Pendidikan itu amat penting, jadi bukan pada tempatnya untuk tidak bersungguh-sungguh menggarap bidang ini. Bagi saya keberhasilan sebuah pendidikan adalah ketika sang peserta didik memahami pengetahuan apa yang ia butuhkan dan ia sendiri yang kemudian berusaha mengejar pengetahuan itu. Sungguh aneh jika kita belajar sesuatu tetapi kita tidak pernah tahu sebenarnya untuk apa kita mempelajarinya.
Yang saya ketahui, dahulu Socrates, Plato, Aristoteles mengajari murid-muridnya dengan berjalan-jalan dan langsung membawa mereka melihat kasus yang hendak dipelajari. Ilmuwan-ilmuwan Islam dahulu mereka belajar langsung pada sang guru yang memang ahli dalam suatu bidang. Menurut saya metoda belajar langsung inilah yang terbaik, mungkin layaknya talaqi seperti saudara-saudara saya yang belajar di timur tengah. Semakin kita mengambil air dari sumber air yang dekat dengan mata air, maka semakin jernihlah air yang kita dapat. Apalagi bila bisa langsung ke mata airnya.
Lihatlah Ibnu Taimiyyah, muridnya adalah Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir. Bisakah kita membandingkan mana yang lebih berilmu di antara mereka? Inilah pendidikan sejati, ketika air yang jernih itu bisa dibagikan ke yang lain dalam keadaan jernih pula.
Tidak akan tertampung? Sebenarnya terkonsentrasinya jumlah peserta didik pada satu jenis tempat pendidikan bukan karena sedikitnya tempat pendidikan itu dibandingkan jumlah peserta didik, bukan. Tetapi sikap kita yang seolah-olah membatasi tempat pendidikan itu hanya pada tempat-tempat tertentu dan mengabaikan yang lain. Mereka yang tidak punya keberanian tentu tidak berani pula bila tidak ikut dengan kelaziman ini.
Di Jerman ini seorang doktor menghormati keahlian seorang teknisi layaknya mereka menghormati sesama doktor. Alasannya cuma satu. Boleh saja ia ahli di bidangnya dengan predikat doktor yang disandangnya, tetapi jika dihadapkan pada bidang yang sang teknisi lah yang lebih mengenalnya, maka mereka juga tidak tahu apa-apa, sehingga ketika bertemu seorang teknisi, apa yang mau mereka banggakan.
Baru saja tadi siang saya mendapat pelajaran yang amat berharga. Raba, saudara saya dari Maroko adalah seorang teknisi, tetapi untuk menjadi teknisi ia tetap menempuh sekolah khusus yang mengeluarkan sertifikasi keahliannya. Kami berada dalam satu departemen. Tadi pagi saya mencari-carinya karena membutuhkan perekat antara sepotong pola rubber sheet dan manifold saya yang terbuat dari aluminium solid. Saya hanya ingin menempelkan rubber sheet ini pada manifold sehingga tidak bergerak-gerak ketika saya ingin menggunakannya dalam eksperimen saya. Karena Raba tidak ada, maka saya pun menulis pesan pada secarik kertas meminta tolong ia menelepon saya. Pesan itu saya tempel di atas mejanya. Selang beberapa lama, saya pun menerima telepon yang dibalas dengan ucapan salam dari Raba. Saya lalu mengatakan akan ke ruangannya.
Ketika bertemu dengan Raba, saya ceritakan masalah saya. Ia kemudian menunjukkan lem khusus yang bisa dipakai untuk keperluan saya. Tetapi saya bilang bahwa saya butuh perekat yang tidak meninggalkan jejak jika rubber sheet ini dilepas dari manifold aluminium solid saya. Maka ia pun kemudian mengatakan apakah bermasalah bila menggunakan air. Maksudnya adalah apakah air menjadi masalah dalam eksperimen saya sehingga harus dihindari. Saya awalnya tidak paham maksudnya, tetapi kemudian saya katakan bahwa tidak ada masalah. Maka Raba kemudian membawa saya ke westafel.
Tanpa memutar keran westafel ia menyentuhkan jarinya ke bagian bawah keran yang basah dan kemudian mengusap jarinya yang basah itu pada rubber sheet saya dan kemudian menempelkannya pada manifold aluminium saya. Ia dengan santai bilang, nah sekarang sudah menempel. Saya tentu heran dan tidak percaya, maka saya angkat manifold saya itu dan saya balik sambil berharap rubber sheet itu jatuh, tetapi ia tetap menempel di manifold saya. Subhanallah, waktu itu saya hanya bersyukur bertemu Raba. Mungkin setelah melihat kejadian itu saya bisa memikirkan fenomena fisika untuk menjelaskannya, tetapi tetap saja saya memang tidak pernah mengamalkan pengetahuan ini sehingga bagaimana saya berharap ilmu itu akan membantu saya jika saya sendiri tidak menghiraukannya.
Betapa tawadhunya Raba, ketika ia berujar, „Kepala dua orang memang selalu lebih baik ya.“ Ia tidak mengatakan bahwa dirinya lah yang menjadi solusi atas masalah kami, tetapi malah memasukkan saya padahal saya sendiri lah sang pembawa masalah. Saudaraku, sepanjang saya kerja di insititut ini, tidak banyak senyum tulus yang terlihat dari orang-orang yang bekerja di sini. Wajah yang lebih banyak terlihat adalah wajah penuh tekanan pekerjaan. Hanya tiga orang bagi saya yang senyumnya masih bisa lepas, yaitu Dr. Steinberger, Yong seorang mahasiswa PhD dari Cina yang sedang mengerjakan bagaimana mengatasi masalah sulfur pada fuel cell, dan Raba ini.
Setiap bertemu orang, Raba ini selalu tersenyum dan bisa saya lihat orang yang dia ajak bicara ikut senang berinteraksi dengannya. Raba ini punya masjid sendiri di Aldenhoven, tempat dia tinggal sekarang, tidak jauh dari Juelich. Ia menabung jatah libur kerjanya agar ketika Ramadhan ia bisa sebulan penuh di rumah dan masjidnya ini. Kalau ada saudaraku yang berkesempatan melihat gambar hasil penelitian Forschungszentrum Juelich berupa Solid Oxide Fuel Cells yang disusun menjadi stack, maka insyaALLAH dalam foto itu ada Raba.(Bersambung)