Kasus 1:
Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatu…..
Saya bingung menghadapi kehidupan rumah tangga saya saat ini, saya mempunyai seorang anak umurnya 2 tahun dan suami yang sangat mudah tersinggung dan suka emosi, selama +-3 tahun umur pernikahan kami kami sering sekali bertengkar dan sudah tiga kali suami saya main tangan. padahal masalah yang kita hadapi adalah masalah yang sepele saja.
Yang saya pertanyakan apa jalan yang harus saya tempuh sekarang untuk menghadapi suami saya ini. apa saya mesti minta cerai saja padanya.
Terima kasih atas jawan dan solusi yang Ibu berikan pada saya.
Wasalam,
Fitri
Kasus 2:
Assalamu’alaikum
Saya isteri 33 tahun dan suami 38 tahun menikah sudah 3 tahun dan dikaruniai 2 anak. sudah 3 tahun kami berumah tangga tapi suami tidak bersikap dewasa, saya selalu mengajak dia komunikasi dari nada lembut sampai keras tapi suami tidak menanggapi hanya diam saja dan selalu seperti itu. susah dimintakan pendapat dan selalu bicara pada orang lain terlebih dahulu dari pada ke saya isterinya itu yang tidak saya suka.
Walaupun dia anak ke 4 dari 5 bersaudara tapi sikapnya seperti anak bungsu yang selalu ingin dimanja dengan ibunya terlebih dia sering mengadukan perlakuan saya kepada ibunya. sayakan jadi tidak enak dengan sikap saya kepada mertua. yang ingin saya tanyakan ustazah bagaimana agar suami bisa lebih dewasa karena saya ingin membina keluarga yang shakinah warahmah mawadah? Apakah saya harus lebih banyak bersabar? Rasanya ingin bercerai saja apabila tidak ingat anak. tolong saya ustazah. terimakasih sebelumnya.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh
Ibu Fitri & Ibu LL yang dirahmati Allah, beginilah hakikat kehidupan Bu, kita tak bisa memilih ujian. Allah yang tahu yang terbaik untuk kita, sehingga setiap ujian itu pasti mengandung hikmah, misalnya menjadikan kita banyak bersyukur atau menjadikan kita lebih memahami kekuatan bersabar.
Kepada Ibu Fitri, Sayangnya Ibu belum bercerita sejak kapan, apa pemicu utama pertengakaran atau tema-tema yang sering dipertengkarkan. Hal ini untuk melihat tentang perbedaan dan konflik yang sering muncul sehingga selama 3 tahun terlalu sering bertengkar dan upaya apa yang telah Ibu lakukan.
Ibu Fitri & Ibu LL…Perbedaan pendapat sudah menjadi hal yang umum bagi dua orang yang dilahirkan, diasuh dari keluarga yang berbeda. Seperti karakter kurang dewasa dari suami Ibu LL. Bisa jadi ini karena pola asuh orang tuanya. Perlu waktu untuk mengubah hasil dari pola asuh yang tidak kita inginkan. Ke depan perbedaan pendapat dan keragaman sifat ini bagaimana agar dikontrol sedemikian rupa sehingga menjadi rahmat, misalnya dengan ditemukannya solusi-solusi kreatif atas satu masalah.
Ya..memang prakteknya tak semudah teorinya, Bu. Tetapi jangan pesimis dulu. Saya menduga suami Bu Fitri dibesarkan dalam kelonggaran nilai-nilai sehingga tidak segera kembali pada peran seorang suami yang sholih. Ringan tangannya merupakan ekspresi kemarahan dan perasaan yang tak mampu ia ungkap. Kasihanilah suami Anda, Bu…karena sebenarnya suami demikian sebenarnya butuh ”obat” daripada keluhan dan kekecewaan Ibu yang menjadikan hubungan suami-isteri semakin senjang.
Hukum yang berlaku adalah mencegah lebih baik daripada mengobati. Sedapat mungkin cegahlah hal-hal yang membawa kemarahan suami. Identifikasi apa sebenarnya pemicu pertengkaran Anda dan suami. Setelah bertengkar apa yang terjadi berikutnya? Adakah saat-saat damai yang Anda nantikan atau langsung disambung dengan pertengkaran berikutnya? Siapa yang menyulut pertengkaran terlebih dahulu?
Ibu Fitri & Ibu LL yang sholihah Seperti yang sering saya tulis di rubrik ini, perceraian adalah pintu darurat, sehingga tak layak orang sering berlari (memudahkan) ke kata ini bila ia mengalami masalah dalam rumah tangganya. Cerai itu memang halal, tetapi dibenci Allah. Ia harus berusaha sekuat tenaga, melakukan upaya semaksimal mungkin, menghindari hal-hal yang menyebabkan pertengkaran dan memperbanyak melakukan hal-hal yang mendatangkan keridhoan pasangannya. Semoga upaya ini bisa ditangkap lebih baik oleh pasangan Ibu dan menghidupkan kembali rasa cinta kasih di antara Anda.
Cobalah Ibu ingat-ingat, tiga tahun yang lalu, ketika Ibu memutuskan menerima ajakannya untuk menikah, apa dasar pertimbangan Ibu. Apakah Ibu menikah karena dipaksa; Apa yang membuat Ibu menerima lamarannya: apakah cinta, kagum atau percaya dia akan bertanggungjawab dan menjaga keluarga? Idealisme sebelum menikah kadang harus dIbumikan ke dataran realitas agar tidak memicu kekecewaan. Harapan positif itu, Bu, wajar. Namun tetap harus memandang setiap manusia dari segi kekurangan maupun kelebihannya. Optimisme akan membuat Anda tegar dan Anda yakin ia suatu waktu, dengan izin Allah akan menjadi suami yang baik bagi Anda.
Saat ini stimulus kemarahan suami janganlah dibalas dengan respon kemarahan. Kalau Ibu tahu dia gampang marah, maka cobalah mengevaluasi diri Ibu sendiri, jangan-jangan tanpa sengaja Anda memicu kemarahan suami. Lantas apakah kalau dia marah, Ibu juga marah sebagaimana dia atau bahkan lebih marah lagi? Kalau dia membentak Anda, apakah Anda juga balas membentaknya? Kalau dia menasehati Anda satu kalimat, apakah Anda membalasnya dengan kalimat yang lebih banyak lagi? Ibu Fitri, kalau ini yang terjadi, maka lingkaran pertengkaran ini tak kan pernah ada putusnya. Memang diam itu tak selamanya kalah, tapi justru diam, menenangkan diri, banyak dzikrullah ketika dia marah, insya Allah akan mendatangkan keberkahan dari Allah.
Bu LL, pahamilah latar belakang suami dan pelan-pelan beri argumentasi bahwa dalam keluarga yang mandiri tak selayaknya mengadu pada orang tua jika malah membuat masalah semakin rumit; Mungkin suami Anda tipe yang dependen atau tergantung pada keluarganya. Cari orang yang dapat mengajak suami berpikir dewasa, mau musyawarah, tingkatkan pemahaman Islamnya. Ibu-ibu yang sholihah…tetaplah berupaya memperbaiki kondisi ini; semoga semangat positif dari Ibu bisa memperbaiki rumah tangga Ibu ke depan. Teriring do’a semoga Allah memudahkan. Amin.
Wallahu a’lam bish-shawab Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh Bu Urba