Assalamu’alaikum Ibu yang baik,
Saya seorang pekerja swasta dengan posisi Manajer, menikah, dan mempunyai seorang anak. Saat ini saya sedang naksir berat dengan sekretaris saya yang berlainan agama. Dari awal kehidupan keluarga saya baik-baik saja, tidak ada masalah sama sekali. Hanya saja sejak kehadiran sekretaris baru saya ini, saya jadi demikian tertariknya dengan dia. Saya bukan tipe yang suka selingkuh Bu, berumah tangga 8 tahun tanpa masalah WIL.
Keinginan saya untuk menikahi dia demikian kuatnya, walaupun saya belum berani mengungkapkan ke siapapun, termasuk ke dia, lebih-lebih lagi ke isteri saya. Baru dengan ibu saya berani berterus-terang. Saya memiliki niat untuk membawanya ke dalam Islam. Memang tidak akan mudah, karena ia juga adalah seorang penganut agama nasrani yang taat.
Apa yang harus saya lakukan Bu, saya sudah coba untuk menjauhinya beberapa kali, tapi hati saya tidak bisa lari darinya. Tanggapan dari dia sejauh ini masih terhitung normal, walaupun ada sedikit tanda-tanda lampu hijau yang dia berikan. Saya tidak berani mengatakan kepadanya, karena latar belakang saya yang sudah berkeluarga. Apalagi sampai mengatakannya ke isteri saya, saya amat sangat tidak berani. Hanya kepada Allah sajalah saya ungkapkan lewat sholat Tahajjud setiap malam selama hampir 3 bulan ini.
Tolong saya Bu, apa yang harus saya lakukan. Saya juga tak ingin di-cap sebagai orang yang culas dan mau menang sendiri, tetapi saya amat mencintainya di dalam hati.
Terimakasih, wassalamu’alaikum wr. Wb.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Bpk Atma,
Anda saat ini sedang tergoda oleh wanita sekantor yang berlainan keyakinan, padahal Anda sudah berkeluarga. Pernikahan Anda selama ini juga tak ada masalah yang berarti, jadi tak ada alasan ’kuat’ Anda menikah lagi sebenarnya. Apalagi pernikahan dengan wanita ahli kitab juga masih mengandung perbedaan pendapat. Tidak sesederhana yang kita bayangkan untuk mengganti keyakinan seseorang. Katakanlah Anda dapat mengubah keyakinannya, kemudian poligami.
Permasalahan poligami ini adalah salah satu hal yang juga tidak sederhana. Landasan hukum kebolehannya sudah jelas, namun kemudian terjadi simplifikasi atau menganggap simple dalam pelaksanaannya. Sering yang teramati adalah (salah satunya) karena sebenarnya yang bersangkutan belum mempersiapkan segala hal untuk sukses poligami tersebut. Karena sama seperti nikah (pertama) maka poligami juga membutuhkan persiapan.
Sayangnya (ma’af) sebenarnya sebagian laki-laki sebenarnya belum berbekal cukup untuk poligami kemudian seolah merasa siap. Wanita yang terlibat dalam pokok masalah ini juga sering sekedar menjadi obyek penderita, yang kurang diberikan hak -ADIL- sebagai wujud ketaatan laki-laki atas prasyarat dibolehkannya poligami. Pada kasus tertentu permasalahan yang muncul adalah isteri tua merasa kurang dihargai status keistriannya yang lalu dan anak-anak dari isteri pertama menjadi mendendam pada bapaknya, karena tidak ada pengkondisian yang baik. Sebagian suami mengambil dalil bahwa untuk poligami tidak mesti dengan izin isteri tua. Kasus-kasus ini tak dapat digeneralisir bahwa tak ada yang berhasil mewujudkan syarat –ADIL-dalam keluarga poligamis.
Kalau mencoba mengibroh/ meneladani apa yang dilakukan pada keluarga Rasulullah saw, terlihat bahwa isteri-isteri Rasul adalah wanita-wanita yang luar biasa keimanannya, ta’at pada perintah syariat, sehingga kalau ada permasalahan mereka akan tunduk di bawah aturan syari’at. Keimanan adalah landasan yang harus dicontohkan oleh sang suami maupun isteri. Jadi dalam pernikahan poligami ini ketika suami dan para isteri berkualitas iman yang baik, maka akan meminimalkan persoalan rumah tangga. Dengan demikian mestinya pemilihan/ alasan memilih isteri juga harus sesuai yang disyariatkan agama, tidak sekedar karena menarik, muda atau kaya.
Point lain yang tak kalah penting adalah bahwa pembentukan keluarga dalam Islam adalah tahap untuk mendukung pembentukan masyarakat Islam yang kuat. Sangat disayangkan kalau tahap ini tidak dipersiapkan dengan baik maka yang akan timbul adalah embrio keluarga yang rapuh.
Beberapa kasus yang sering sampai pada penanganan ahli adalah adanya jarak/ kesenjangan psikologis antara anak dari isteri tertua dengan sang Bapak, tak jarang karena pengkondisian yang belum cukup dilakukan Bapak terhadap anak-anaknya. Pada anak-anak dengan kepribadian rapuh yang mungkin akan terjadi adalah kebencian pada figur Ayah, bahkan kebencian pada semua figur lelaki, sehingga sang anak (pada kasus tertentu) bisa membenci laki-laki secara keseluruhan. Inilah pentingnya pengkondisian. Bukan berarti bahwa secara hukum kebolehan poligami menjadi batal; tetapi ini masalah proses yang perlu matang persiapannya.
Keadilan seorang Ayah dipertaruhkan ketika dia mengelola keluarga yang lebih besar; dalam bahasa organisasi, dibutuhkan soft skill khususnya leadership dari sang Ayah: kemampuan manajemen keluarga, kemampuan komunikasi, kemampuan mendengar-empatik, kemampuan problem solving karena masalah yang dihadapi akan semakin banyak.
Tidak boleh dilupakan bahwa zaman Nabi ada tujuan-tujuan poligami sebagai sebuah pintu darurat, dan bukan pintu utama. Pintu darurat itu misalnya dalam kasus-kasus yang disebutkan oleh Ust Yusuf Qardhawi antara lain menyelamatkan janda dan anak yatim.
Bapak Atma, dekatkan diri pada Allah swt, mintalah perlindungan dari segala ujian dan godaan. Semoga Dia memberi pilihan Anda mengambil langkah yang benar. Amin…
Wallahu a’lam bissshawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ibu Urba