Assalamualaikum Ibu,
Saya ingin bertanya, saya baru saja menikah des yang lalu, sejak saya menikah dan dibawa pindah ke rumah suami (rumah kami sendiri) saya belum pernah menginap kembali di rumah orang tua saya. jarak rumah kami hanya terpaut 1 jam dari rumah orang tua. rumah mertua saya di daerah.
Memang hampir setiap minggu saya berkunjung ke orang tua, namun hanya beberapa jam, paling lama 5 jam. orang tua menuntut saya untuk menginap dirumah ortu, dan beberapa kali saya mengajak suami untuk menginap di sana tapi suami selalu keberatan dan menjadi marah, dia beralasan, saya harus menginap dulu dirumah ortunya didaerah, tapi untuk ke sana kami membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga kami belum bisa ke sana.
Bagaimana yah bu menjelaskan ke suami untuk mau menginap dan bagaimana menjelaskan ke ortu kalo suami belum mau menginap di sana, karena orang tua terus menuntut saya, sehingga hubungan saya dan ortu kurang lancar, padahal sebelum menikah saya dekat sekali dengan ortu karena saya anak perempuan bungsusatu dr tiga bersaudara dilain sisi saya juga takut untukdurhaka dengansuami bila saya melawan.
Mohon sarannya bu
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Ibu berharap Sdr. Me tetap tenang menghadapi persoalan ini. Tetap tunjukkan sikap sebagai wanita dan isteri shalihat yaa..! Sebagai pengantin baru Anda dan suami masih dalam tahap-tahap penyesuaian diri. Penyesuaian ini antara lain terkait dengan masalah-masalah kebiasaan, interest, kesenangan, atau terkait sikap terhadap keluarga besar. Nah, biasanya hal-hal yang paling sulit dalam proses penyesuaian ini adalah bagaimana mengkomunikasikan tentang kebiasaan, kesenangan dan interest pribadi masing-masing kepada pasangan.
Sdr. Me mungkin menganggap bahwa tidur di rumah orang tua adalah hal yang sangat penting dan berarti. ”Bukankah saya ini anak bungsu yang sangat dekat dengan orang tua? Apa salahnya melepas kangen dengan tidur di rumah mereka?”, mungkin ini yang Anda pikir. Sementara suami berpikir dari sudut yang berbeda, ” Kenapa isteriku ini? Baru pengantin baru sudah sering pulang ke rumah orang tua, bukankah saya masih ingin sering-sering berduaan, berbincang-bincang, merancang hidup ke depan bersama tanpa banyak campur tangan orang tua atau siapapun?”, mungkin ini salah satu yang terpikir pada suami. Nah bagaimana akan ketemu jika sudut pandangnya berbeda.
Pertama harus dibuka sekat-sekat komunikasi, urusanmu tak penting- lebih penting urusanku. Ini adalah egoisme dalam perkawinan dan awal jurang emosi akan semakin lebar.
Kalau isteri tidak ingin suami egois maka dia juga tidak boleh egois. Kata ganti ”ku” (”urusanku”) dan ”mu” (”urusanmu”) harus digantikan dengan ”kita” (”urusan kita”). Mungkin ini masih awal perkawinan, sehingga belum terbiasa dengan ”urusan kita”. Jadi menurut Ibu, teruslah melakukan adaptasi. Adaptasi ada yang mengartikan sebagai kemampuan merubah diri maupun lingkungan agar tercapai tujuan yang diinginkan.
Jadi tak adil jika isteri ingin merubah suami (interestnya, keinginannya, ..) tetapi tanpa mau peduli untuk merubah dirinya (interest pribadi, keinginan pribadi..) karena berarti proses adaptasinya belum sempurna atau masih sepihak.
Konon ada kata bijak: tidak ada cara yang lebih utama untuk menghilangkan kecemasan dibandingkan dengan memberikan suatu kebaikan dan berbuat baik kepada orang lain.
Sdr. Me, menunda keinginan bukan berarti kalah, mungkin ini kemenangan yang sebenarnya dalam perkawinan, yakni tak ada yang kalah-menang tetapi ada win-win solution. Semoga Anda menjadi pionirnya… Salam hangat dan do’a Ibu untuk Anda.
Wallahu a’lam bissshawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ibu Urba