Oleh : Zahrotul Makwa ( Penggiat CIIA Devisi Kajian Parenting )
Pernikahan adalah ikatan sunnah dua orang anak manusia. Bernilai ibadah. Merupakan amalan separoh agama. Penuh limpahan pahala manakala semua aktifitas di dalamnya diniatkan semata-mata karena Allah. Berlimpah keberkahan kala sepasang suami istri menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing dengan penuh ketaatan pada Sang Khalik.
Namun, selalu saja ada kalanya perselisihan terjadi. Perbedaan pendapat yang saat tak disikapi dengan hukum syara dapat berujung petaka. Mungkin ketidaknyamanan dan ketidaktenangan mulai hadir dalam sebuah maghligai rumah tangga. Disinilah ujian mulai muncul. Ujian kesabaran untuk menghadapi segala perbedaan dengan segala warnanya. Bukankah Allah tidak membiarkan lisan manusia menyatakan beriman tanpa pembuktian? Saat kesadaran bahwa hidup adalah ujian yang tak pernah berkesudahan, maka sikap bijaksana dan dewasa lah yang akan dipilih dengan menyandarkan segala ucapan dan perbuatan pada hukum Allah saja.
Manusia makhluk lemah dan terbatas. Amat naif jika segala permasalahan dalam rumah tangga dinilai menggunakan perasaan. Bila ini yang terjadi, maka tidak akan pernah ada ujungnya. Perasaan yang diikuti akan semakin liar mengembara tak tentu arah. Akibatnya segala hal diukur menggunakan perasaan. Kebahagiaan dinilai jika terpenuhi ego. Kesenangan menjadi tujuan akhir hawa nafsu yang terpuaskan. Hingga tak mustahil rumah tangga yang semula bertujuan untuk ibadah, berubah seperti neraka, panas dibakar api cemburu, prasangka dan rasa tak mempercayai.
Fungsi suami istri sebagai pakaian yang melindungi kala hujan, meneduhkan saat panas, menjaga kehormatan dan menutupi hal-hal terlarang untuk diketahui orang lain terabaikan begitu saja. Menceritakan rahasia rumah tangga menjadi pilihan seorang suami/istri. Membawa permasalahan rumah tangga ke ranah publik menjadi hal yang sudah biasa. Kalau sudah begini, alih-alih keadaan akan menjadi lebih baik, yang terjadi justru sebaliknya.
Fenomena di masyarakat telah membuktikan hal ini. Di media sosial tayangan infotainment tentang kehidupan orang lain laris manis ditonton. Di televisi kehidupan orang lain diobok-obok sedemikian rupa sudah menjadi hal biasa. Bahkan ketika episode perceraian artis disuguhkan, aib pasangan yang berseteru berlomba-lomba ditampilkan. Masing-masing pihak yang bercerai tak mampu menahan diri untuk tidak menunjukkan keburukan pasangan. Mencari pembenaran dan pembelaan bahwa dirinya yang benar dan pasangan yang salah. Diri sendiri yang baik, dan pasanganlah yang buruk. Seolah dengan menyebarkan aib pasangan, akan mendapat simpati dari masyarakat. Akan menjadikan dirinya lebih mulia. Lupa bahwa “mulutmu adalah harimaumu” yang sewaktu-waktu bisa menerkam balik dirinya sendiri. Tak ingat bahwa menyebarkan aib pasangan sama saja dengan menunjukkan kejelekan diri sendiri. Apalagi ketika yang disampaikan pada orang lain adalah suatu kebohongan maka akan jatuh fitnah. Apalagi bila motif di baliknya adalah dendam dan kebencian, maka sesungguhnya sama seperti menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya. Sama saja menabrak aturan Islam.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2590).
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara, dia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2850)
Sepasang suami istri yang shaleh tentu tidak akan berani membuka aib pasangan pada orang lain. Aib orang lain saja Allah perintahkan untuk ditutupi, apalagi aib seseorang yang menjadi atau pernah menjadi pasangan. Harus lebih ditutupi lagi dan dijaga kemuliaannya.
