Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ibu urba yang baik, sudah empat tahun lebih saya menikah dan alhamdulillah telah dikaruniai 2 orang anak yang semuanya perempuan. Karena tuntutan ekonomi sebagai anak tertua dalam keluarga yang telah ditinggal ayahnya sejak lulus SLTA, dari sebelum menikah suami saya memang selalu bekerja diluar negeri tepatnya di timur tengah. Dan setelah menikah, waktu kehamilan anak kami yang pertama usianya 7 bulan, saya sudah ditinggal suami bekerja keluar negeri (Dubai). Saya ikhlas bu, karena saya tau suami saya memang menjadi tulang punggung dalam keluarganya. Dia pulang ketika anak pertama kami sudah berusia 15 bulan. 2 Bulan dirumah dia kembali kerja ke Jeddah, dan waktu itu saya positif hamil. Dia tetap pergi walaupun tahu hal itu. Saya masih tetap ikhlas bu, walaupun saya ditinggal dalam keadaan hamil dan anak pertama yang masih kecil. Karena kami belum mempunyai rumah, makanya saya ijinkan dia kembali kerja jauh dari keluarga dengan harapan kalau pulang kelak kami bisa membangun rumah. Dan saya berharap itu kepergiannya yang terakhir meninggalkan keluarga dalam waktu lama.
Tapi apa yang terjadi bu, dia mengkhianati kepercayaan saya. Dia menikah dengan seorang TKW disana tanpa sepengetahuan saya. Akhirnya saya mengetahuinya lewat email yang dikirim suami saya kepada temannya, mungkin dia lupa kalau dia pernah kasih saya password emailnya. Iseng-iseng saya tiba-tiba ingin membaca emailnya.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh,
Ibu yang tengah diuji dan disayang Allah,
Anda mempunyai suami yang bekerja di luar negeri namun sekarang suami tanpa persetujuan dan sepengetahuan Anda ternyata menikah lagi di sana. Perasaan Anda mungkin kecewa atau marah dan perasaan negatif lainnya tentang suami. Yah..hal ini reaksi yang manusiawi, Ibu. Nah.. dulu Anda menikahi suami tentu sebagai sebuah keputusan sadar, karena dia memang sudah bekerja diluar negeri sejak sebelum menikah. Anda tentu menyiapkan konsekuensi yang harus Anda jalani dari pekerjaan suami ini. Sayang sekali bahwa keterbukaan tidak diciptakan dalam hubungan Anda dengan suami. Sebagai keluarga yang terpisah, memang tidak mudah. Risikonya adalah pengorbanan dari banyak kebutuhan yang tak bisa terpenuhi, antara lain kebutuhan biologis dari kedua belah pihak. Tak bisa dipungkiri bahwa hari-hari tanpa pasangan dan penyaluran kebutuhan biologis, di tengah kerasnya kehidupan tak semudah berteori. Dari kasus-kasus yang saya jumpai, lebih banyak wanita yang dapat menahan kebutuhan biologisnya daripada laki-laki. Namun tak menutup kemungkinan perselingkuhan dapat terjadi pada pihak istri. Hal ini memang tergantung manusianya sendiri, sejauhmana komitmen pernikahan telah dibangun.
Ibu, nasi telah menjadi bubur, suami Anda kini telah menikah. Anda tak dapat berpikir mundur, tetapi harus berpikir ke depan. Apakah Anda tetap akan menerima kenyataan ini atau Anda menyerah? Semua tergantung pada Anda. Saya hanya akan membantu menunjukkan bahwa kedua pilihan tersebut masing-masing ada konsekuensinya. Jika Anda memilih bercerai, maka Anda akan menjanda, dengan tanggungan dua anak balita, hak nafkah anak Anda tetap Anda dapatkan dari suami. Andapun dapat melanjutkan hidup Anda dengan laki-laki lain suatu saat kelak. Jika Anda tetap ingin bertahan dimadu, Anda tetap dapat melanjutkan hidup seperti semula, hari-hari mendedikasikan untuk merawat anak-anak sebagai suatu ibadah, menerima suami Anda ketika menjenguk, berhak atas nafkah Anda dan anak-anak. Namun mungkin hari-hari Anda akan diwarnai dengan berbagai emosi negatif seperti cemburu, sedih, dan lainnya. Namun energi negatif ini jika dibiarkan akan mengganggu bahkan membuat hidup tidak produktif jika dibiarkan dan tidak dikelola. Ibu yang sholihah tentu tak akanmembiarkan hidupnya diwarnai penyakit-penyakit hati, kecuali Ibu dikaruniaikemuliaan untuk melapangkan dan mengingklaskan. Mungkin juga terpikir bahwa suami harus menceraikan istri keduanya, tetapi bagaimana dengan suami yang barangkali tak dapat menahan hasrat biologis? Mungkinkah kemudian salah satu pihak mengalah agar berkumpul bersama? Semua tergantung hasil kesepakatan Anda dengan suami.
Mintalah bantuan Allah swt, serta nasihat keluarga atas masalah ini. Berterusteranglah atas kejadian ini, pilihlah cara yang dimaui Allah untuk menyelesaikannya. Jangan menyerah dengan kemauan setan dan hawa nafsu, seperti menumpahkan kemarahan dengan berlebihan, mengumpat, atau juga sedih berkepanjangan yang akan merugikan Anda sendiri, atau, na’uzubillah… membalas dengan perselingkuhan pula. Sampai kapan pun syaitan, harus disadari, punya sifat untuk membujuk manusia yang dapat membuat rugi dunia maupun akhirat. Na’udzubillahi min dzalik.
Maka, yang penting juga adalah bangunlah komunikasi yang sehat dengan suami, agar suami bersifat gentle dan bertanggungjawab; Nah…mulailah dengan menenagkan dan berdamai dengan hati Ibu sendiri. Memang berat ya, Bu,mencari ridho Allah. Saya kira, respon pertama siapapun yang disakiti tentu yang terpikir antara lain akan membalas dengan cara yang sama. Tetapi coba deh Bu, logika ini Ibu balik. ”biarlah saya berlaku baik kepadanya, tidak untuk dia, juga tidak untuk saya, tapi saya berlaku baik karena saya ingin mendapatkan ridho Allah. Saya ingin dipAndang baik oleh Allah. Saya ingin mendapat pahala dariNya. Saya ingin doa saya didengarNya karena amal baik yang saya lakukan.”
Allah swt berfirman yang artinya:
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai keuntungan besar.”( Q S Fushshilat : 35)
Semoga waktu-waktu mendatang Ibu mendapat jalan terang dan solusi, dikaruniai keluarga yang jauh lebih barokah. Amiin….
Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Bu Urba