Pernikahan Yang Dipaksakan

Assalaamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh bunda Siti Urbayatun, pengasuh konsultasi keluarga yang saya hormati,

Ada hal mendesak yang ingin saya tanyakan berkenaan dengan informasi yang saya dapatkan dari satu sumber tentang "sejarah" pernikahan saya. Saya seorang istri dengan 2 orang anak dan tentunya suami. Dalam hal ini ada yang mengganjal di benak saya selama sekian tahun pernikahan saya dengan suami saya (hampir 10 tahun). Secara singkat saya sampaikan disini bahwa pernikahan saya itu terjadi dengan paksaan dari pihak keluarga besar dalam hal ini Ibu saya.

Saya dapat informasi bahwa suatu pernikahan yang ijab qabulnya tidak disertai dengan keikhlasan (dalam hal ini dari pihak wanita) adalah pernikahan yang tidak sah.

Yang ingin saya tanyakan adalah sebagai berikut:

1. Apakah benar bahwa ketidakikhlasan seorang wanita dalam ijab qabul/pernikahan itu membuat pernikahan menjadi tidak sah? Dalam hal ini saya mendapat ilmu bahwa apabila seorang wanita diatas usia 9 tahun akan dinikahkan oleh Orangtuanya (terutama oleh Bapaknya) harus dengan keikhlasan wanita tersebut.

2. Apabila memang ternyata tidak sah, benarkah bahwa kegiatan sunnah yang saya jalankan dalam rangka melayani suami itu bisa dikatakan sama dengan berzinah?

3. Apabila memang pernikahan tsb tidak sah dan sudah berjalan bertahun2, bagaimana saya menyudahinya karena ada wacana dari pihak keluarga setelah saya berikan informasi bahwa pernikahan saya tidak sah, saya di"himbau" untuk menikah ulang yang mana dalam hal ini saya lihat pihak keluarga tidak paham benar bahwa yang menjadi masalah adalah keikhlasan saya.

4. Apakah keengganan suami dalam beribadah (walaupun sudah sering saya berikan masukan) bisa dijadikan alasan untuk menggugat cerai? Dan apakah memang tidak baik bagi seorang istri untuk menggugat cerai suami bahkan saat sang suami sudah tidak lagi bisa diajak untuk memperbaiki keadaan rumah tangga yang sudah jauh dari harmonis?

Demikian pertanyaan saya yang mendesak karena saat ini saya dalam kebimbangan yaitu apabila memang tidak sah maka kegiatan bersama suami jatuhnya bukan ibadah tapi zina dan apabila memang tidak sah, bukankah saya sudah berada satu atap dengan yang bukan muhrimnya?

Perlu diketahui juga bahwa saat ini segera setelah saya mendapatkan informasi/pengetahuan perihal status pernikahan saya yang kemungkinan besar tidak sah, saya tidak lagi menanggalkan jilbab saya di hadapan suami, apakah itu dibenarkan?

Terima kasih atas tanggapan segera dari Ibu. Mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan

Billahi taufiq walhidayah…

Wassalaamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu
Ibu Andrie di Sunter yang disayang Allah. Ibu dapat memahami kegundahan yang sedang anda rasakan. Tetapi Allah yang maha Pemurah, dengan kasihNya yang tiada berbatas, memang menguji hambaNya dengan permasalahan yang akan mengantarnya pada kenaikan iman.
Ibu, syariat sudah menetapkan bahwa syarat sah pernikahan ada beberapa: di antaranya :
1. Kedua belah pihak sudah tamyiz. Tamyiz adalah keadaan yang bisa membuatnya membedakan salah dan benar. Jadi seseorang disebut tamyiz bila dia tidak gila atau masih kecil.
2. Ucapan ijab qabul. Ucapan ijab qabul ini menggunakan kata-kata yang dapat difahami oleh masing-masing fihak yang melakukan akad nikah.
3. Perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dikawini , baik karena haram sementara (misalnya ipar) atau haram untuk selama-lamanya (misalnya saudara karena darah atau karena sepersusuan)
4. Akad nikahnya dihadiri oleh saksi
5. Wali dari pihak perempuan. Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “Tidak sah nikah tanpa wali.”(Hr Ahmad, Abu dawud, Tirmidzi, ibnu Hibban dan Hakim).
Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda “Siapapun wanita yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal. Jika lelakinya telah menyenggamainya, maka ia berhak atas maharnya, karena ia telah menghalalkan kehormatannya. Jika fihak wali enggan menikahkannya, maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.”(HR ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi)
6. Mahar, mahar adalah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita sebagai sunnah Rasul dalam sebuah pernikahan, bukan untuk menjadikan pernikahan sebagaimana sebuah jual beli tetapi merupakan sunnah yang dijalankan oleh Rasul-Nya. Besarnya maharpun tidak ditentukan, namun sesuai kemampuan.
Perkawinan yang tidak berlaku adalah bila ternyata laki-lakinya menipu perempuannya atau perempuannya menipu laki-lakinya, misalnya laki-lakinya mandul dan tak mungkin akan dapat anak, sedang sebelumnya perempuannya tidak mengetahui kemandulannya itu, maka dalam keadaan seperti ini dia berhak membatalkan pernikahannya dan meminta pengganti, kecuali kalau perempuannya tetap rela dan suka bergaul dengan dia dalam keadaan yang mandul itu.
Ibu Andrie yang dirahmati Allah swt.,
keikhlasan adalah rahasia hati antara Allah dan Anda. Tak ada seorang pun yang tahu bagaimana keikhlasan yang anda simpan dalam hati. Oleh karena itu ikhlas, dalam kaitan hukum, akan sangat sulit diukurnya. Meskipun seorang wali tidak boleh memaksa anaknya untuk menikah dengan seseorang yang tidak disenanginya, tetapi bukan berarti pernikahannya batal begitu saja.
Kasus Anda ini menjadi pelajaran pada perempuan untuk tidak lemah dan mau bersikap terbuka sebelum terjadi pernikahan. Mereka punya hak untuk mengiyakan atau menolak lamaran laki-laki yang dating padanya, namun bukan setelah terjadi ijab qabul.
Untuk saat ini, ibu Andrie, dalam kaitan masalah anda, selama suami anda tidak fasik atau menipu anda dan anda sendiri rela dengan keadaannya, maka pernikahan anda tidak batal. dan tetap berlaku hukum sebagai suami istri, termasuk berhubungan dan melepas jilbab.
Ibu Andrie yang dirahmati Allah swt.,
Saat ini putra Anda sudah 2 orang yang tentunya membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtuanya, timbang-timbanglah secara matang antara maslahat dan madharat dari perceraian Anda. Alasan perceraian yang anda kemukakan karena suami belum menjalankan agama secara kaffah, menurut hemat saya tidak beralasan kecuali suami terang-terang bukan seorang muslim. Jadikan suami sebagai obyek dakwah dan sumber pahala yang berlimpah sebagai bekal hidup Anda di akhirat kelak. Bersabarlah, karena sabar itu perlu dipaksakan sehingga menjadi akhlak kita.
“Orang yang memaksakan kesabaran niscaya Allah akan menjadikannya yang sabar.” (HR.Bukhari-Muslim).
Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu

Bu Urba