Muslim Indonesia di Jerman (1)

Ketika pertama kali mendapat kabar bahwa ada pertemuan muslim Indonesia di Jerman yang bisa saya hadiri, saat itu saya amat bersemangat untuk menghadirinya. Tentu saja, saya hidup di negeri yang asing, orang-orangnya asing, dan bila kemudian saya bisa bertemu saudara-saudara saya yang berbahasa sama, selera makan sama, kebiasaan sama, tentu ini kegembiraan luar biasa bagi saya.

Tetapi pengalaman yang insyaALLAH tidak akan saya lupakan dan rasanya sulit untuk terlupakan adalah bertemu saudara-saudara saya dari Indonesia yang menunjukkan dan mengajarkan pada saya bagaimana arti persaudaraan itu sebenarnya. Saudaraku, di Jerman ini orang-orangnya tidak ambil peduli mengenai orang lain. Alamat teman mereka pun mereka tidak tahu. Temannya sakit pun mereka hanya tahu dia sakit, tanpa ada niat untuk menjenguk.

Lalu masihkah kita menganggap remeh kemuliaan persaudaraan yang diajarkan dalam Islam? Dan saya bersyukur, di Jerman ini saya berkesempatan belajar kemuliaan akhlak persaudaraan yang diajarkan dalam Al Quran dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dipraktekkan oleh saudara-saudara saya. Amat nyata pesan Rasulullah, manisnya iman baru bisa dirasakan bila kita sudah merasakan manisnya persaudaraan itu. Saya mengajak saudaraku untuk mengenal sejenak beberapa saudara saya di Jerman. Yang saya ceritakan adalah sosok-sosok yang berbeda, tetapi dalam tulisan di bawah diceritakan dengan kata ganti yang sama.

Ia adalah seorang saudara saya yang wajahnya mudah tersenyum. Perawakannya membuat ia bisa dikenal jelas bahwa dia adalah seorang muslim bila orang-orang Jerman melihatnya. Saya rasa, orang-orang Jerman yang semula memiliki persepsi negatif mengenai kepribadian seorang muslim, akan berubah bila mereka kenal saudara saya ini.

Dia lah yang mengajarkan pada saya bahwa menulis itu bukanlah pekerjaan berat. Terkesan berat karena kita tidak pernah mau memulai dan membiasakan diri untuk menulis. Dia sendiri memang seorang penulis. Tulisannya sudah menjadi langganan media dan karyanya dalam bentuk buku pun sudah tersebar di berbagai toko buku, hanya saja rasanya mereka yang membaca tidak mengenal bahwa yang mereka baca harus melewati tangannya terlebih dahulu sebelum diterbitkan.

Dia mengatakan menulis itu penting dan bermanfaat bila yang ditulis adalah kebaikan. Tetapi saya rasa memang begitulah adanya. Ya, pedang yang terhunus mengarah ke uluh hati masih bisa ditangkis, tetapi tulisan yang diarahkan untuk menghujam hati, bagaimana cara menangkisnya? Setiap dia menanyakan sudahkah ada tulisan yang saya buat dan dipublikasikan ke suatu media dan saya menjawab tidak, hanya perasaan bersalah yang mengisi hati saya.

Saya sedih bukan karena saya belum mampu menulis, tetapi saya sedih karena ketika saudara saya menunjukkan suatu cara untuk melakukan kebaikan dan saya belum mampu mempraktekkannya, rasanya adakah sebutan lain bila bukan kerugian? Kadang saya merasa, bila sekarang saya menulis dan saudara-saudara saya yang lain bisa membaca tulisan saya, mungkin itu adalah doanya yang dikabulkan oleh Dia Yang Maha Tahu isi hati setiap hamba-Nya.

Mungkin saudara saya ini tidak sadar bahwa ia berdoa, tetapi cukuplah harapan dan keinginannya agar saudara-saudaranya yang lain juga bisa mempraktekkan kebaikan yang ia sudah mampu melakukannya dilihat ALLAH sebagai permintaan yang tulus, dan ALLAH tidak pernah menyia-nyiakan setiap kebaikan hamba-Nya.

Pertama kali saya berkenalan dengan saudara saya ini adalah ketika ada kunjungan ulama dari Indonesia ke kotanya. Ia yang menyambut saya di depan pintu. Amat ramah sambutannya. Di kemudian hari saya mengenalnya sebagai seorang muslim yang tegas, amat tegas. Apa yang salah ia tegaskan salah, dan apa yang benar ia tegaskan bahwa itulah yang layak untuk dilakukan.

