Kepada Ibu Siti Yang di muliakan Allah,
Saya ingin menanyakan bagaimana hukumnya para suami yang jadi pelaut. Mereka mungkin bisa menafkahi para isterinya hanya lahir saja, sedangkan nafkah batin hanya dilakukan pada saat mereka berada di rumah, sedangkan untuk mendapatkan pekerjaan di darat untuk saat ini sangat susah.Jadi mereka termasuk saya rela berpisah dengan keluarga untuk waktu yang lama hanya untuk mendapatkan rizqi dari ALLAH.
Bagaimana mengatasi hal ini dan apakah kita berdosa kalau tidak memenuhi kewajiban sebagai seorang suami dalam masalah batin.Walaupun saya masih bujang, tapi saya juga orang yang menginginkan pernikahan dan mendapat keluarga yang sakinah.Mohon penjelasannya, TERIMAKASIH.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Sdr. Katamso yang sholih,
Ini pertanyaan yang sudah Anda kirim cukup lama ya…Perkenankan saya mohon ma’af juga kepada Saudara-saudari yang saya sayangi para penanya karena keterlambatan jawaban atas pertanyaan Anda semua. Kira-kira kalau semua ingin dijawab, maka rata-rata dua bulan kemudian baru giliran pertanyaan Anda akan ditampilkan. Semoga Sdr. Katamso memaklumi ya..! Trimakasih. Saat ini Anda diberi Allah swt. kekuatan motivasi hendak mengikuti sunnah, yakni membahagiakan isteri dengan memberi nafkah lahir-batin setelah menikah nanti.. Saya salut pada pemuda seperti Anda.
Anda menjadi pelaut sebagai salah satu jalan mencari rizki dan menafkahi keluarga nantinya. Tidak ada yang salah dengan upaya ini; banyak pekerjaan yang ditempuh dengan jalan halal dan thoyyib tetapi tetap mengandung risiko.Di samping itu banyak gadis yang menunggu pria yang menikahinya adalah sudah mampu bertanggungjawab menafkahinya meskipun pekerjaannya mengandung risiko. Jadi klop kan..? Cari gadis yang siap dengan risiko pekerjaan Anda. Hati-hati dalam memilihnya.
Kekhawatiran Anda beralasan, Anda ingin menjalankan kewajiban sebagai suami. Dalam buku Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa hak isteri yang berupa kebendaan adalah mahar dan nafkah; sedangkan hak isteri yang bukan kebendaan antara lain adalah:
a) perlakuan yang baik dari suami (QS an-Nisa:19)
b) penjagaan suami dari sesuatu yang menodai kehormatan isteri c) nafkah batin/ biologis (QS Al-Baqarah:222)
Sdr. Katamso yang dirahmati Allah,
Nafkah biologis jelas menjadi hak isteri tetapi ulama berbeda pendapat tentang waktunya. Menurut Ibnu Hazm suami wajib mengumpuli isterinya sedikitnya 1 kali sebulan, namun Imam Ahmad memberi batas waktu 4 bulan. Menurut sunnah bahwa suami yang mengumpuli isterinya adalah termasuk shadaqah dan mendapat pahala.
Rasulullah saw bersabda, ”Bagi kamu menyenggamai isterimu adalah suatu pahala; lalu para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah…apakah seseorang di antara kita yang menyalurkan syahwatnya akan mendapat pahala? Jawab Rasul: Bagaimana pendapatmu kalau dia menyalurkan syahwatnya itu pada yang haram, apakah ia berdosa? Begitulah jika ia meletakkannya pada yang halal, maka ia mendapat pahala” (Hadits riwayat Muslim).
Menurut Imam Ahmad jika suami meninggalkan isteri tanpa halangan apa-apa kemudian tidak kembali, maka batas waktunya adalah 6 bulan. Setelah itu pengadilan berhak menceraikannya karena isteri akan menderita di luar waktu itu dan setelah perceraian itu tentunya memberinya hak bersuamikan laki-laki lain.
Dalam kasus Anda, perginya Anda adalah untuk bekerja, oleh karena itu tawarkan risiko pekerjaan Anda itu kepada calon isteri Anda nanti agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jika isteri Anda shalihat dan mencintai Anda tentu semua akan bisa diantisipasi. Tanyakan pada atasan Anda apakah ada dispensasi agar Anda dapat mengunjungi keluarga maksimal 4 bulan sekali. Pikirkan secara jangka panjang bahwa suatu saat Anda dapat bekerja yang memungkinkan lebih banyak waktu untuk mengunjungi keluarga, misalnya bekerja di pelabuhan atau wirausaha di rumah setelah mengumpulkan cukup modal. Semoga Allah swt memberi barokah pada upaya Anda dalam mencari rizki.
Wallahu a’lam bissshawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ibu Urba