Ketika bergabung dalam Forschungszentrum Juelich inilah saya menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu bukan hak bangsa tertentu saja, tetapi hak semua. Seluruh umat manusia berhak mempelajarinya, mengembangkannya, berkontribusi pada kemajuannya, dan tentu saja memanfaatkannya secara luas. Amat mudah menemukan orang-orang Cina dan India di pusat riset ini. Belum lagi yang lainnya, dari Turki, Arab, Iran, Eropa Timur, Afrika, Asia Tengah, rasanya betul-betul beragam.
Ketika musim dingin belum mulai, saya biasanya mengendarai sepeda dari rumah melewati perladangan untuk kemudian mengambil kereta dari halte di desa terdekat, Tetz. Dari sana kereta akan membawa saya langsung ke halte Forschungszentrum Juelich. Nah, suatu saat ketika bersepeda saya mendapati seorang pria yang agak tua sedang lari pagi. Badannya kecil dan wajahnya tidak asing bagi saya. Maksudnya ketika melihatnya pertama kali, saya langsung merasa bahwa jangan-jangan bapak tua ini orang Indonesia.
Tetapi ketika pertama kali berjumpa, waktu rasanya tidak pas karena saya sedang memburu kereta dan beliau sendiri terlihat menikmati lari paginya. Kami saling melihat tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kemudian ini berlanjut pada hari-hari berikutnya, cukup sering saya mendapati bapak tua ini lari pagi. Tetapi setiap bertemu tidak ada interaksi di antara kami. Saya waktu itu hanya berpikir, kalaulah dia orang Indonesia, pastinya dia sudah menyapa saya duluan karena dia juga melihat wajah saya pun orang Indonesia. Karena kami tidak bertegur sapa, maka saya hanya menduga bahwa bapak ini mungkin dari Vietnam atau negara asia lainnya.
Tetapi suatu saat ketika saya sedang berkendara sepeda, saya melihat bapak tua ini berjalan-jalan bersama istrinya. Ketika melihat istrinya, saya langsung yakin bahwa wajah itu adalah wajah tulen orang Indonesia, tetapi lagi-lagi waktu seolah menunda terjadinya pembicaraan awal di antara kami. Saya terlalu diburu-buru untuk segera sampai di halte kereta.
Suatu saat saya berniat untuk lebih pagi berangkat dari rumah sehingga bila bertemu orang itu bisa mengenalinya. Maka kami pun bertemu, lalu saya berhentikan sepeda saya, dan setelah mengucapkan, "Morgen[1]!“ saya pun bertanya, "Woher kommen Sie[2]?“ Saya merasa pertanyaan saya langsung to the point, tetapi saya memang tidak bisa lagi menahan diri untuk segera tahu sosok di depan saya ini. Terlihat sempat berpikir sejenak bapak itu, kemudian menjawab, "Ich komme aus Indonesien[3].“ Maka seketika itu pula saya berkata, "Ah Bapak, saya juga dari Indonesia!“ Itulah awal perkenalan kami. Saya hanya tahu namanya Azhar. Tetapi saat itu bukan waktu yang tepat untuk lebih mengenal, beliau pun kemudian mengingatkan saya agar tidak terlambat naik kereta, maka saya pun melanjutkan perjalanan sepeda saya.
Ketika pulang dari institut dan sampai di rumah, saya ceritakan kejadian yang saya alami tadi pagi kepada Frau Weiergraeber. Frau Weiergraeber sendiri sulit mempercayainya. Frau Weiergraeber kemudian menanyakan nama orang itu dan kemudian mencarinya di buku telepon. Hanya ada satu Azhar dan alamatnya juga di Tetz, maka hampir pasti itulah orangnya. Saya pun akhirnya mengetahui alamat Bung Azhar ini. Ketika pertama kali ke rumahnya di sore hari, beliau sedang tidak di rumah karena rupanya juga kebiasaan beliau bersama istrinya untuk jalan-jalan dengan sepeda di sore hari, bahkan sampai ke kota Juelich.
Jadi Bung Azhar ini dulu profesor fisika nuklir di Forschungszentrum Juelich dan sekarang sudah pensiun. Beliau juga sempat memegang posisi penting bidang nuklir di Indonesia dan kenal dengan nama-nama terkenal di Indonesia yang pejabat maupun mantan pejabat. Pengalaman langka bagi saya bisa mengetahui kesan beliau terhadap para pejabat dan mantan pejabat yang beliau kenal itu.
Bung Azhar ini amat berharap pada generasi muda untuk mengubah kondisi bangsa ini. Wajar saja, beliau mengalami kondisi bangsa ini dari ketika masa sulit di masa Soekarno, yang segala kebutuhan hidup sulit didapat karena Soekarno menolak masuknya modal asing karena dianggap imperialisme terselubung. Beliau hidup hingga orde lama berganti menjadi orde baru, dan sekarang kalaulah bisa disebut, masa reformasi.
Yang paling sering diulang-ulang Bung Azhar ini adalah, kondisi sekarang ini seperti jarum jam yang diputar mundur ke 50 tahun yang lalu. Tetapi ada dua yang berbeda, dahulu negeri ini masih perawan, segala kekayaan alam masih tersimpan aman, dan menunggu untuk dimanfaatkan oleh anak bangsa. Tetapi sekarang yang terjadi adalah, kekayaan alam negeri ini sudah diambil orang lain dan menunggu anak bangsa untuk menyesalinya. Ya, inilah yang ditekankan Bung Azhar.
Beberapa kali Bung Azhar menyuruh saya untuk membaca pidato-pidato Bung Karno pada masa antara kemerdekaan hingga 1959. Beliau bilang kondisi yang digambarkan dalam pidato itu persis dengan apa yang terjadi sekarang. Saya sendiri belum sempat memenuhi suruhan beliau ini karena dari mana saya bisa membaca pidato-pidato tersebut sedangkan saya di Jerman. Kalaupun ada, itu sebatas yang bisa saya dapat dari internet.
Saya sendiri tidak tahu banyak tentang Soekarno, tetapi rasanya cukup banyak referensi yang membahas proklamator pertama ini, baik yang ditulis orang lain maupun oleh sang tokoh sendiri. Terlepas dari begitu banyaknya kontroversi di setiap pembahasan tokoh ini, hanya satu yang saya tahu pasti, bahwa Soekarno adalah pemimpin yang ketika di masanya cukup banyak anak-anak bangsa ini yang juga pemimpin, tetapi anak-anak bangsa ini sepakat ketika harus ada satu pemimpin, maka Soekarno lah orangnya. Nah, sekarang, adakah pemimpin yang seperti ini? (Bersambung)
Catatan :
[1] Pagi!
[2] Anda berasal dari mana?
[3] Saya dari Indonesia