Jadi di sela-sela kesibukan kuliah, saya mencoba mencari apartemen yang kira-kira cukup untuk sebuah keluarga. Pernah beberapa kali saya melamar apartemen, bertemu dengan sang pemilik, datang langsung ke agen penyewaan, tetapi hasilnya nihil.
Tidak ada yang mau memberikan apartemennya untuk saya. Ketika saya keluhkan ini kepada Bung Djafar, maka Bung Djafar mengatakan bahwa itu dikarenakan mereka melihat profesi saya yang hanya sebagai mahasiswa, terlebih bila mereka menanyakan sumber keuangan saya, maka saya menjawab bahwa saya menanggung sendiri dan tidak mendapat beasiswa. Itulah alasan kenapa mereka enggan memberikan apartemen mereka untuk saya. Waktu itu saya memang terlalu nekat rasanya hendak membawa keluarga ke Jerman.
Maka ketika tinggal satu bulan sebelum masa tinggal saya di asrama habis, saya pun cemas, kemana saya akan tinggal nanti. Ketika suatu hari kami selesai les bahasa di universitas, maka saya menghadap Heidemarie, sang guru les bahasa. Beliau adalah orang yang amat ramah, sabar dalam mengajar, dan murah senyum. Setahu saya ia juga adalah seorang nenek. Saya ceritakan kondisi saya, dan ia katakan akan membantu saya. Maka beberapa hari berikutnya, Heidemarie memberi saya secarik kertas berisi nama dan nomor telepon yang bersedia untuk menyediakan kamar bagi saya untuk sebulan.
Ya, itu berarti ketika masa tinggal asrama saya yang sebulan lagi habis, maka saya mendapat kamar di tempat lain yang juga berumur sebulan. Sudah terbayang oleh saya bagaimana bulan depan pun saya akan mengalami kondisi seperti sekarang, pontang-panting mencari kamar atau apartemen untuk tempat tinggal. Saya telepon sang pemilik nomor telepon dan kami kemudian bersepakat untuk bertemu di rumahnya.
Nama Klaus Scholl ada di antara nama-nama lain di dekat bel pintu, tetapi waktu itu yang saya tekan malah nama lain yang juga berujung Scholl. Yang membuka pintu adalah seorang wanita setengah baya. Saya kemudian menanyakan hendak bertemu Herr Scholl, maka ia pun memanggil pria yang tidak lain adalah suaminya. Herr Scholl lalu menunjukkan kamar yang masih berada di dalam rumahnya walau terpisah oleh pintu dengan bagian rumahnya yang adalah khusus untuk dia dan keluarganya. Maka kemudian Herr Scholl mengatakan bahwa inilah kamar saya kelak, dan kami menyepakati tanggal pindahan saya ke rumah ini, dan dia pun bilang, "Ini hanya untuk sebulan ya.“ Waktu itu sebenarnya berat bagi saya untuk menjawab "ya“, tetapi terpaksa saya mengangguk.
Di asrama saya merenung, saya harus mengambil keputusan tegas, jadi membawa keluarga atau tidak. Saya harus segera membuat keputusan karena apapun keputusan saya amat berpengaruh bagi keadaan tempat tinggal saya dan bisa mengganggu kuliah jika ini tidak tuntas. Maka setelah saya pikir-pikir rasanya saya harus menerima kenyataan bahwa rasanya tidak memungkinkan bagi saya untuk membawa keluarga.
Faktor finansial dan mungkin memang keadaan saya membuat saya harus menerima kondisi untuk berjuang di Jerman sendiri saja. Akhirnya dengan berat hati saya telepon istri saya dan katakan mengenai keputusan saya ini. Istri saya sendiri menyadari bahwa memang inilah yang lebih aman bagi keluarga kami ketimbang saya memaksakan keluarga saya ke Jerman, sedangkan saya sendiri masih belum jelas bagaimana akan membiayai keluarga saya jika harus tinggal di apartemen yang biayanya jauh lebih mahal ketimbang di asrama. Hanya saja waktu itu istri saya malu mengungkapkannya karena mungkin takut membuat suaminya sedih, karena ia sendiri sadar suaminya ini melakukan itu semata karena sayang keluarganya dan hanya ingin bersama keluarganya. Ya, akhirnya keputusan sudah jelas.
