Penulis merasa heran, ketika mendapati sebagian keluarga di Mesir sini, ternyata yang memegang tampuk kepemimpinan keluarga adalah seorang perempuan , walaupun itu tidak mutlak, artinya bisa saja itu tidak disepakati secara resmi, namun sangat sering penulis , mendapatkan seorang laki- laki ( suami ) merasa minder dan takut untuk berbicara kebenaran atau sekedar berbicara ataupun ketika memutuskan sesuatu yang sebetulnya menjadi wewenangnya ketika istrinya ada di depannya. Itu ternyata , setelah di teliti , walau secara sekilas, di dapatkan bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah , karena seorang istri lebih kaya dari suaminya, sehingga dengan hartanya , dia leluasa untuk mengatur suami dan keluarganya. Atau sang istri terlalu cantik di banding suaminya yang biasa- biasa saja, sehingga sang suami selalu kawatir kalau istrinya yang cantik ini marah dan minta cerai. Ataupun sang istri tersebut, selain cantik, juga jauh lebih muda di banding suaminya yang sudah loyo dan lanjut usia. Faktor- faktor tersebut ternyata , sedikit banyak mempengaruhi kejiwaan relasi dan hubungan antara suami istri, sekaligus membuat suami merasa mlinder dan takut dengan istrinya. Ditambah kebodohan sang suami terhadap ajaran agamanya . Kasus tersebut , menunjukkan betapa telah terjadi pergeseran nilai di dalam masyarakat. Untuk meneliti lebih lanjut wewenang kepemimpinan dalam keluarga maupun di dalam masyarakat, apakah itu hak paten milik laki-laki ataupun perempuan, alangkah baiknya kita kutip dahulu
Firman Allah di dalam QS al- Nisa’ : 34 :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“ Kaum laki- laki itu adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka ( laki- Laki) atas sebagian yang lain ( wanita ) dan karena mereka menginfakkan sebagian harta mereka “
Sebab turun ayat :
Adalah sebagai tanggapan dari kasus Sa’ad bin Abi Robi’ yang memukul istrinya yang bernama Habibah binti Zaid, karena durhaka kepadanya, kemudian kasus ini di adukan kepada Nabi, lalu Nabi menyuruhnya untuk qishos. Kemudian turun ayat ini. [1]
Di sana ada sebab- sebab lain, tapi ini dianggap mewakili.
Ayat di atas secara jelas dan tegas menunjukan bahwa laki- laki adalah pemimpin bagi wanita. Dan Allah telah menciptakan laki-laki dalam bentuk pastor tubuh dan sifat- sifat yang bisa di jadikan bekal untuk menjadi pemimpin. Karena kepemimpinan memerlukan pendayagunaan akal secara maksimal dan memutuhkan stamina tubuh yang kuat , khususnya di dalam menghadapi berbagai rintangan dan kendala, dan tatkala memecahkan berbagai problematika yang cukup rumit. . Dan dalam satu waktu , Allah adalah Dzat Yang Maha Adil , tidak mau mendholimi seseorang . Sehingga, dipilihlah laki- laki sebagai pemimpin rumahtangga dan pemimpin bagi kaum wanita secara umum. Karena tabi’at perempuan yang lemah lembut, mudah terbawa arus perasaan , yang mengandung dan menyususi , serta merawat anak, sangatlah tidak relevan untuk dibebani sebagai pemimpin bahtera rumah tangga yang begitu besar dan berat. Dari sini, sangatlah tepat ayat di atas .
Keterangan di atas, oleh sebagian orang di sebut nature, yaitu sebuah teori yang beranggapan perbedaan fungsi dan peran laki- laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan alamiyah, sebagaimana tercemin di dalam perbedaan anatomi biologi kedua makhluk tersebut. [2] Walaupun teori ini banyak di kritik , khususnya oleh Karl Marx, namun , menurut hemat penulis, masih menjadi pijakan alasan atau penafsiran yang paling sesuai di dalam membicarakan relasi gender, pembagian tugas , hak dan kewajiban antara laki- laki dan perempuan. Dan jumhur ulama , hingga sekarang masih menggunakan alasan di atas. Penolakan terhadap teori ini , di sebabkan kesalah pahaman bahwa perbedaan tugas identik dengan penindasan dan diskriminasi . Padahal al- Qur’an ketika membedakan tugas- tugas tersebut , tidaklah bermaksud untuk melakukan hal itu, dan bahkan kenyataannya setelah dipraktekan dengan syarat- syaratnya, maka penindasan dan diskriminasi yang di takutkan itu tidak pernah ada. Keterangan di bawah ini bisa menjelaskan masalah tersebut .
“ Qowwam “ menurut Imam Qurthubi artinya melakukan sesuatu dan bertanggung jawab terhadapnya dengan cara meniliti dan menjaganya dengan kesungguhan. Maka tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan dalam batasan tersebut. Yaitu dengan mengurusi, mendidik dan menjaga dirumahnya dan melarangnya untuk keluar ( tanpa ada keperluan ) . [3]
Dari situ bisa dipahami bahwa kepemimpinan laki-laki terhadap wanita bukanlah kepimpinan otoriter, tapi lebih cenderung seperti kepemimpinan untuk memperbaiki dan meluruskan yang bengkok.