Dalam hal ini ia adalah orang yang keras. Tetapi mari lihat kelembutannya ketika ia mengasuh dua anaknya. Dua anaknya bukanlah anak yang senang duduk manis, tetapi anak-anak yang aktif dan lucu. Begitu sabar dan telaten ia mengasuh kedua anaknya itu. Kelembutannya ini juga keluar dari dirinya tatkala kami bersama-sama.

Entahlah, kadang melihatnya membuat saya ingat dengan sosok Umar bin Khattab, yang bila Umar menempuh suatu jalan, setan pun akan menghindari Umar dengan menempuh jalan lain. Ia sosok pekerja keras. Untuk menghidupi keluarganya dengan statusnya sebagai mahasiswa di Jerman, ia harus pergi pagi dan pulang telat untuk bekerja.

Terakhir saya bertemu dengannya, ia sedang menghadapi masalah bahwa kemungkinan keluarganya terpaksa meninggalkan Jerman. Tetapi ia katakan bahwa ia akan berjuang agar hal itu tidak terjadi. Dan bagi saya, setiap pejuang akan mendapatkan apa yang diperjuangkannya. Kalaupun yang didapatkan belum sesuai harapan, maka ia sudah mendapatkan kemuliaan sebagai seorang pejuang.

Saudara saya yang satu ini sering mengajak anaknya bila kami dalam perjalanan menghadiri suatu acara. Anak laki-lakinya yang masih kecil membuat saya ingat dengan anak laki-laki saya. Mereka berdua mirip, sulit diam dan senang memperhatikan benda-benda di sekelilingnya. Melihat anak-anak kecil aktif bermain dan tidak ada capenya, membuat saya sendiri bingung. Darimana mereka mendapatkan tenaga itu. Lucu, ketika bermain dengan anak saya, anak saya masih mengajak saya bermain walau saya sendiri sudah lelah dan mengantuk. Kalau tidur pun, anak saya harus ditidurkan dulu.

Pernah saya mencoba untuk membiarkan anak saya tidur sendiri karena kelelahan bermain, tetapi baru satu kali saya mencobanya, dan saya sendiri tidak tahu apakah hasil yang saya dapati dapat dikatakan berhasil atau tidak. Hal lain yang saya pelajari dari saudara saya yang satu ini adalah dia bisa bersikap layaknya teman bagi anaknya yang masih kecil. Mereka akrab dan kompak. Terus terang, satu hal yang bisa membuat saya terkesan dengan seseorang adalah ketika ia bisa begitu dekat dengan anak kecil.

Saudara saya ini juga seorang yang amat tegas. Apa yang terlihat sudah melenceng dari pemahamannya maka ia pertanyakan dan ia jelaskan dalilnya. Ya, umat ini masih beruntung ada di muka bumi ini karena masih ada sekelompok di antara mereka yang tidak pernah lupa memberi nasihat dan mengingatkan saudara-saudaranya yang lain.

Saudara saya ini bak seorang guru yang ketika ia menjelaskan sesuatu, orang lain tidak merasa digurui olehnya. Terpancar ketulusannya ketika menyampaikan sesuatu. Wajar rasanya, ia juga adalah seorang dosen di Indonesia yang saat ini sudah hampir menyelesaikan doktornya di Jerman.

Ia pernah bercerita bahwa suatu saat ia datang ke masjid dan ia melihat jamaah di masjid shalat dengan arah kiblat yang melenceng. Ketika kemudian ia shalat bersama saudaranya yang lain, mereka shalat dengan arah kiblat yang berbeda dengan yang sudah lazim dihadap oleh para jamaah masjid itu. Tentu saja jamaah di masjid itu protes dan mempermasalahkan tindakannya.

Saudara saya itu hanya membawa peta dan menunjukkan bagaimana masjid itu dihubungkan dengan kiblat kaum muslimin. Jelaslah bahwa arah kiblat yang sudah lazim dipakai oleh para jamaah ternyata salah adanya. Sang imam masjid bisa menerima penjelasan saudara saya itu.

Ketika pada kesempatan berikutnya saudara saya itu shalat di masjid tersebut, para jamaah sudah shalat dengan arah kiblat yang seharusnya. Sang imam masjid mengatakan bahwa ia langsung memperbaiki arah kiblat mereka seketika itu juga, setelah saudara saya menjelaskan alasannya. (Bersambung)