Suatu saat saya pernah membuka islamonline.com dan ada tajuk yang menarik di sana. Temanya adalah Saatnya Muslim Untuk Bicara. Kesimpulan dari tajuk itu adalah, dalam beberapa hal, kesalahpahaman orang-orang barat dalam mendefinisikan Islam juga seharusnya menjadi bagian tanggung jawab kaum muslimin. Alasan yang dikemukakan dalam tulisan itu adalah adanya keluhan bahwa Umat Islam yang saat ini hidup sebagai minoritas di barat terkesan tertutup dari lingkungannya.
Saya jadi teringat ketika suatu hari pernah menonton rekaman video di internet mengenai sebuah keluarga muslim yang menyediakan rumah mereka untuk ditempati oleh seorang tamu non muslim selama beberapa waktu, dalam hitungan pekan dan bulan. Tentu saja menarik. Bagaimana melihat raut wajah tamu itu ketika melihat keluarga tuan rumah melakukan shalat berjamaah. Terlebih ketika shalat subuh, tamu itu juga dibangunkan agar melihat apa yang dilakukan sebuah keluarga muslim di tarikan nafas awal sebuah hari itu.
Tamu itu juga ikut keluarga tersebut makan bersama dan melihat bagaimana adab seorang muslim ketika makan. Ia juga diajak ke masjid ketika sang ayah melakukan Shalat Jumat. Dan juga bagaimana herannya sang tamu ketika sang kepala keluarga mengajaknya untuk ikut keluar rumah di pagi hari berangkat kerja, karena bila sang tamu itu tetap tinggal di rumah, maka ia akan tinggal berdua dengan istri sang kepala keluarga. Sang tamu itu juga diajak berdialog dengan imam salah satu masjid di kota itu.
Saya sendiri tidak tahu sejauh apa kita harus berusaha membuat orang-orang barat mengenal dan memahami Islam, tetapi rasanya ada satu hal yang cukup jelas, yaitu bila mereka mencarinya dari sumber di luar Islam, maka yang terjadi adalah kondisi kebanyakan saat ini. Orang-orang barat hampir selalu mengatakan bahwa wanita muslim yang berhijab itu menutup dirinya karena terpaksa dan mereka tersiksa dengan kondisi itu.
Bayangkan, amat jauh antara apa yang mereka sangka dengan kenyataan sebenarnya. Seorang ulama Amerika pernah mengatakan bahwa seharusnya orang-orang barat ini tidak menjawab sendiri ketidaktahuan mereka dengan jawaban mereka sendiri yang hanya berupa prasangka. Bila mereka memang fair, seharusnya mereka bertanya langsung pada wanita muslim yang mengenakan hijab, bagaimana perasaan wanita itu dengan pakaian yang dikenakannya.
Suatu kali saya pernah menonton program TV di Jerman yang mencoba menjelaskan Islam. Amat banyak saya jumpai hal-hal yang bukan ajaran Islam tetapi ditampilkan mereka seolah-seolah inilah Islam. Saya juga pernah membaca sekilas sebuah majalah asing yang khusus membahas dunia petualangan dan ilmu pengetahuan. Cover depan majalah itu amat menarik perhatian saya, yaitu Mengenal Muhammad, Sang Pendiri Agama yang saat ini tersebar di berbagai penjuru dunia.
Dari cover itu sudah terlalu jelas betapa tidak tahunya mereka mengenai Nabi Muhammad SAW. Cover itu seolah memesankan bahwa Islam itu bukan agama yang diturunkan dari Dia Yang Ahad, tetapi agama yang didirikan oleh manusia. Ketika membaca bagian dalam majalah itu, banyak gambar yang saya jumpai untuk mengilustrasikan apa yang tertulis dalam pokok bahasan majalah itu. Mereka menggambarkan seseorang yang kemudian terkesan sebagai Nabi Muhammad, walaupun bagian wajahnya mereka kosongkan.
