Pelajaran paling penting yang saya dapatkan ketika bergaul dengan orang Jerman atau orang barat lainnya adalah bersikaplah tanpa membuat diri kita terkesan lebih rendah dari mereka. Awal saya bertemu dengan orang Jerman, tentu saya mengikuti kebiasaan di Indonesia, sedikit membungkuk ketika bersalaman, memulai pembicaraan dengan basa-basi. Kenyataannya mereka tidak suka dengan sikap seperti ini. Akhirnya saya menyadari bahwa saya harus bersikap dengan orang Jerman, selayaknya mereka bersikap terhadap sesama mereka.
Saya sendiri tidak tahu darimana kebiasaan bangsa saya untuk begitu mudah membungkuk ketika bertemu orang lain yang dianggap lebih terhormat dari mereka. Rasanya Islam tidaklah mengajarkan hal ini. Sampai sekarang kesimpulan saya sementara untuk ini adalah karena dahulu kita begitu lama dijajah. Penjajahan yang lama ini telah mengikis nilai-nilai asli yang sebenarnya dimiliki bangsa ini yang dari dulu sebenarnya adalah bangsa pejuang. Bagaimana tidak, ketika dijajah, jangankan mendongakkan kepala, menjawab kata-kata penjajah saja rasanya bisa membuat rakyat kita yang dijajah tidak bisa lagi menggerakkan kepala untuk mendongak. Sebenarnya membungkuk adalah sikap yang ragu-ragu.
Membungkuk adalah sikap antara tegak dan rukuk. Rukuk hanya pantas dilakukan kepada Dia Yang Ahad, jadi untuk selain-Nya maka tidaklah pantas manusia itu mencondongkan badannya mendekati rukuk. Kalaupun manusia itu pantas membungkuk, maka mungkin hanya pada tiga orang. Seorang anak kepada orang tuanya, seorang istri kepada suaminya, dan seorang murid pada gurunya.
Katakanlah apa adanya. Bila kita setuju, maka katakan setuju. Tetapi bila kita punya pertimbangan lain, maka jangan ragu mengutarakannya. Begitulah bila ingin bergaul dengan bangsa Jerman. Saya masih ingat rekan seruangan saya yang dulu di Forschungszentrum Juelich, Denise, ia menceritakan bahwa dahulu ia pernah bekerja di perusahaan Jepang. Saya kemudian menanyakan bagaimana kerja di perusahaan Jepang. Ia menjawab bahwa sebenarnya pekerjaan itu sendiri tidak ada masalah, ia menyukai pekerjaannya.
Tetapi ia mengeluhkan orang Jepang yang tidak terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya terhadap sesuatu bila ia melakukan sesuatu yang berbeda dari yang diharapkan orang Jepang itu. Waktu itu ia bilang, bahwa ia bingung sendiri, karena ketika ia merasa melakukan kesalahan maka ia merasa orang Jepang itu tidak langsung mengingatkannya. Ya, bangsa Jepang adalah bangsa yang amat sopan, mungkin bagi kita yang bangsa asia maka itu tidak terlalu masalah. Tetapi bagi Denise yang dari belahan bumi yang amat berbeda kulturnya, maka hal ini tentu membuatnya tidak betah.
Pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ketika saya keluar dari pesawat di Bandara Frankfurt. Waktu itu adalah kali kedua saya kembali dari Indonesia ke Jerman. Saya sedang melangkah dalam lorong kabin yang menghubungkan pesawat dengan pintu masuk ke bandara. Di ujung lorong tersebut terlihat seorang polisi wanita. Ia memeriksa setiap penumpang. Anehnya, penumpang yang berkulit putih ia biarkan lewat dan mereka yang lain ditahan dan paspornya diperiksa. Entahlah, tetapi saya paling tidak bisa melihat seorang manusia mempertunjukkan kearoganannya.
Saya sudah menduga bahwa ketika saya yang menjadi giliran di hadapannya, maka saya lah penumpang yang terhenti berikutnya. Paspor saya siapkan. Dalam hati saya hanya berkata, "Kita lihat apa maumu.“ Ketika saya sudah di depannya, tidak ada senyum pun yang sepatutnya dihadiahkan oleh seorang tuan rumah kepada tamunya, terlepas profesi apapun sang tuan rumah. Seketika itu saya tatap mata dia. Tak lepas mata saya menatap, seolah saya menunggu dia lah yang terlebih dahulu untuk mengalihkan pandangannya. Maka ia meminta paspor saya dan saya pun menyerahkan tanpa melepaskan tatapan saya ke arahnya, persis ke wajahnya yang sibuk membuka-buka lembaran paspor saya itu.
Saya sedikit menangkap dia juga merasa bahwa saya terus memperhatikannya, terlihat dari gerakannya yang agak terburu-buru membalik-balik paspor saya. Kemudian dia menggunakan benda kecil layaknya kaca pembesar, mengarahkannya ke foto saya. Dalam hati saya hanya berpikir sebenarnya apa yang dia cari. Kemudian dia bertanya, "Mau kemana?“ Saya hanya menjawab, "Juelich“. Dia melanjutkan, "Ada kepentingan apa ke sana?“ Maka saya pun menjawab dengan kalimat formal lengkap dalam bahasa Jerman bahwa saya sedang mengerjakan master thesis di Forschungszentrum Juelich. Sesudah itu tanpa melihat ke arah saya dia memberikan paspor saya. Saya pun melewatinya seolah sebelumnya saya tidak pernah berhadapan dengannya. Padahal ketika masuk ke dalam bandara pun sudah ada pos pemeriksaan imigrasi lagi. Saya tidak bisa menerima ini dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain.
