Pertama kali melihatnya di Bahnhof Dueren, saya mengira jangan-jangan ia orang Indonesia yang sedang melakukan penelitian juga di Forschungszentrum Juelich. Bila bertemu orang muda di kota Juelich dengan pembawaan layaknya kalangan terdidik, maka besar kemungkinan orang yang kita temui itu adalah peneliti di Forschungszentrum Juelich.
Ini pula yang menjadi alasan saya mengambil kesimpulan dini ketika melihat orang ini di stasiun kereta Dueren sedang menunggu kereta khas yang hanya mengarah ke Juelich. Sekilas wajah dan kulitnya amat mirip dengan saya dan orang Indonesia kebanyakan. Waktu itu dia sedang di dalam toko buku melihat-lihat sambil membawa tas gitar cukup besar di punggungnya.
Ketika saya bertemu dengan orang ini di ZOB Juelich, ternyata Uday mengenalnya. Waktu itu baru Uday dan saya yang sedang menunggu bis. Uday pun lalu mengajaknya mengobrol dan saya pun ikut dalam obrolan mereka. Maka ketika pertama kali berbicara dengannya, saya langsung menanyakan nama dan asalnya.
Cito adalah namanya dan Madagaskar adalah asalnya. Uday sempat bercanda dengan menyebut namanya sebagai cheetah. Ia adalah mahasiswa PhD di Forschungszentrum Juelich dalam bidang nuklir. Dari pembicaraan dengannya, saya merasa ia lebih mengerjakan fisika nuklir layaknya Vishwajid, teman kami dari India, yang kemudian juga datang ke ZOB itu, ketimbang kimia nuklir seperti yang ditekuni Prof. Qaim.
Ketika pertama kali mendengar asalnya dari Madagaskar, saya langsung berkomentar dan bertanya bahwa tempatnya jauh dari Jerman, dan bagaimana dia bisa ke sini. Sebenarnya pertanyaan saya itu lebih dimaksudkan sebagai keheranan karena saya belum pernah mengenal bahwa Madagaskar termasuk di antara negara-negara berkembang yang cukup dikenal karena minatnya terhadap dunia penelitian. Ia katakan bahwa ia menyelesaikan masternya di Madagaskar tetapi dalam kerja sama dengan salah satu universitas di Swiss.
Sehingga ketika melanjutkan ke PhD, ia memilih negara tetangga Swiss ini. Cito juga berkomentar ketika mengetahui saya dari Indonesia. Ia katakan bahwa di Madagaskar bagian tengah, perawakan orang-orangnya mirip dengan orang-orang dari Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Ia katakan bahwa dahulu orang-orang ini berasal dari suatu tempat dan kemudian terpisah, dan salah satu dari kelompok ini kemudian menetap di Madagaskar. Hal ini pun kemudian diiyakan oleh saudara saya Mustafa dari Kamerun, ketika saya menginap di tempatnya dalam kunjungan ke Oldenburg untuk sidang tesis saya.
Sebenarnya kekaguman saya yang serupa terhadap orang-orang ini yang berasal dari pelosok dunia dan saat ini mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa yang sudah lebih dulu dikenal sebagai penghasil teknologi masa kini, pernah juga saya rasakan ketika pertama kali saya bertemu teman-teman saya di awal perkuliahan di Indonesia. Saya menemukan banyak teman-teman saya yang berbakat berasal justru bukan dari kota-kota besar di Indonesia, tetapi dari daerah-daerah yang saya sendiri sulit membedakan apakah daerah mereka itu adalah kabupaten, kecamatan, atau desa.
Ini membuat saya semakin yakin bahwa kualitas pendidikan itu bukan ditentukan dari tempat pendidikan yang ikut menjadi besar karena letaknya di kota-kota besar, tetapi memang murni hanya bagaimana mereka yang terlibat dalam pendidikan memahami tujuan luhur pendidikan yaitu ketika manusia mampu mengenal fitrahnya.
Fitrah manusia adalah memiliki rasa ingin tahu, dan bila rasa ingin tahu ini dilayani dengan cara-cara yang sederhana namun mengena, maka manusia yang dibentuk tidak lain adalah manusia yang amat menghargai ilmu pengetahuan dan tentu saja manusia yang ketika semakin banyak yang dipelajarinya, maka yang muncul bukan rasa tinggi karena banyaknya yang telah ia ketahui, tetapi justru rasa rendah karena sadar bahwa begitu banyaknya yang masih belum ia ketahui. Dan bagi seorang muslim, ketika ini sudah dirasakan, maka tentu saja kerendahan ini adalah pengakuan seorang hamba betapa tidaklah yang ia ketahui melainkan apa yang telah diberi-Nya, dan tidak lah yang ia ketahui itu melainkan amat sedikit dari keluasan pengetahuan-Nya.
Rasanya tidak mungkin sekolah-sekolah di daerah bisa bersaing dengan sekolah-sekolah di kota besar dalam hal infrasrtukturnya. Pasti ada alasan lain dari keberhasilan para siswa sekolah-sekolah daerah untuk melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi yang menjadi dambaan kebanyakan pelajar. Sampai sekarang saya tidak habis pikir mengapa masih saja ada uang bangunan untuk masuk sekolah. Apa hubungannya bangunan dengan pendidikan. Dan kalaupun ada hubungan, seberapa dekat hubungan itu.
Sungguh mengherankan, ketika ingin membangun pendidikan, maka yang terpikir adalah membangun tembok-tembok. Apakah manusia memang dibangun dengan tembok-tembok, atap, dinding, lantai, dan pagar? Rasanya kalaupun ada uang yang patut dituntut dari peserta didik, yang pantas hanya uang buku atau uang perpustakaan. Apalah artinya satu juta untuk semen, bata, dan pasir. Tetapi sungguh amat berarti satu juta itu untuk buku-buku, yang dipergunakan untuk melengkapi koleksi perpustakaan dan menyediakan semakin banyak perbendaharaan ilmu bagi para penuntut ilmu. Rasanya untuk yang satu ini, saya tidak perlu mengulangi pertanyaan sebelumnya mengenai apa hubungannya dengan pendidikan.