Asalamu’alaikum ustadzah,
Pertama kali saya mohon maaf kalau surat saya terlalu panjang. Saya seorang suami usia 35 tahun dari istri yang 2 tahun lebih muda yang shalihah, pintar, cantik, kami saling menyayangi, dan mempunyai sepasang anak kecil yang menggemaskan. Keluarga kami membahagiakan dan selama 8 tahun pernikahan kami tidak mendapatkan masalah yang berarti walaupun kami berbeda kultur. Saya orang Sunda, bungsu, dan istri orang jawa, sulung di keluarganya. Orang bilang ini pernikahan yang aneh dan istri bakal dominan dalam keluarga, saya tidak terlalu percaya hal ini dan lebih yakin akan kekuatan ikhtiar dan do’a dalam membangun keluarga sakinah.
Saya bekerja di luar kota dan hanya bisa menjenguk keluarga seminggu sekali. Hal ini sudah didiskusikan dengan istri dan dia mau mengerti. Urusan keluarga sepenuhnya saya serahkan kepada istri, walaupun jika diinginkan kami bisa berkomunikasi kapan saja lewat telpon. Ibu mertua saya ajak bergabung serumah setelah perceraiannya, sekalian untuk menemani istri saya ketika sehari-harinya saya bekerja diluar kota. Saya sering merasa kasihan karena istri kecapean mengurus rumah tangga sendirian, tapi saya tidak bisa berbuat apa2 selama saya masih ada di luar kota.
Tak ada gading yang tak retak, jika dicari kesalahan seseorang pasti ada. Selaku kepala keluarga saya berusaha merancang masa depan keluarga kami. Dan dari semua kebaikan istri yang saya cintai, ada satu hal mendasar yang harus dibenahi dari istri saya. Sifat ketidaksabarannya sangat bertentangan dengan sifat saya dan tujuan keluarga yang saya rancang. Hal ini sulit sekali diubah walaupun saya berkali kali menyarankan mengubahnya.
Saya ingin menitikberatkan tujuan keluarga untuk membentu kepribadian anak yang berkualitas. Dengan segala keterbatasan saya, saya berusaha menentukan tahapan yang harus ditempuh untuk mencapainya. Hal ini saya coba diskusikan denga istri saya, tetapi istri saya kesulitan untuk menerima penjelasan yang panjang lebar, sehingga maksud saya tidak dimengerti. Saya berusaha mengubah cara penyampaian maksud tersebut dengan cara yang lebih to-the-point, tetapi hal ini juga salah karena istri saya merasa di doktrin dan tersinggung.
Istri saya seringkali membuat keputusan sendiri yang kadang berbeda dengan tujuan keluarga yang saya rancang. Dia menganggap diri tidak mampu menyesuaikan dengan rencana tersebut, mungkin karena dididik mandiri di keluarganya ditambah ketidaksabarannya untuk mengikuti plot tujuan keluarga yang saya rancang, hal ini masih dipersulit dengan komunikasi yang tidak nyambung seperti diatas.
Untuk ini saya meminta saran dari ustadzah bagaimana cara mengatasi masalah tersebut, intinya saya ingin membentuk masa depan anak yang ideal, tetapi ukuran ideal diantara kami berdua ternyata tidak sama. Saya sudah mencoba menawarkan supaya istri saya yang menentukan arah keluarga ini dan saya akan membantu semua akibat yang harus ditanggung oleh istri saya. Tetapi hal ini ditolak juga karena menjadi kepala keluarga seharusnya adalah tugas suami. Saya jadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
Demikian masalah kami, semoga ustadzah tidak keberatan memberikan saran.
Wassalam,
Muhammad Yusuf – Bandung
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu
Bp. M.Yusuf yang dirahmati Allah swt.,
Sungguh Allah swt. telah memberi Anda keni’matan berupa istri shalihah, pintar, cantik, saling menyayangi, anak menggemaskan, mapan dalam pekerjaan, mertua yang mendukung…subhanallah..! Banyak orang yang iri kepada Anda lho, Pak…tentu saja iri dalam artian positif. Yang saya kagumi juga adalah Anda berbeda kultur namun dapat menyesuaiakn diri selama ini. Waktu 8 tahun dalam suasana kebahagiaan adalah sebuah prestasi yang pantas dicontoh keluarga lain.
Bp. Mu.Yusuf yang dirahmati Allah swt.,
Anda menyatakan bahwa masalah yang mengganjal saat ini adalah istri yang kurang penyabar, juga masalah dalam konsep pendidikan anak. Memang sifat tidak penyabar dapat mengganggu hubungan bersama, saya dapat memahami, namun janganlah ini sampai melebar ke hal yang lain ya, pak. Insya Allah ketidaksabaran istri adalah guru dalam belajar tentang kesabaran. Bukankah begitu teorinya? Ketika ketika menghadapi salah satu emosi negatif maka Allah swt sedang memberikan pelajaran tentang bagaimana emosi positif dapat diterapkan dalam akhlak kita. Manusia yang sabar di sisi lain punya kesempatan berdekat-dekat dengan allah swt, bukankah Bapak percaya bahwa ”inna Allaha ma’ash-shabirin..?” sesungguhnya Allah swt beserta orang-orang yang sabar..? Subhanallah..
Bp. Mu.Yusuf yang dirahmati Allah swt.,
Cobalah berempati pada istri, jauh dari suami tentu menembulkan Pe-eR tersendiri, apalagi dengan anak yang sedang tumbuh dan butuh perhatian, sentuhan pendidikan, kadang pada seorang wanita muncul rasa tak mampu, bingung, apalagi jika teman yang mestinya dapat untuk curhat tak selalu berada di sisinya. Nah, cobalah memahami psikologis seorang istri yang harus berjauhan dari suami dengan masalah sehari-hari yang tak selalu dapat dihandle sendiri. Saran saya, banyak-banyaklah menyapanya, menanyakan kesulitannya, ini adalah bentuk kesertaan suami dalam jarak yang jauh untuk tetap berperan sebagai suami maupun ayah.
Bp. Mu.Yusuf yang dirahmati Allah swt.,
Tentang konsep pendidikan anak memang sebaiknya dimusyawarahkan, atau minta masukan pihak yang berkompeten jika menemui kendala di tengah jalan; ada banyak website atau materi pendidikan anak yang dapat membantu selain mulai banyaknya praktek ahli dalam penanganan tumbuh kembang anak.
Bp. Mu.Yusuf yang dirahmati Allah swt.,
Saling mengisi dan mensupport amat diperlukan dengan kondisi hubungan jarak jauh seperti yang Bapak alami. Komunikasikan strateginya bersama istri. Do’a sangat membantu dalam menemukan langkah yang tepat. Salam hangat.
Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Bu Urba