Suami Tidak Menjalankan Islam, Haruskah Berpisah?

Assalamu’alaykum wr wb,
Ibu Urba yang dikasihi Allah SWT,
beberapa hari lalu saya ditelepon seorang teman yang sedang dalam bimbang mengenai nasib rumah tangganya. Karena saya sendiri tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan untuk sahabat saya ini, maka saya teruskan pertanyaannya ke Ibu Urba, yang insya Allah lebih berpengalaman, dan dapat lebih profesional memberikan jawaban.

Teman saya ini seorang muslimah Indonesia yang menikah dengan pria Jerman, dan tinggal di Jerman. Mereka menikah lebih dari sepuluh tahun yang lalu di Indonesia, dan pernikahan pun dijalankan secara Islam. Sebelum menikah sang suami sudah bersyahadat, dan menyatakan diri masuk Islam. Saat ini mereka sudah dikaruniai dua orang anak, yang pertama laki-laki usia 10 tahun, dan yang kedua perempuan baru usia 2 tahun.

Dulunya mungkin sahabat saya ini kurang memahami Islam, sehingga waktu menikah belum tahu bagaimana visi keluarga muslim dan membesarkan anak secara Islami. Tapi beberapa tahun terakhir ini beliau rajin mengkaji Islam, sudah berjilbab rapi (meski awalnya dilarang suaminya), dan bahkan sangat bersemangat mengajarkan Islam pada anak-anaknya, serta mengantar anak laki-lakinya ke masjid dan Qur’an Schule (seperti TPA di Indonesia). Sayang sekali perkembangan keIslaman sahabat saya ini tidak diimbangi oleh suaminya. Sehingga meskipun sudah sepuluh tahun menyatakan diri menjadi muslim, si suami belum mau menjalankan kewajiban2 seorang muslim, bahkan yang paling mendasar sekalipun, seperti shalat dan puasa. Bahkan yang saya dengar, si suami kurang suka (bahkan melarang) ketika sahabat saya mengajak anak laki2 mereka ke masjid dan belajar Islam. Tentu saja ini menjadi tambahan beban mental buat sahabat saya ini, karena dia bukan saja harus mengajari anaknya tapi juga melindungi si anak dari ‘pengaruh buruk’ bapaknya. Teman saya ini memang sangat gigih memperjuangkan supaya anaknya bisa belajar Islam. Harus diakui, kegigihannya sering berbuah pertengkaran dengan si suami.

Selain melarang isteri dan anak2nya berIslam, si suami juga tidak jarang berlaku tidak layaknya seorang suami kepada istrinya dan ayah kepada anak2nya. Misalnya masalah keuangan dan biaya telepon si isteri untuk mengontak keluarganya di Indonesia. Saya tidak tahu masalah yang kedua ini muncul setelah banyak ketidakcocokan antara suami-isteri karena masalah agama, atau memang ini masalah yang sudah ada dari dulu dan berkontribusi sebagai sumber percekcokan mereka.
Beberapa hari lalu, sahabat saya ini ‘mendapat masukan’ dari muslimah dari negara lain (Marokko).

Saudari kita dari Marokko ini mengatakan bahwa sahabat saya ini harus berpisah dengan suaminya, karena suaminya tidak menjalankan rukun Islam (tidak shalat, tidak puasa).

Entah mengapa saudari dari Marokko ini mengatakan haram jika mereka terus bersama. Tentu saja sahabat saya kebingungan, karena di satu sisi ia takut kalau jatuhnya berzina, namun di sisi lain dia juga belum siap jika harus berpisah, karena masalahnya akan menyangkut juga hak asuh anak dan ijin tinggal di Jerman. Catatan lain, sahabat saya ini full time ibu rumah tangga sehingga tidak punya sumber penghasilan di Jerman dan sepenuhnya menjadi tanggungan financial suaminya. Dari segi latar belakang pendidikan/skill sepertinya juga akan sulit untuknya mencari pekerjaan di Jerman, kalau ia harus berpisah dengan suaminya. Tanpa pendapatan yang memadai akan sulit mendapatkan hak asuh anak di sini jika bercerai. Selain itu ada kemungkinan kehilangan ijin tinggal di sini, yang berarti harus berpisah sama sekali dengan anak (jika hak asuh anak jatuh kepada bapaknya yang warga negara Jerman).
Pertanyaannya:

  1. Benarkah bahwa secara syariah teman saya terkena hukum zina jika tetap tinggal bersama suaminya? Padahal setahu saya ini hanya berlaku jika si suami murtad (bukan lagi muslim). (Kalau Bu Urba tidak berkeberatan, bolehkah saya meminta tolong Ibu untuk menanyakan juga hal ini pada Ustadz Sigit Pranowo, Lc., agar mendapat tinjauan syariah dari beliau?)
  2. Saya menganjurkan pada sahabat saya untuk banyak bersabar dan berdoa, memohon agar Allah SWT membukakan hati suaminya untuk menerima Islam. Apakah jawaban saya salah/terlalu klise?
  3. Menurut Ibu apa yang sebaiknya dilakukan oleh sahabat saya ini?
  4. Bagaimana cara terbaik menjaga keimanan anak-anaknya? (Ada tarik menarik antara ayah dan ibunya mengenai hal ini).