Bayangkan untuk masuk ke negara ini kita harus masuk dengan visa. Persyaratan visa ini tidaklah sederhana, mulai dari adanya pihak di Jerman yang menjadi tempat tujuan kita yang menyatakan bahwa kita memang mempunyai hubungan dengan mereka, sebagai contoh surat penerimaan dari universitas. Kemudian jaminan uang yang juga tidaklah sedikit. Belum dokumen-dokumen lain, surat keterangan sehat, surat keterangan berbahasa kemampuan dasar, dokumen terjemahan dalam bahasa Jerman. Jadi ketika semua itu telah terpenuhi, masihkah pantas untuk meragukan hasil seleksi mereka sendiri, bukankah yang menyeleksi siapa yang berhak masuk ke negara mereka adalah mereka sendiri. Sampai sekarang saya masih penasaran sebenarnya bagaimana sejarah visa ini bermula.
Bung Djafar, warga negara Indonesia yang sudah belasan tahun tinggal di Oldenburg juga pernah mengalami kasus yang hampir serupa, tetapi di dalam bandara. Bung Djafar ini sudah sering ditawari paspor Jerman, tetapi beliau selalu menolaknya. Izin tinggal beserta hak-hak layaknya warga negara Jerman dipunyai oleh beliau karena kontribusi beliau untuk perusahaan telekomunikasi Jerman. Namun beliau tetap ingin berpaspor Indonesia. Terakhir saya bertemu dengannya, beliau sempat menceritakan mengenai niatnya untuk pulang dan hidup di Indonesia. Beliau paparkan rencana beliau bila tinggal di tanah air. Jadi ketika di dalam bandara, Bung Djafar ini juga diperiksa layaknya warga negara asing yang status tinggalnya tidak sama dengan status tinggal warga Jerman. Beliau malah langsung menegur keras sang petugas sampai petugas itu yang meminta maaf karena status tinggalnya jelas-jelas sudah selayaknya warga Jerman.
Waktu itu saya merasa ingin bekerja di universitas dan sudah siap membagi waktu studi dan bekerja. Maka saya pun terang-terangan menyatakan niat saya ini kepada Dr. Blum. Saya katakan apakah ada peluang menjadi HiWi[1] di universitas. Maka Dr. Blum hanya menjawab bahwa karena saat itu Wintersemester, maka belum ada. Ia katakan bahwa biasanya banyak kesempatan ketika Sommersemester[2]. Akhirnya saya pun mendapatkan pekerjaan ini pada semester berikutnya. Suatu saat saya tidak lulus wawancara praktikum dan ketika itu yang menjadi pewawancara saya adalah sang koordinator praktikum langsung. Ketatnya koordinator praktikum kami ini dalam menilai laporan praktikum dan menguji kesiapan kami untuk praktikum berikutnya membuat banyak teman-teman saya tidak merasa nyaman bila harus berhubungan dengannya. Saya sendiri tidak punya masalah dengan cara dia ini.
Bagi saya, memang begitulah gayanya, dan selama segala sesuatu fair, maka tidak ada yang perlu saya khawatirkan. Waktu itu saya memang merasa belum paham betul materi yang akan kami praktikkan pekan depan. Praktikum kami adalah mengenai biogas plant[3]. Dalam diktat praktikum kami digambarkan bagian-bagian dari sebuah biogas plant, cara kerjanya, dan model-model biogas plant yang umum, kebanyakan model Nepal dan India. Tetapi hanya satu hal yang membuat saya penasaran waktu itu. Bakteri anaerobik apa yang bisa menghasilkan biogas ini, dan ada apa dengan bakteri ini hingga mereka bisa memicu proses yang hendak kami manfaatkan outputnya.
Waktu itu saya sekelompok sama Chandra. Chandra begitu lancar menjawab pertanyaan sang koordinator, karena biogas plant tidaklah asing di Nepal. Bahkan sebenarnya dalam hal ini, Jerman belajar dari kebiasaan bangsa asia memenuhi keperluan mereka menggunakan biogas. Tetapi waktu itu saya memang tidak bisa berkata banyak. Apa yang saya tidak tahu, saya katakan saya tidak mengetahuinya. Bagaimana mungkin mengerti hanya dari gambar tanpa pernah bergelut langsung dengan suatu sistem kerja. Maka tentu saja sang koordinator praktikum kami ini memvonis saya tidak lulus wawancara dan berarti harus mengerjakan tugas. Chandra lolos, jadi ia begitu tenang melenggang keluar ruangan. Saya kemudian diminta menghadap sang koordinator untuk mengambil tugas saya.
Ketika saya temui dia di ruangan, maka ia langsung bertanya, "Apa yang ingin kamu ketahui dari praktkum ini?“ Saya hanya menjawab,"Saya mau tahu tentang bakterinya.“ Saya katakan alasan saya bahwa inilah sebenarnya yang penting dari praktikum kami. Mendengar jawaban saya, dia tampak bersemangat karena baginya kalau punya pertanyaan maka segera tuntaskan dengan mencari jawabannya. Maka ia kemudian mengajak saya ke perpustakaan universitas dan di sana kami mencari buku-buku yang menurut kami bisa menjawab pertanyaan saya. Ia kemudian memilihkan sebuah buku, dan menyuruh saya membacanya. Maka di perpustakaan itulah saya berusaha untuk sedikit menjawab pertanyaan saya dan kemudian dijadikan summary sebagai tugas saya karena tidak lulus wawancara.(Bersambung)
Catatan :
[1] Layaknya asisten dosen, walau pekerjaan yang dilakukan tidak selamanya berhubungan langsung dengan kegiatan akademis
[2] Sommer = summer
[3] Penghasil biogas dari kotoran ternak