bahwa yang memberi nama saya bukanlah orang tua saya, tetapi kakek saya dari ayah, saya memanggilnya Aki. Jadi waktu itu Aki saya sudah menyiapkan dua nama untuk cucunya ini, tetapi nama yang satu ternyata sudah dipakai oleh temannya, hingga nama yang tersisa lah yang kemudian dia berikan pada saya. Nama Bachtiar sendiri baru saya tahu pasti artinya ketika bertemu Nazanin, rekan kerja saya dari Iran. Selama ini yang saya tahu dari ayah saya, nama akhir saya yang juga nama ayah saya ini mempunyai arti beruntung. Tetapi ayah saya sendiri tidak bisa menjelaskan dari mana arti ini datang. Saya yang pernah mencari kata ini dalam bahasa Arab tidak juga menemukannya dalam bahasa ini. Rupanya Bachtiar itu berasal dari Bahasa Persia.
Nazanin ketika melewati ruangan saya dan mendapati nama saya di pintu yang berakhiran Bachtiar, maka ia malah menyangka orang yang di dalam ruangan juga adalah orang Iran, tetapi ketika melihat saya, maka orang yang ia dapati bukanlah berwajah Iran. Nazanin kemudian menjelaskan bahwa Bachtiar itu di Iran disebut dengan Bachtyar. "Bacht“ artinya beruntung, dan "yar“ artinya teman. Tetapi artinya bukanlah teman yang beruntung, melainkan keberuntunganlah yang selalu menjadi temannya. Saya kemudian berpikir bahwa amat beruntunglah orang-orang yang bernama ini bila dia memang seperti apa yang terdapat pada namanya. Saya malah berencana untuk menjelaskan ini pada ayah saya kelak. Nama ini pun rasanya juga tidak susah ditemui dari masyarakat kita dari daerah Sumatera, sehingga kadang saya terpikir bagaimana sisa Bahasa Persia ini masih bisa meninggalkan jejak di nusantara selain Bahasa Arab yang memang sudah lebih jelas sejarahnya. (Bersambung)