Mbak Anita yang baik, langsung saja ya.
Kami mempunyai anak sulung yang beranjak remaja. Laki-laki berusia 11 tahun (kelas 6 SD). Anak kami, alhamdulillah cukup baik akhlaqnya (menurut para tetangga dan guru-guru di kelas). Kami sendiri juga merasa bahwa ia anak yang cukup bertanggungjawab, peduli lingkungan dan dapat menjadi contoh yang cukup baik bagi adik-adiknya (3 orang).
Namun akhir-akhir ini (setahun terakhir), kami merasakan terjadi penurunan kualitas tanggung jawab (seperti tidak mengerjakan tugas di rumah yang cukup ringan: membuka menutup gordyn dan jendela, menaruh kembali handuk, menaruh bajunya yang kotor di bak cuci), menjadi sering clash dengan adiknya (yang nomor 3 berusia 7 tahun). Bahkan sekarang, dari adik kami (omnya) kami diberi tahu bahwa ia sempat mengeluh capek karena disuruh-suruh terus. Padahal kami tahu ia banyak bermain dengan teman-temannya (bola dan lain-lain) yang menyebabkan capek.
Jika kami ajak bicara, ia sering terlihat menutup diri. Jika akhirnya kami beri peringatan cukup keras ia diam saja, tidak keluar kata keberatan jika ia tidak setuju, tidak minta maaf jika jelas ia bersalah, bahkan seringkali mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Satu lagi, tampaknya ia selalu membutuhkan pujian atas pekerjaan yang ia lakukan, dan tampaknya sangat tertekan bila ada kritikan.
Di antara saya dan suami, kami sering berdiskusi dan introspeksi mungkin ada sifat kami yang menurun pada anak kami ini, sehing ga kami tahu bagaimana cara mengatasinya. Tampaknya ini menurun dari suami saya yang menurut analisa beliau pribadi gampang stres. Tetapi suami saya bisa mengendalikan sifatnya ini dan lebih bertanggung jawab ketika seumur anak kami tersebut.
Mbak Anita, kami sadar mungkin ini bagian dari prosesnya menjadi remaja. Kami ingin mendapatkan arahan supaya bisa membimbing anak kami melewati masa remajanya dengan mulus dan mengembangkan potensinya dengan optimal. Kalau mungkin, surat kami ini diringkas saja mbak. Kepanjangan sih.
Wassalam. Terimakasih banyak.
Assalammu’alaikum wr. wb.
Ibu Nesy yang dimuliakan Allah,
Menghadapi anak yang mulai memasuki usia puber kadang memang membingungkan, ya bu? Mungkin ekstrimnya tiba-tiba anak berubah menjadi sosok yang tidak dikenal, perilaku manisnya tiba-tiba berubah drastis sebagaimana yang ibu contohkan dalam tulisan. Wajar memang jika awal pubertas kesabaran orangtua seringkali diuji oleh perilaku anak yang tidak dapat diterima.
Sebenarnya hal yang baik memang jika anak menunjukkan perilaku yang tidak baik kemudian orang tua melakukan intropeksi, namun jika intropeksi tersebut kemudian memberi kesimpulan bahwa perilaku tersebut akibat faktor keturunan maka saya termasuk yang tidak menyetujui paradigma tersebut, karena perilaku yang tidak baik tidak diturunkan secara genetik.
Sedangkan perilaku anak ibu sekarang yang cenderung mulai tidak "semanis" dulu, nampaknya lebih dipengaruhi oleh fase kehidupan yang baru dimasukinya. Awal pubertas memang ditandai dengan perubahan-perubahan baik secara fisik maupun mental. Dan perubahan-perubahan tersebut biasanya memang berpengaruh terhadap perilakunya. yang dulu mudah untuk menyuruhnya sekarang menjadi sulit, hal ini wajar sebagai bagian dari perkembangan proses berpikirnya juga.
Oleh karena itu menghadapi anak yang sudah puber jelas juga menuntut perubahan pada pola asuh orang tua kepada anak. Orang tua sebaiknya dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang dialami anaknya. Anak puber sudah tidak lagi dapat diperlakukan sebagaimana anak-anak yang lebih mudah untuk diperintah dan diarahkan.
Perubahan di masa puber menyebabkan emosinya tidak stabil sehingga membentuk sikap anak yang cenderung emosional. Sedangkan perilaku anak sebagian besar lebih disebabkan oleh emosi, sehingga untuk merubah perilaku sebaiknya juga memahami emosi yang menjadi motivasinya berperilaku. Oleh karena itu untuk membantu anak mengatasi masalahnya di masa puber, orang tua perlu memperhatikan kebutuhan anak untuk didengar dan diterima.
Jadi belajarlah untuk lebih memahami anak dengan cara menjadi orang yang bisa dipercaya olehnya untuk mendengarkan perasaannya, setelah memahami emosi yang melatarbelakanginya barulah mengajaknya berpikir dan mengajarkannya proses pengendalian diri untuk merubah perilakunya yang tidak dapat diterima.
Ketika anak sudah bicara dengan orang lain tentang apa yang dirasakannya, seperti anak ibu bilang merasa cape, dan tidak langsung terbuka kepada orang tuanya, maka perlu diwaspadai. Mungkin saja selama ini anak berperilaku negatif sebagai luapan dari tumpukan perasaannya terhadap sikap orang tua kepadanya, namun karena merasa tidak didengarkan maka keluarlah dalam bentuk perilaku tersebut. Jika demikian orangtua pun perlu membicarakan secara terbuka dengan anak dan intropeksi terhadap pengasuhan yang selama ini diterapkan. Wallahu’alambishshawab.
Wassalammu’alaikum wr.wb
Rr. Anita W.