Walaupun begitu, kepimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah kepimpinan mutlak, sebagaimana para pemimpin negara terhadap rakyatnya, artinya dia berhak untuk memerintah , melarang mengurusi dan mendidik. Di situlah rahasia kenapa Al Qur’an menggunakan kata sifat ( al Rijal Qowwamuna ) [4]
Dalam satu sisi kepimpinan laki- laki terhadap perempuan bukan seperti kepemimpinan militer atau administrasi, yang menyuruh dan melarang tanpa diikut sertakan anggota rumahtanga. Akan tetapi kepemimpina tersebut lebih cenderung kepemimpina yang dijalankan melaui musyawarah , saling memamahami dan saling merelakan. [5]
Bahkan menurut Syekh Muhammad Ismail Muqoddim[6] , bahwa kepemimpinan laki- laki terhadap perempuan, bukan sekedar kekuasaan dan kediktatoran , akan tetapi sudah menjadi sebuah sistem. Sistem ini harus diterapkan oleh masyarakat, agar terjadi keserasian di dalam kehidupan ini. Sistem ini, mirip sistem yang dipakai dalam sebuah negara. Artinya kepimpinan cenderung ditetapkan demi sebuah keserasian dan keteraturan. Oleh karenanya, seorang muslim akan di katakan berdosa, kalau dia keluar dari sistem ini, walaupun dia lebih utama dari pemimpin negara. Begitu juga, seorang perempuan akan di katakan berdosa , jika ia keluar dari kepemimpinan laki- laki ini , walau secara dlhohir , dia mungkin lebih afdhol ( utama ) dalam beberapa segi. Dan inilah rahasia , kenapa al Qur’an tidak menggunakan kalimat “ ar Rijal Sadah ala Nisa ‘ “ Sadah berarti tuan.
Sangat menarik sekali apa yang di tulis oleh DR. Abdul Mun’im Sayid Hasan , ketika mengomentari ayat di atas. Beliau menyebutkan bahwa dalam ayat tersebut, Allah tidak menggunakan kata perintah , tetapi menggunkan metode pemberitahuan , yang mengandung perintah dan keharusan . Menurut beliau, metode ini menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan dan tanggung jawab seorang suami dalam keluarga, seakan- akan sesuatu konsep yang sudah di sepakati oleh manusia, , bahkan kesepakatan ini , bisa di katakan sudah ada sebelum ayat tersebut diturunkan .[7] Pernyataan seperti ini , dikuatkan oleh J.C. Mosse, yang menyatakan bahwa pola relasi jender seperti yang diterangkan di dalam Al Qur’an tersebut , dimana laki-laki memegang tangguang jawab keluarga, mempunyai kemiripan di seluruh belahan bumi bagian utara, termasuk Eropa dan Amerika. Bahkan menurut konsep keluarga dalam tradisi Yunani dan Romawi, kepala rumah tanggapun di pegang oleh laki- laki . [8]
Untuk menafsirkan arti “ Qowamah “ yang lebihjelas lagi, Syekh Muhammad Madani justru mengaitkannya dengan lanjutan ayat yang berbunyi( bima fadolahu ba’dhohum ‘ala ba’dhin perempuan dalam ayat ini, bukan berarti laki- laki lebih super, lebih mulia dari perempuan, dan bahwa perempuan itu lebih lemah, lebih rendah dan berada di kelas kedua dari laki- laki. Akan tetapi artinya , bahwa laki- laki mempunyai ciri dan tugas tersendiri yang tidak di miliki oleh perempuan. Sebagaimana perbedaan antara anggota tubuh manusia itu sendiri, seperti tangan , kaki, mata, telinga, hidung dan mulut. Masing – masing dari anggota tubuh tadi mempunya fungsi dan kelebihan sendiri yang tidak di milki oleh anggota lain. [9] ) yaitu karena Allah memberikan kelebihan sebagian mereka ( laki- laki ) di atas sebagian yang lain ( wanita ) . Allah menyebutkan bahwa laki -laki merupakan bagian dari perempuan , begitupun sebaliknya.
Dr Ahmad Zain
* Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana , Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Mesir.
[1] Qurtubi, op. cit. 5/110. Lihat pula Ibnu Katsir, op cit 1/503.
[2] DR. Nasaruddin Umar . op. cit. hlm 4
[3] Qurthubi, op.cit 5/111.
[4] Syekh Ali Shobuni., Rowai’l Bayan fi tafsiri ayatil ahkam , yang di nukil oleh Ishom bin Muhammad Syarif, Liman Qowamah fil Bait, Kairo : Darul Sofwah, 2003. Cet II. Hlm 31 .
[5] Ishom bin Muhammad Syarif , op cit hlm 52
[6] Ismail Muqoddim, op cit . 2/ 130.
[7] Ibid, hlm 48
[8] DR. Nasaruddin Umar.op.cit hlm 134
[9] Muh Madani. Op cit. hlm 104