Assalamu’alakum Bu Urba,
Saya seorang PNS di salah satu Departemen pemerintah yang setiap saat harus siap dimutasi di seluruh wil Indonesia. Saat ini saya berdinas di Jakarta. Kami sudah berumah tangga 4 tahun tetapi belum dikaruniai keturunan. Istri saya seorang dosen PNS di salah satu universitas negeri di Surabaya. Praktis selama ini saya harus bolak-balik jakarta-surabaya seminggu sekali tiap sabtu-minggu. Bu, kadang-kadang saya sering berpikir, apa enaknya berumah tangga tetapi terpisahkan jarak dan waktu. Sebagai manusia normal tentu saja saya pengennya selalu disampingi istri tercinta kemanapun saya ditempatkan. Hidup di perantauan tidak akan terasa berat jika ada istri disamping kita yang selalu mensupport.
Sebenarnya tujuan istri saya bekerja bukan untuk menambah penghasilan keluarga Bu, karena alhamdulillah gaji saya cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga. Juga bukan untuk membantu perekonomian orang tuanya, karena kebetulan istri saya dari keluarga cukup berada. Namun kedua mertua saya sepertinya kurang berkenan jika istri saya ‘hanya’ sebagai ibu rumah tangga, mungkin karena mereka merasa sudah menyekolahkan sampai jenjang S-2. Sebenarnya istri saja sering mengeluh kepada saya Bu, katanya tidak sanggup jika harus hidup berjauhan dengan saya, bahkan ia pernah berniat megundurkan diri dari pekerjaannya. Saya bingung sekali mengambil sikap Bu, disatu sisi saya ingin sekali bisa kumpul bersama istri tercinta, tetapi disisi lain saya tidak ingin mengecewakan mertua saya. Selain itu saya juga tidak tega jika istri saya hanya di rumah saja, sedangkan jadi dosen merupakan cita-citanya sejak kecil dan istri saya termasuk tipe wanita yang ingin selalu produktif, tidak suka berpangku tangan. Saya tidak ingin jadi suami yang egois Bu, saya hanya ingin membahagiakan istri saya.
Langkah apa yang sebaiknya saya ambil Bu, apakah saya harus mengijinkan istri saya mengundurkan diri dari pekerjaannya dengan konsekuensi mengecewakan mertua dan memupuskan cita-cita istri saya, ataukah saya harus bertahan dan bersabar dengan kondisi sekarang yang terasa sangat berat baik bagi saya maupun istri saya.
Mohon nasehatnya Bu Urba, saya akan sangat senang jika Ibu berkenan menjawab dengan segera karena saat ini hati saya sedang gundah gulana…terima kasih
Wassalamu’alaikum wr. wb.
AS – Jakarta
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,
Bapak Ari yang dirahmati Allah swt.,
Saya selau merasa bersalah oleh karena itu saya ingin mohon ma’af pada Pak Ari dan Saudara-saudaraku yang saya cintai para penanya..tidak bisa memenuhi permintaan anda untuk menjawab segera di rubrik ini, Selain karena saya sedang menyelesaikan studi, mohon do’a selalu, juga karena pertanyaan yang masuk cukup banyak sehingga perlu kesabaran menunggu jawaban kami. Sebenarnya beberapa kasus yang mirip bisa dibaca di simpanan/arsip pertanyaan.
Pak Ari yang sayangi istri selalu, mudah-mudahan kini kegundahan Anda sudah berkurang seiring berjalannya waktu. Nampaknya Anda dan istri sama-sama PNS, ya Pak. Sebagai abdi negara wajar ya anda siap dimutasi di mana saja. Namun akibatnya Anda dan istri berjauhan tempat tinggal, dan selama 4 tahun ini Anda sudah merasakan beratnya, demikian pula istri. Nah, kalau masing-masing pihak merasa enjoy berjauhan dan tidak ada masalah, maka posisi ini hanya perlu dikelola untuk menjaga stabilitas masing-masing. Namun jika sudah menjadi masalah maka perlu dicari alternatif solusi. Kalau Anda minta dimutasi minimal yang dekat dengan istri atau sebaliknya, apa mungkin? Inilah yang perlu diupayakan, pak..sampai upaya terakhir yakni ada pihak yang berkorban. Secara realitas keputusan yang kita ambil tidak mungkin memuaskan semua pihak, kan Pak? Nah.. dekati mertua pelan-pelan…jangan mendadak. Carilah alasan yang logis, misalnya Anda sedang memprogram untuk mempunyai keturunan. Biasanya mertua sangat tersentuh jika alasannya adalah hal-hal terkait calon cucunya…apakah hal ini pernah dicoba? Intinya memahamkan bahwa kebahagiaan itu sesuatu yang mahal dalam kehidupan, dan itu tidak bisa diukur dengan materi, jabatan maupun kedudukan. Katakan bahwa kebahagiaan mereka agar anaknya menjadi dosen, tidak salah. Namun, menjadi dosen, pengajar, memanfaatkan ilmu agar tidak mubadzir bisa dengan berbagai cara, agar win-win solution, misalnya cari pekerjaan yang part-time dan tidak mengikat untuk istri, menulis, memberdayakan masyarakat, dsb.
Bapak Ari yang dirahmati Allah swt.,
Tahap yang penting saat ini adalah melobi mertua, berikhtiarlah serius namun bertahap, jangan mengagetkan mereka dengan keputusan yang mendadak karena hal ini akan mengganggu kesehatan mereka. Alhamdulillah Anda mempunyai istri yang shalihat, mau mengerti, bahkan tidak masalah jika dia harus keluar dari pekerjaannya, bukankah kebahagiaan perkawinan lebih utama dalam hal ini? Menjadi ibu rumah tangga tidak berati menganggur, apalagi dengan pendidikan S2 istri, saya yakin kreatifitasnya akan muncul. Wanita dapat memikirkan bekerja fulltime lagi, misalnya ketika anak sudah cukup besar dan managerial rumah tangga bisa dihandle dengan baik. Nah, selamat berjuang, ya Pak! Saya turut senang membaca surat Bapak yang menyiratkan bahwa Bapak dan istri begitu saling mencintai, mudah-mudahan ini bisa ditiru keluarga yang lain dan menjadi amal sholih bapak Ari dan istri. Amin. Teriring salam hangat untuk istri tercinta.
Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Bu Urba