Beberapa khalifah dari Khalifah Yang Empat pun mereka gambarkan. Ada gambar hewan tunggangan berapi yang entah dimaksudkan sebagai apa. Kemudian ada gambar suatu majelis di mana sosok yang dikesankan sebagai Nabi Muhammad sedang memberi materi dan didengar oleh para sahabat. Di atas majelis bergelayutan sosok yang dikesankan sebagai malaikat-malaikat. Malaikat-malaikat pun mereka gambarkan dengan sosok feminin yang bersayap.
Amat jelas bagi saya betapa kehidupan barat memang adalah kehidupan yang mengutamakan apa yang terlihat oleh mata, kehidupan materi. Segala sesuatu harus bisa dijelaskan dengan materi. Ya, sesuatu yang hanya bisa dijelaskan dengan hati dan akal sehat sulit untuk mereka terima bila hal itu tidak mampu ditampilkan juga dengan materi sebagai penjelas. Benarlah apa yang diceritakan Al Quran mengenai tingkah laku orang-orang yang tidak mau melepaskan ilah-ilah mereka yang banyak untuk hanya menyerahkan diri mereka pada Ilah Yang Satu. Amat jelas.
Saya bersyukur dan amat berterima kasih pada saudara saya di Jerman yang menghadiahkan kepada saya sebuah Mushaf Al Quran dengan terjemahan Bahasa Jerman. Mushaf itu pun saya berikan pada Frau Weiergraeber. Bila berbicara mengenai Islam dengan non muslim, hal yang paling saya tekankan adalah carilah jawaban atas pertanyaan kita kepada sumbernya langsung.
Sumber dari Islam itu adalah Al Quran. Jadi kalau mau tahu tentang Islam, bacalah Al Quran. Bila ingin tahu tentang Islam dari umatnya atau dari negara yang mayoritas penduduknya mengaku Islam, maka sayangnya cara yang demikian tidak selalu bekerja seperti yang diharapkan. Bahkan walau ia seorang muslim, amat penting baginya untuk senantiasa mengenal jalan hidupnya, dan amat jelas bahwa itu hanya dapat dilakukannya bila ia langsung berinteraksi dengan Al Quran.
Yang namanya jalan, pasti ada ujungnya. Nah Al Quran adalah panduannya. Sesiapa yang tidak membaca Al Quran, amat sulit untuk mengharapkan dia tahu ujung dari perjalanan hidupnya. Dan yang namanya ujung, pastilah ia tujuan. Dan bukankah tujuan hidup ini yang dimaksud dengan purpose of life ?
Baru sepekan Al Quran itu saya berikan kepada Frau Weiergraeber, pembatas buku sudah terselip di sekitar sepersepuluh mushaf. Tetapi berikutnya pembatas buku itu tidak naik terlalu banyak posisinya. Saya hanya berpikiran mungkin Frau Weiergraeber sedang berpikir. Suatu saat Frau Weiergraeber bersemangat bertanya pada saya mengenai hal yang ia jumpai dari Al Quran. Ada beberapa pertanyaan.
Tetapi yang paling menarik bagi saya adalah permintaannya kepada saya untuk menjelaskan Alif Lam Mim yang ia jumpai pada awal salah satu surat. Rasa kaget karena saya tidak menyangka Frau Weiergraeber akan memperhatikan ayat ini dan rasa senang karena saya merasa punya jawaban yang paling ampuh untuk menjawab pertanyaannya, bercampur ketika saya menerima pertanyaannya. Waktu itu saya hanya menjawab, "Frau Weiergraeber, seluruh Umat Islam, bahkan scholars[1] , tidak ada yang tahu arti dari ayat ini. Dan ini menunjukkan bahwa Al Quran dibuat oleh Dia Yang Satu. "
Tidak ada respon Frau Weiergraeber saat itu selain wajahnya yang cerah dan senyumnya yang lebar yang bagi saya seolah mengesankan bahwa ia heran dengan jawaban saya tetapi sekaligus itulah rasanya yang memuaskan hatinya. Di akhir obrolan kami ketika itu, Frau Weiergraeber hanya berujar, "Tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu, tidak mungkin.“ Sungguh begitu lepas senyum saya ketika mengiyakan perkataan Frau Weiergraeber tersebut.
Catatan :
[1] Ulama