Sepasang suami istri yang shaleh, akan menyimpan rapat-rapat apa pun tentang pasangannya. Dalam diam introspeksi diri selalu dilakukan. Hanya pada Allah tempat mengadu. Hanya pada Allah memohon pertolongan.
Sepasang suami istri yang shaleh, adalah pemilik jiwa yang tangguh. Kesalahan dan kelemahan pasangan disimpan dan dinikmati sendiri. Dibicarakan dari hati ke hati hanya dengan pasangan dalam rangka saling menasihati dalam kebaikan. Bukan diumbar dan disebarkan pada orang lain.
Sepasang suami istri yang shaleh apalagi pengemban dakwah, akan selalu menjaga kemuliaan pasangan. Hanya kebaikan dan ketaatan sang pasangan pada Allah yang selalu diingat. Kehormatan pasangan akan dijunjung tinggi. Bukan justru membuka keterbatasannya ataupun permasalahan rumah tangga yang ada atas nama dakwah.
Sepasang suami istri yang shaleh, adalah insan yang kuat dan berkecerdasan emosional tinggi. Mampu menahan diri untuk menjaga secara sempurna segala problem dalam biduk rumah tangga. Apalagi di era digital dimana mencari solusi sandaran aturan agama mudah di dapat, tanpa harus seorang pun tahu. Tanpa harus orang lain mengenal kita.
Sepasang suami istri yang shaleh, cintanya adalah karena Allah. Tak mungkin menempatkan pasangan pada posisi tersakiti oleh ucapannya. Ia selalu menjaga kemuliaan pasangan dimana pun berada. Ia selalu melindungi rahasia rumah tangga dari siapapun, sekalipun orangtuanya sendiri karena tak mau membebani ayah bundanya. Ia senantiasa mengikatkan hati, lisan dan perbuatannya untuk terikat dengan aturan Allah. Tak pernah setitikpun untuk berani membantah apapun firman Allah dan sabda nabinya. Tak pernah memilih untuk berada pada titik tak peduli dengan dosa.
Menjaga kemuliaan pasangan/orang lain sama artinya melindungi kehormatan sendiri. Menutupi aib pasangan/orang lain berarti menutupi aib diri sendiri. Manusia beriman pasti malu bila aibnya diketahui orang lain apalagi jika dikonsumsi beramai-ramai dalam media sosial/massa.
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar lalu menyeru dengan suara yang lantang
:يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang hanya berislam dengan lisannya namun keimanan belum tertancap di dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan pula kalian memperolok mereka, dan jangan pula kalian menelusuri mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya niscaya Allah akan mencari-cari aibnya, dan barang siapa yang aibnya dicari-cari oleh Allah niscaya Allah akan mempermalukan dia meskipun dia berada di dalam rumahnya sendiri.” (HR. Abu Daud no. 4236 dan At-Tirmizi no. 2032).
Semoga, menjaga kemuliaan pasangan adalah sebuah langkah indah yang dipilih oleh banyak pasangan suami istri. Sungguh, menampakkan aib pasangan/orang lain bahkan menyebarkan dan membicarakannya dengan sengaja adalah perbuatan terlarang dan hina, yang hanya bisa dilakukan oleh manusia rendah tak punya malu. Astaghfirullahal’adziim. Nabi bersabda,”jika engkau tak malu, maka lakukanlah sekehendakmu.” (HR. Al Bukhari)
Sikap malu adalah salah satu cabang dari keimanan (H.R al-Bukhari no 8 dan Muslim no 50)
Malu adalah bagian dari iman, dan iman di surga. Sedangkan berkata kasar adalah termasuk perangai yang kasar, dan perangai yang kasar (tempatnya) di neraka (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Albany)
Sesungguhnya malu dan iman adalah kedua hal yang beriringan. Jika diangkat salah satu, maka terangkat yang lain (H.R al-Hakim, dishahihkan oleh adz-Dzahaby)
Wallahu’alam.
¤¤¤¤( CIIA-The Community of Ideological Islamic Analyst : [email protected] )¤¤¤¤