Saudara saya ini juga sering membawa anak perempuannya yang masih kecil bila kami dalam perjalanan bersama. Dan bila ia pergi bersama anaknya, istrinya ikut mendampingi. Anak perempuannya yang kecil dan lucu terlihat dekat dengan ayahnya. Dalam beberapa hal, anaknya itu lebih sering ingin di dekat ayahnya ketimbang ibunya.
Saudara saya ini juga tidak sungkan memperlihatkan kemesraannya terhadap istrinya. Mungkin ia tidak merasa bila sikapnya terhadap istrinya itu adalah sikap mesra. Ya, orang yang sudah biasa dengan sesuatu kadang tidak menyadari bila ia telah melakukan sesuatu. Saudara saya ini di Indonesia adalah peneliti.
Bila ia menceritakan ada golongan peneliti yang memang betul-betul bekerja dan berdedikasi dan ada pula golongan lain yang hanya puas dengan label sebagai peneliti selanjutnya tidak malu bila hanya ongkang-ongkang kaki, maka bagaimana hati saya tidak panas mendengarnya. Negeri saya ini bukan kekurangan orang pintar, tetapi langka dengan orang jujur.
Cukuplah seseorang disebut tidak jujur bila ia menuntut orang lain memenuhi haknya, tetapi ia sendiri lalai dalam memenuhi kewajibannya. Orang seperti ini berkumpul dua sifat dalam dirinya. Al Quran sendiri menamakan kelompok jenis ini sebagai orang-orang yang curang. Saudara saya ini juga berwawasan luas. Rasanya wajar, keluarganya adalah keluarga pendidik. Sepanjang hidup saya bertemu dengan saudara-saudara saya yang orang tuanya adalah guru, maka sosok yang saya temui adalah sosok yang cerdas.
Saudara saya yang satu ini adalah dosen muda di tanah air. Ia selesaikan pendidikan S1-nya dalam waktu 3,5 tahun. Ia katakan bahwa ia bersikeras untuk secepatnya menyelesaikan studi S1-nya karena keterbatasan dana. Jadi, ia harus bersungguh-sungguh atas maksudnya.
Kesungguhan dan usaha kerasnya untuk senantiasa menyegerakan kewajibannya terhadap dosen pembimbingnya membuat dosen pembimbingnya hanya melihat satu hal dari dirinya, keseriusan. Ia pun berhasil dengan apa yang menjadi harapannya. Saat ini ia menempuh pendidikan master. Pernah ia ceritakan kekhawatirannya bila tesisnya berlangsung lama, tetapi rasanya saya tidak khawatir, karena apa yang pernah saya pelajari darinya sepertinya akan terulang pada tesisnya ini, insyaALLAH.
Suatu saat ia pernah menceritakan ketika ia menghadapi mahasiswa yang berbuat curang dalam ujian. Ia panggil mahasiswa itu secara pribadi dan ia ajak mahasiswa itu mencoba berpikir jujur, apa yang mau didapat dari menuntut ilmu dengan cara-cara yang tidak jujur.
Saudara saya yang berikutnya ini adalah saudara yang mampu membawa suasana menjadi ceria. Masih muda tetapi sudah menempuh post-doctoral. Suatu saat saya pernah bertanya padanya, berapa lama yang dibutuhkan oleh dirinya untuk meraih profesor di Jerman, ia hanya menjawab, "not more than two years.“ Jawabannya meyakinkan mengingat amalnya di dunia akademis membuatnya pantas untuk meraih jabatan tersebut.
Ada perbedaan antara profesor di Jerman dan di Indonesia. Di Jerman, profesor adalah jabatan, sedangkan di Indonesia hanyalah pangkat. Ketika saya tanyakan bagaimana pula bila di Indonesia, berapa lama yang dibutuhkannya untuk meraih profesor, ia hanya menjawab yang kesimpulannya adalah tidak jelas waktunya.
Ia katakan bahwa dari aturan, sudah jelas persyaratan yang menunjukkan seseorang itu layak meraih profesor, dan baginya hampir semua persyaratan itu telah dipenuhinya. Tetapi ia kemudian menerangkan satu faktor yang membuat dirinya dan rekan-rekannya yang lain sebagai akademisi di Indonesia terhambat untuk mendapatkan apa yang selayaknya mereka terima.
Di Indonesia, seorang profesor baru harus mendapat persetujuan dari majelis senat. Majelis senat ini berisi mereka yang sudah profesor. Ada kesan dan entah apa juga bisa disebut rahasia umum bila profesor-profesor ini sendiri yang cenderung menghambat munculnya seorang profesor baru. Sederhana, karena tidak ingin tersaingi dalam segala hal yang mereka ingin hanya mereka yang memilikinya.
Dengan nada agak keras saya bertanya padanya bagaimana mungkin hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sudah dibiasakan untuk menjunjung tinggi budaya fair dalam dunia akademis? Tetapi memang di Indonesia, apa yang tidak terdapat di belahan bumi lain dapat terjadi di sini, untuk saat ini.
Tetapi tetap saya tidak puas dengan alasan yang diutarakannya. Entahlah, bila hal ini memang kenyataan adanya, rasanya bila saya bertemu profesor yang sedemikian, jangan harap saya akan menunjukkan sikap hormat padanya. Ia tidak pantas untuk dihormati dan diakui sebagai pendidik.
Suatu saat ketika saya dan rombongan saudara-saudara saya baru pulang dari suatu acara yang dihadiri banyak Umat Islam Indonesia di Jerman, kami sedang dalam perjalanan kereta. Acara tersebut diadakan di kompleks masjid yang dikelola oleh saudara-saudara kami dari Turki. Ketika kami ingin pulang, saudara-saudara kami dari Turki ini memberikan banyak roti untuk kami bawa dalam perjalanan.
Di dalam kereta, kami semua kelihatan agak lelah karena memang perjalanan yang kami tempuh cukup jauh. Masing-masing duduk berisitrahat di tempat mereka masing-masing. Tetapi kemudian datang seorang saudara saya yang membawakan roti-roti dan mendatangi kami satu-satu.
Cukup besar kantong yang ia bawa karena roti yang cukup banyak di dalamnya. Saya pun mengambil roti yang ternyata di dalamnya sudah diberi keju atau mentega.
Saudara-saudara kami dari Turki hanya memberi roti polos pada kami dan memisahkan keju, mentega, dan selainya pada tempat lain. Jadi ketika saya dapati roti yang hendak saya makan, yang terpikir oleh saya adalah pasti ada yang telah mempersiapkan roti tersebut agar lebih berasa ketika dimakan oleh yang lain.
Ia sambangi saudara-saudara kami lainnya di kereta tersebut dengan wajah tersenyum. Entah apa ia sendiri sudah memakan roti tersebut sebelumnya. (Bersambung)