Suatu saat saya diminta oleh Frau Weiergraeber untuk mengajari cucunya, Luka, pelajaran matematika. Luka ini berumur 17 tahun dan saat ini menempuh pendidikan selayaknya SMA di Indonesia. Luka kemudian menyodorkan buku latihan soalnya dan meminta saya menjelaskannya. Waktu itu saya terkejut. Betapa tidak, materi yang dia minta untuk diajarkan adalah sifat komutatif dan distributif dalam matematika. Saya berpikir bagaimana mungkin anak yang satu tahun lagi sudah bersiap menginjak bangku kuliah masih bergelut dengan materi dasar matematika ini. Dalam latihan soal yang dikerjakan Luka, saya temui tidak sedikit kesalahan. Padahal di Indonesia, kadang anak-anak SMA sudah mendapat materi yang selayaknya materi awal masa perguruan tinggi.
Saya jadi berpikir, sebenarnya apa yang kurang dari negeri saya. Saya jadi teringat ketika seorang saudara dari Indonesia menceritakan bahwa seorang ibu menjadi cemas dengan prestasi anaknya ketika mereka harus pindah dari Jerman ke Indonesia. Ibu dan anak ini adalah orang Indonesia yang menetap sementara di Jerman. Anaknya di Jerman meraih prestasi yang membanggakan, mengalahkan anak-anak Jerman lainnya. Alasan kekhawatiran sang ibu, karena sang ibu menyadari bahwa di Indonesia nanti masihkah sang anak mendapat pendidikan yang memang sesuai untuk masa perkembangannya.
Di Jerman ini pendidikan disediakan untuk melayani berbagai minat peserta didik. Bila memang seseorang itu ingin mendalami suatu ilmu dan berniat akan meneruskan lagi ke jenjang yang lebih tinggi, maka tersedia universitas baginya. Bila seseorang itu lebih berminat pada hal yang aplikatif dan lebih suka untuk langsung memanfaatkan ilmunya di dunia kerja selepas kuliah, maka tersedia Fachhochschule[1] untuknya, yang masa pendidikannya lebih pendek ketimbang universitas. Bila seseorang itu betul-betul hanya ingin langsung berkecimpung di dunia praktis, maka juga tersedia Ausbildung[2] yang masa pendidikannnya lebih singkat lagi. Yang satu tidak lebih baik dari yang lain.
Peserta didik lah yang menentukan mana yang cocok dan sesuai untuk diri mereka sendiri. Pemerintahan Jerman pun memperlakukan setiap jenis pelayanan pendidikan ini tanpa diskriminasi. Jadi ketika suatu saat kita ketemu mahasiswa universitas, maka itu adalah pilihannya sendiri untuk belajar di universitas, tidak ikut-ikutan. Begitu pula ketika seseorang itu mengikuti Ausbildung, maka memang itulah yang dicarinya. Saya masih ingat ketika Rueben, seorang peserta Ausbildung yang ikut dalam excursion kami, ia menunjukkan workshop-nya di universitas kami. Ia sedang praktek di sana.
Saya yang melihat workshopnya hanya bisa kagum. Betul-betul lengkap fasilitas yang dimiliki workshop ini. Segala komponen elektronik rasanya tersedia di sini, software merancang rangkaian ada di komputernya, dan amat memadai, peralatan untuk mencetak PCB[3] pun juga ada di sini. Pokoknya lengkap. Saya tentu mengenal isi ruangan workshop Rueben ini, karena dahulu saya juga bekerja pada perusahaan yang memiliki workshop yang bagi saya lumayan untuk bidang garapan kerjanya. Di perusahaan inilah saya dahulu bertemu dengan seorang lulusan STM yang bagi saya jenius dalam hal elektronika praktis. Ia begitu terampil dan paham dengan perilaku setiap komponen elektronik. Saya yang sarjana saja banyak belajar dari dia.
Inilah yang disebut dengan pendidikan yang melayani keragaman manusia, bukan pendidikan yang malah menyeragamkan manusia. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan layaknya di Jerman ini juga sudah ada di Indonesia. Ada SMK yang bermacam-macam bidangnya, dahulu ada STM yang khusus mendidik keterampilan teknik praktis lapangan, saya tidak tahu apakah sekarang masih ada juga sekolah pendidikan guru. Untuk pendidikan tinggi, ada program D1, D2, D3, D4 yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik.
Bahkan universitas terbuka adalah salah satu pilihan terbaik bagi mereka yang memang kondisinya tidak memungkinkan hadir di kelas secara rutin. Belum lagi sekarang begitu banyak sekolah-sekolah tinggi dan akademi yang semakin spesifik bidangnya. Bahkan untuk pendidikan dasar, sekolah-sekolah yang dilangsungkan di rumah, layaknya kelompok belajar menurut saya adalah pilihan yang dalam beberapa hal punya kelebihan dibandingkan sekolah-sekolah formal. Pernah suatu kali saya membaca surat kabar yang isinya menceritakan suatu sekolah rumah di Kalimantan yang melayani minat para pesertanya.
Jadi masing-masing peserta didik ini ditanya, mau belajar apa, maka itulah yang diajarkan pada mereka, tidak ada pemaksaan materi yang mereka sendiri tidak berminat untuk mempelajarinya. Sempat saya katakan pada istri saya bahwa saya terpikir untuk menyekolahkan anak saya di sekolah-sekolah rumah ini.(Bersambung)
Catatan :
[1] Layaknya university of applied science
[2] Mungkin saya menganggapnya seperti pelatihan dengan bidang spesifik.
[3] Printed Circuit Board