Terimakasih sebelumnya atas jawaban Ibu Urba yang bijaksana. Jazakumullahu khairan kathira.
Wassalamu’alaykum wr wb,

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh,

Bpk Titut yang disayang Allah,
Trimaksih Anda telah mempercayakan kami untuk menjadi tempat sharing permasalahan sahabat Anda. Saya juga salut atas perhatian Anda pada sahabat Anda sebagai berwujudan ukhuwah islamiyah yang harus dijalin antar saudara muslim. Namun juga kami mohon maaf karena kompleksnya permasalahan sahabat Anda maka saya memandang perlu pertimbangan dari beberapa ahli sekaligus.

Tentu saja ahli syariah untuk meninjau dari sudut agama, tentang perkawinan ini ke depan, Anda dapat mengkonsultasikan langsung ke rubrik ustadz menjawab; Selain itu alangkah baiknya juga menanyakan tentang implikasi pernikahan dengan orang yang punya kewarganegaraan yang berbeda, oleh karenanya sangat disarankan Anda juga berkonsultasi dengan pihak-pihak yang memahami hukum perkawinan campur. Saya akan meninjaunya dari sisi psikologi keluarga islamy. Semoga dari pertimbangan beberapa aspek tersebut maka sahabat Anda akan dapat mengambil keputusan terbaik. Amin.

Pembentukan keluarga mempunyai tujuan yang luhur. Terbuktilah secara empiris dari berbagai kasus yang masuk, bahwa ketampanan/kecantikan, harta, kemewahan atau ketercukupan materiil, dan gemerlap duniawi yang lain tidak menjamin langgengnya perkawinan. Kelaurga yang tenang, tentram, sejahtera dalam naungan iman, tak selalu terwujud jika nafsu dan keindahan menjadi landasan keluarga tersebut. Kecintaan kepada Allah swt. Adalah satu-satunya jawaban yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati. Allah swt telah mengingatkan agar manusia tidak menjadikan ilah lain selain Allah, apakah itu berupa pasangan hidup, godaan anak, harta, perdagangan, dsb. Yang akan menjadi tandingan Allah swt (QS At.taubah: 24).

Bpk Titut, entah apa motivasi awal dulu ketika suami sahabat Anda menyatakan diri masuk islam. Sekedar agar bisa menikahi sahabat Andakah? Atau kesadaran dari lubuk hatinya yang terdalam? Saya dapat merasakan betapa memang beratnya beban sahabat Anda ketika suami yang secara pasti memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap Islam. Apalagi selama 10 tahun menikah tidak nampak i’tikad baiknya untuk belajar Islam dan menjalankan kewajibanya sebagai seorang muslim. Namun saya juga berharap sahabat Anda tidak lemah dan pesimis; bukankah pintu hidayah memang rahasia Allah swt? Siapa tahu hari-hari ke depan masih terbuka pintu hidayah untuk suami sahabat Anda.

Apakah suami sahabat anda masih bisa dinasihati baik-baik agar kembali mendapat hidayah Islam? Biasanya mualaf memang keimanannya masih sering goyah, apalagi jika motivasi awal tidak kuat. Sarankan pada sahabat Anda agar mengajak suami terlibat dan berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan islam. Jalinlah komunikasi yang baik, tunjukkan bahwa istrinya yang muslimah memang istimewa, akhlaknya mulia, penyabar, manis pada suami dan lebih baik dibanding wanita-wanita non-muslim lainnya. Ingatkan pula pada komitmen awal bahwa pada awal pembentukan keluarga suaminya sudah berkomitmen pada agama Islam sehingga tidak layak melarang anak-anak terlibat dalam keislaman. Buatlah cara komunikasi yang baik dan sahabat Anda harus punya bargaining position yang kuat agar tidak larut dalam kemauan suami ke arah yang menjauhi islam. Kuatkan aqidah anak-anak, minta bantuan kaum muslimin yang lain untuk menguatkan sahabat Anda dan anak-anaknya.

Perempuan muslimah tidak layak menikah dengan laki-laki selain muslim, baik itu kalangan ahli kitab ataupun lainnya (misalnya animist, atheist) dalam situasi dan keadaan apapun, sebagaimana firman Allah swt dalam QS Al Baqarah : 221, yang kurang lebih artinya:”Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk islam”.
Demikian pula disebutkan tentang kisah perempuan mu’minah yang turut hijrah ke Madinah:
”Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mu’minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orang kafir, sebab mereka itu tidak halal bagi orang kafir dan orang kafirpun tidak halal bagi mereka (para mu’minah)” (QS Mumtahanah: 10).

Dalam ayat tersebut tidak ada pengecualian tentang ahli kitab (Yahudi & Nasrani), oleh karena itu hukum tersebut berlaku juga bagi laki-laki ahli kitab yang mana mereka itu tidak halal bagi wanita mu’minah. Berkonsultasilah dengan seorang ustadz dalam hal ini tentang apakah berzina jika suami mulai ada tanda-tanda ketidaksukaan pada Islam; juga kepada pakar dalam implikasi kawin campur. Sarankan agar sahabat Anda mempunyai kemandirian ekonomi agar tidak menjadi tergantung pada suaminya.

Suatu saat apapun yang terjadi agar sahabat Anda tidak gamang karena ketergantungannya ini. Sekian Bpk Titut, Semoga Allah swt. Memberi solusi terbaik atas masalah yang menimpa sahabat Anda dan keluarganya. Anda sudah benar dan tidak klise untuk menasihati agar sahabat Anda juga mengembangkan sifat sabar. Semoga pendampingan Anda akan menjadi amal jariyah Anda yang pahalanya selalu mengalir….Amin.
Wallahu a’lam bisshawab,

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Bu Urba