Assalamu’alaikum wr wb
Ana seorang perempuan, yang cukup lama mencoba mempelajari Islam secara kaffah. Awalnya ana seorang yang jahil, dan suka gonta-ganti pacar. Maklum ana memang dikaruniai hampir segalanya, kecantikan, kecerdasan, dan kekayaan.
Ana akui proses untuk menjalani Islam dengan syar’i cukup sulit, terutama dalam hal mencari jodoh. Awalnya ana sempat merasa tidak mungkin kalo ana bisa menerima seorang ihwan yang belum ana kenal, dan tanpa pacaran, ana akan menerimanya asalkan ia sholeh. Dengan keyakinan yang coba kupaksakan, akhirnya ana mencoba untuk menjalani proses ta’aruf.
Dari biodata yang ana terima secara syar’i tidak ada alasan untuk menolaknya, dia sholeh, berakhlak baik, dan dari keluarga baik-baik pula. Tapi setelah bertemu dengan orangnya, ana gak tahu apakah ini subyektifitas atau bagaimana. Jujur ana sempat syok melihat tampangnya, sebenarnya secara umum tidak bisa dikatakan jelek, tapi ana tidak bisa menyukainya, mungkin karena dulu-dulunya mantan ana cakep-cakep. Menyedihkan memang jika itu yang menjadi alasan.
Tapi sebenarnya ana juga tidak yakin dengan sifatnya yang pendiam dan cenderung kaku, dan ana merasa tidak bisa cocok dengannya. Ana sekarang menjadi trauma, apakah memang iman ana yang masih lemah, dan belum siap, atau memang ana tidak sanggup untuk menjalani Islam dengan tuntunan syariah yang ketat.
Mohon masukannya, jazakillah…
Wassalamualaikum wr wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mbak Vivi yang sedang bingung,
Tentu memang membingungkan ya, situasi yang sedang mbak alami saat ini. Saya pun ikut merasakannya juga. Dan perasaan seperti sebenarnya manusiawi dan wajar, apalagi mengingat keadaan sosial mbak Vivi selama ini agak berbeda. Tentu bukan sebuah kesalahan kalau muncul perasaan asing, bahkan sampai syok melihat calon yang diajukan.
Yang saya ketahui tentang hal-hal seperti itu dalam agama Islam, masih ditolelir dan dibenarkan dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya, dahulu ada seorang wanita shahabiyah yang merasa kurang cocok dengan orang yang dijodohkan kepadanya. Kalau tidak salah namanya adalah Zainab ra.
Beliau ini konon dijodohkan oleh nabi SAW untuk diperistri oleh Zaid, anak angkat nabi sendiri. Zainab adalah seorang wanita terhormat, keturunan ningrat dan kaya. Sedangkan Zaid adalah seorang budak yang kemudian dibebaskan. Secara status sosial, ada jurang perbedaan yang sangat lebar tentunya.
Akhirnya, kisah rumah tangga mereka berakhir dan Allah SWT memerintahkan nabi Muhammad SAW untuk menikahi Zainab yang telah menjadi janda.
Mbak bisa bayangkan, bahkan di kalangan para shahabat nabi yang mulia itu, tetap saja dimungkinkan adanya rasa tidak cocok antara sepasang suami isteri. Dan alasannya pun sederhana, yaitu karena adanya perbedaan kelas sosial yang sangat lebar antara keduanya. Dan keadaan seperti ini diakomodir serta mendapatkan
Sepenggal kisah di atas tentunya bukan sebuah legitimasi bahwa kita boleh seenaknya menilai orang semata-mata karena status sosialnya.
Tetapi sebelum memutuskan, mengapa tidak dilakukan dulu proses untuk mengenal dari sisi lainnya. Mungkin memang tampangnya kurang menarik, terutama dibandingkan dengan ‘para mantan’ dahulu. Akan tetapi, tentu pertimbangannya kan bukan hanya tampang saja. Siapa tahu dia juga punya sisi yang lebih, yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Jadi sebaiknya jangan langsung ditolak, tetapi juga jangan langsung diterima. Pikirkan terlebih dahulu baik-baik. Menunda bukan berarti menolak. Dan jangan lupa untuk berkonsultasi kepada ayah dan ibu. Biar bagaimana pun mereka adalah orang yang paling berjasa kepada kita. Juga konsultasi kepada orang-orang yang sudah punya pengalaman banyak dalam hal berumah tangga.
Kalau calon anda itu punya niat kuat, persilahkan saja untuk berkenalan dengan mahram anda. Biar nanti bisa dikorek lebih jauh informasi dan detail-detail tentang dirinya.
Dan jangan lupa berdoa serta minta petunjuk dari Allah SWT. Sebab Dia adalah tuhan yang membolak-balik isi hati seseorang. Suka dan tidak suka, datang dari-Nya.
Semoga kita tetap berada dalam lindungan-Nya, amien.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.