Bung Azhar menceritakan bahwa saat ini Jerman sudah tidak meneruskan pembangkit listrik tenaga nuklirnya. Alasannya adalah lebih politis ketimbang teknis. Ketika terjadi tragedi instalasi nuklir Rusia, maka kebanyakan partai politik di Jerman menyampaikan pada masyarakat bahwa hal sedemikian juga berisiko terjadi, maka sepantasnya urusan nuklir ini tidak diteruskan. Akhirnya ketika partai-partai tersebut menguasai lembaga perwakilan, maka tamatlah riwayat pembangkit nuklir Jerman.
Ketika saya tanya bagaimana pendapat beliau mengenai rencana pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia, maka beliau menjawab bahwa pada dasarnya beliau mendukung, tetapi beliau mempertanyakan mau disediakan dari mana sumber daya manusia yang akan bertanggung jawab mengurusnya sedangkan di Indonesia sendiri saat ini tidak ada program studi bidang nuklir. Ketika saya katakan bahwa di UGM ada Teknik Nuklir, karena saya sendiri dahulu sempat tertarik untuk kuliah di bidang ini, maka Bung Azhar menjawab bahwa sekarang sudah tidak ada lagi.
Jadi sekarang jumlah tenaga ahli nuklir di Jerman semakin menyusut. Banyak yang pensiun tetapi penggantinya tidak banyak bermunculan. Bung Azhar mengatakan bahwa justru saat ini yang banyak berkecimpung dalam bidang nuklir di Jerman adalah bangsa Cina, jadi dia katakan bahwa bila suatu saat Jerman ingin membangun kembali pembangkit nuklirnya, maka mereka harus belajar dari orang Cina. Sempat saya tanyakan kenapa kondisinya berbeda dengan Perancis yang sampai saat ini persediaan listriknya masih didominasi oleh pembangkit nuklir, maka Bung Azhar mengatakan bahwa, dalam menyikapi alasan serupa sebagaimana di Jerman, rakyat Perancis lebih cerdas.
Tetapi memang, di masa sekarang kewarganegaraan boleh melihat bangsa, tetapi tidak bagi ‘warga negara ilmu pengetahuan’, status kewarganegaraannya tidak melihat bangsa. Darimana pun berpeluang untuk menguasai ilmu pengetahuan. Bahkan saya menjadi semakin yakin bahwa sebenarnya Umat Islam lah yang paling berhak untuk menjadi pemegang obor ilmu pengetahuan yang tidak pernah padam.
Tentu ada alasannya, dan ini saya dapati ketika pertama kali shalat Jumat di Juelich di mana hampir semua jamaah yang masih muda adalah mahasiswa master dan PhD di Forschungszentrum Juelich, dengan berbagai bidang ilmu yang ditekuni. Kalaupun ada satu yang tua, maka ia hanya Prof. Qaim, ahli kimia nuklir dari Pakistan. Yang lainnya adalah pemuda.
Ali, hanya itulah namanya, saudara saya dari Yordania. Setiap bertemu, maka sapaannya sesudah salam adalah "How is life?" Bagi saya sapaan ini tidak biasa walau sebenarnya penggunaannya dalam bahasa Inggris sama saja dengan "How are you". Tetapi kadang-kadang saya suka mengartikan sesuatu secara tekstual bila itu sudah cukup sebagai arti. Maka kadang saya suka berpikir dahulu sebelum menjawab.
Suatu saat saya pernah menjawab sapaannya dengan "Alhamdulillah, insyaALLAH today is better than yesterday." Maka yang saya dapati adalah wajah bingung Ali mendapati jawaban saya. Mungkin ia berharap jawaban "fine" yang lazim diucapkanlah yang menjadi sapaan balasan saya.
Nama belakang Ali adalah nama keluarganya yang terpaksa ia sandang karena di Jerman membutuhkan nama depan (Vorname) dan nama belakang atau keluarga (Familienname) dalam identitas resmi. Ketika saya tanyakan apakah nama orang-orang arab memang hanya satu kata, maka ia menjawab lazimnya memang demikian, tetapi saat ini juga mulai banyak orang-orang arab yang namanya lebih dari satu kata, tetapi tetap bukan kelaziman.
Saya pernah membaca gambaran fisik dari Imam Ali, walau saya tidak tahu pasti apakah referensi yang saya baca itu shahih atau tidak, namun beberapa ciri itu saya dapatkan pada saudara saya Ali ini. Ali ini sedang bekerja di bidang properti magnet. Sempat saya tanyakan beberapa hal mengenai bidang penelitiannya, tetapi yang saya ingat adalah, magnet yang diletakkan di atas substrat, propertinya bisa dipengaruhi oleh substrat di bawahnya, namun tidak sebaliknya. Ali ini satu institut dengan Prof. Gruenberg, sang peraih Nobel Fisika 2007.
Hanya saja Prof. Gruenberg lebih banyak bekerja dalam eksperimen. Ali kemudian menceritakan awalnya Prof. Gruenberg bisa meraih hadiah Nobel ini. Sebenarnya kata yang lebih layak adalah "diberi" bukan "meraih", karena rasanya peneliti sejati itu meneliti bukan untuk mengejar penghargaan, tetapi penemuan dan kemanfaatan. Jadi Prof. Gruenberg ini hampir lima belas tahun menekuni suatu masalah, dan suatu saat secara tidak sengaja ia menemukan suatu fenomena yang ia sendiri belum jelas jawabannya.
Jadi kemudian ia menerbitkan paper yang mengungkap fenomena ini dan berharap ada yang menjelaskannya. Tetapi fenomena yang ditemukannya itu malah kemudian dimanfaatkan oleh para pengembang dan dunia industri, malah para mahasiswa yang mungkin tidak pernah tahu seorang Peter Gruenberg ketika mereka menggunakan USB stick-nya.
Sebenarnya sudah sejak lama saya memahami bahwa para peraih Nobel itu adalah pekerja keras yang langka. Ketekunan mereka luar biasa dan amat langka di banding rekan-rekan mereka lainnya. Kecerdasan tentu dibutuhkan, tetapi setiap saya membaca kisah-kisah peraih Nobel, maka yang menjadi kesimpulan bukanlah kecerdasan sang Nobelis, tetapi ketekunan mereka dan ketahanan mereka untuk tidak pernah menyerah, untuk suatu masalah yang bahkan di masanya dianggap tidak mungkin sekalipun.
Saya jadi teringat perkataan seorang peraih Nobel Fisika, saya lupa kalimatnya dalam bahasa Inggris, tetapi intinya adalah, "ketika belum mendapatkan jawaban yang diharapkan, teruslah mencari, suatu saat jawaban itu sendiri yang akan memperkenalkan dirinya pada kita, karena membalas sikap kita yang tidak pernah menyerah untuk mengenalinya."(Bersambung)