Saya pun tinggal di kamar yang berada di rumah Herr Scholl ini. Kamar ini sebenarnya adalah milik seorang mahasiswa Vietnam, Kwini, panggilannya. Nama aslinya susah saya mengingatnya. Tetapi saat itu ia sedang berlibur di Vietnam dan bulan depan akan kembali ke Jerman. Saya coba cari penawaran kamar WG[1] di internet dan koran lokal. Lagi-lagi saya harus sibuk dengan urusan kamar ini.
Pernah suatu saat saya datang ke sebuah WG dan segalanya cocok bagi saya, tetapi karena jumlah pelamar lebih dari satu, maka yang menawari kamar kemudian akan mempertimbangkan untuk memilih yang mana. Akhirnya berita yang saya terima adalah berita yang tidak diharapkan. Mereka berterima kasih saya sudah berminat dengan WG mereka, tetapi mereka sudah memilih yang lain untuk menjadi rekan mereka satu WG. Maka ketika segala cara sudah dicoba dan tetap belum mendapatkan hasil, maka saya temui Herr Scholl, dan mengatakan padanya bahwa saya sudah berusaha melalui internet dan koran mencari kamar, tetapi sampai sekarang belum ketemu. Saya kemudian meminta tolong Herr Scholl bila ia punya kenalan yang bisa menyediakan kamar bagi seorang mahasiswa seperti saya. Herr Scholl kemudian berpikir untuk membantu saya.
Kira-kira dua hari kemudian Herr Scholl mengunjungi kamar saya dan mengatakan bahwa ia punya kamar di WG belakang rumahnya yang saat ini sedang kosong karena sang penghuni juga sedang libur. Waktu itu ia bilang, „Kamu tinggal di situ sementara, nanti selanjutnya kita pikirkan lagi.“ Jadwal kedatangan Kwini sudah dekat, sehingga saya pun pindah ke WG di belakang rumah Herr Scholl.
Sebenarnya WG ini juga berupa rumah. Sampai saat ini saya tidak tahu jelas apakah rumah ini juga dimiliki oleh Herr Scholl. Ya, dua rumah ini adalah rumah yang berbeda tetapi berada dalam satu area yang sama. Halaman belakang rumah Herr Scholl adalah halaman samping rumah ini. Bila rumah Herr Scholl menghadap jalan besar, maka rumah ini menghadap jalan kecil yang beberapa meter sesudah rumah Herr Scholl, sehingga alamat keduanya pun berbeda. Istri saya sendiri rasanya tidak pernah hafal alamat saya di Oldenburg ini, yang dia tahu bahwa suaminya ini mengabarkannya bahwa ia pindah dari alamat yang satu ke alamat yang lain namun dengan pemilik WG yang sama. Sulit ini dimengerti bagi mereka yang tidak tahu pasti kondisi yang saya alami. Lagipula sulit juga bagi saya menjelaskan kondisi yang saya sendiri tidak memahami bagaimana ini bisa terjadi pada saya.
Saya pun dibantu pindah ke WG ini oleh Herr Scholl. Her Scholl membawa beberapa kantung plastik berisi barang-barang saya dan saya menarik kopor hitam saya. Lantai bawah ternyata dipakai untuk orang lain, lebih menyerupai rumah. WG kami sendiri berada di lantai atas. Masuk dari pintu masuk rumah ini, kami langsung dihadapkan pada tangga. Maka kami pun naik membawa barang-barang hingga ke atas. Herr Scholl segera membawa saya ke kamar. Kamarnya tidak terlalu besar tetapi bersih, walau terlihat sudah lama tidak ditempati.
Saya langsung menanyakan di mana konektor untuk internetnya. Setelah barang-barang ditaruh, maka Herr Scholl kemudian mengambil beberapa peralatan bersih-bersih dari lemari kecil di sebelah kamar saya, dan ia pun kemudian membersihkan kamar saya. Sempat saya katakan bahwa ia tidak perlu melakukan itu karena saya sendiri yang akan melakukannya, tetapi ia menolak dan mengatakan bahwa saya meninggalkan kamar saya yang sebelumnya dalam keadaan bersih maka saya pun masuk ke kamar baru ini harus dalam keadaan bersih pula. Saya memang membersihkan kamar yang saya tempati sebelumnya, tetapi tidaklah terlalu bersih, karena di kamar itu juga masih ada barang-barang sang penghuni yang akan segera kembali dari liburnya. (Bersambung)
Catatan :
[1] Wohngemeinschaft, layaknya tempat kos