Kemiskinan Versus Menunda Pernikahan

nikahPernikahan merupakan satu-satunya gerbang suci dalam menjalin hubungan dengan pasangan yang semula bukan mahromnya. Dari pernikahan maka terbentuk keluarga yang samara (sakinah, mawaddah, rahmah) dan lahirlah generasi mulia. Namun saat ini, pernikahan bukan menjadi ikatan sah yang dianjurkan di Indonesia. Penundaan pernikahan menjadi opsi utama yang diberikan bagi kalangan muda.

Di dalam pasal 1 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Berdasarkan peraturan dalam UU tersebut, maka menikahkan anak-anak di bawah usia 18 tahun bisa menjadi tindakan kriminal, menurut Menteri Kesehatan RI, dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH yang dilansir dari Atjehpos.com (Kamis, 26 September 2013).

Maraknya promo penundaan usia pernikahan disebabkan karena ledakan jumlah penduduk yang berimbas pada ketidakstabilan ekonomi. Dan ini berdampak pada sebagian besar keluarga Indonesia yang berada di garis kemiskinan. Untuk itu, pemerintah mengambil keputusan untuk mengadakan kampanye menunda usia pernikahan. Khususnya pernikahan di usia dini.

Dalam Islam, pernikahan adalah sesuatu yang dianjurkan bagi syabab jika mampu (HR Mutafaq ‘alaih). Syabab (15 tahun ) adalah seseorang yang mencapai usia baligh tetapi belum mencapai kedewasaan dan belum stabil. Tetapi usia tersebut sudah dikatakan siap memasuki jenjang pernikahan. Seseorang dengan usia tersebut berada dalam masa gejolak seksual dan harus dipenuhi dengan cara yang benar.

Usia ideal menikah saat ini adalah 21 (perempuan) dan 25 (laki-laki). Cukup jauh dari rentang kategori umur syabab. Penundaan ini jelas mengakibatkan kerusakan secara solid dalam masyarakat. Sebab, seorang individu yang sudah baligh dipaksa menunda pernikahan dengan dalih kemiskinan global akibat ledakan jumlah penduduk di negeri ini. Maka dari itu, wajar ketika belum menikah, remaja cenderung melampiaskan gejolak tersebut dengan aktivitas zina dini. Mulai dari pacaran yang menjadi gerbang terbukanya seks bebas maupun pergaulan bebas yang berujung pada aborsi dan kerusakan generasi.

Menunda pernikahan berbahaya bagi tatanan kehidupan sosial masyarakat. Pengaturan ini bertentangan dengan fitrah manusia dan bentuk kedzoliman kepada setiap individu yang sudah layak untuk menikah. Akibatnya banyak yang memilih melakukan aktivitas seks aman dan sehat dengan alasan tidak ada aborsi maupun marabahaya yang dimunculkan. Pemenuhan hasrat seksual ini kian marak juga melalui mucikari (penjaja seks).

Di satu sisi, anak-anak diusia muda menuju syabab sekarang tidak terlihat memiliki kemampuan untuk menikah dan menafkahi. Faktor utama tentu karena pendidikan yang diberikan juga memang tidak untuk mempersiapkan setiap individu siap menikah di usia muda. Ini berbeda dalam pandangan Islam. Seseorang individu yang diberikan pendidikan (sesuai dengan sistem Islam) justru diberikan juga pendidikan mengenai pernikahan sejak ia mampu membedakan kanan dan kiri, mampu melaksanakan sholat dan hal wajib lainnya. Dengan demikian, dapat dipastikan setiap syabab yang hendak menikah sudah memiliki cara pandang yang luas mengenai persiapan pernikahan.

Selain itu, usia syabab saat ini cenderung tidak menikah karena tidak mampu. Hampir sebagian besar pemuda di usia 15 tahun tersebut tidak mampu menikah karena belum bisa memberi nafkah. Pada usia tersebut kebanyakan remaja laki-laki masih dalam tanggungan orang tua. Padahal, sunnah ketika orang tua menafkahi anak laki-laki yang sudah baligh. Ini juga berkaitan erat dengan banyaknya pemuda dewasa yang belum siap menikah karena belum bisa memberi nafkah. Bila diamati lebih mendalam, minimnya kesempatan bekerja juga menjadi sebab utamanya. Diakui, bahwa banyak laki-laki yang tidak mampu menafkahi karena ia tidak memiliki modal. Inilah efek yang ditimbulkan ketika sistem kapitalisme menjadi landasan bernegara.

Sistem kapitalisme tidak akan pernah sesuai dengan fitrah manusia. Hanya kerusakan yang akan didapat jika masih bertahan pada pemahaman yang bukan berasal dari Islam ini. Satu-satunya solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan mengubah paradigma sistem kehidupan bernegara sesuai dengan aturan Allah dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Sehingga tidak ada lagi efek yang perlu dirasakan dari penggunaan aturan-aturan yang merusak seperti saat ini.

Adapun solusi kemiskinan global yang terjadi justru berpusat pengaturan ekonomi negeri. Islam memandang laki-laki memiliki tanggungjawab al ba’ah  (tanggungan nafkah) pada tiga hal: sandang, pangan, dan papan. Adapun untuk kesehatan dan pendidikan menjadi kewajiban Negara untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya. Pemenuhan ini bisa dicapai dengan mengembalikan seluruh aset rakyat dalam pengelolaan Negara, bukan dengan swastanisasi. Dengan demikian, Negara punya modal yang besar dalam mensejahterakan rakyat dan memberikan kesempatan bekerja yang besar untuk laki-laki. Sehingga gejolak kemiskinan global bisa dihindari. Dan kondisi ini hanya bisa terwujud jika Negara mau merujuk dan melaksanakan pandangan Islam tersebut dalam sistem kehidupan bernegara. Wallaahu a’lam bish showab [].

*Erlida Amnie Lubis