Tidak Bisa Melayani Suami Dengan Baik

Ibu yang saya hormati,

Bu saya mau konsultasi masalah keluarga, begini : umur saya 35 tahun, sudah menikah selama 15 tahun (suami usia 42) dan dikaruniai anak 1 laki-laki sekarang usianya 13 tahun.

Pada awal nikah saya dituduh tidak perawan sama suami saya (padahal sebelumnya saya tidak pernah melakukan hubungan intim dengan siapapun), setelah 2 tahun nikah ketahuan juga kalau ternyata sebenernya mas kawin yang dia berikan ke saya itu palsu (maskawin berlian padahal bukan dan ketauan oleh sodaranya dia sendiri), pada saat itu saya hancur bu, sudah dituduh yang bukan-bukan trus ternyata yang dia berikan ke saya pun palsu (perasaan marah, benci, dan lain-lain) pada saat itu rasanya saya mau mati saja, tapi akhirnya saya pergi ke ustadz dan di kasih saran selanjutnya saya memaafkan dia walau sebenernya saya hancur tapi demi rumah tangga dan anak maka saya lanjutkan rumah tangga.

Suami saya orang egosi setiap saya bicara tidak pernah di denger dan selalu menyepelekan saya, sementara saya orangnya apapun yang saya alami selalu cerita tapi dia tidak pernah merhatiin saya (akhirnya saya suka menulis surat kalau lagi kesel untuk suami saya)

Saya kerja (dan penghasilan saya dipakai untuk biaya hidup rumah tangga kami) Alhamdulillah penghasilan saya besar, suami saya awalnya menganggur (dulu seorang pelaut), dan akhirnya dia buka travel alhamdulillah juga ada penghasilan walau setiap penghasilan dia selalu mementingkan dirinya sendiri tapi itu bukan suatu masalah.

Selama saya nikah walau saya memaafkan dia tapi suka ada muncul perasaan saya benci dia dan akhirnya saya tidah pernah melayani suami dengan benar (kalau boleh dibilang saya acuh) dan dia tahu kalau saya bersikap dingin kepada dia.

Intinya Saya merasa dosa besar karena selama ini tidak pernah melayani suami dan kayanya saya tidak kuat dan tidak sanggup lagi jadi istri dia, saya pikir daripada saya hidup penuh dengan kemunafikan mending saya hidup sendiri aja dan khusu beribadah memohon ampunan. saya minta cerai (dan saya ungkapin perasaan saya selama ini saya berusaha jujur ke dia walau tau jujur kadang menyakitkan). Waktu itu dia bilang "kalau emang sudah tidak suka saya akan merelakan"

Saat ini saya ingin hidup sendiri dan umur saya sudah tua tidak mau hidup saya penuh dengan kepura-puraan, serta bubadzir, saya ingin mencari bekal untuk mati dan tidak mau memikirkan masalah duniawi. (fokus ke agama, anak dan kerjaan)

Yang ingin saya tanyakan:

  1. Apakah nikah saya sah dengan maskawin palsu
  2. Apakah dengan kata merelakan berarti suami saya udah menceraikan saya
  3. Apakah jalan saya bener Dari pada hidup saya penuh dengan kebohongan (pura-pura baik di depan suami padahal hati saya tidak ridho) saya pilih Cerai dengan suami saya?

Demikian email ini saya sampaikan, dan atas dibacakan dan sarannya saya ucapkan terima kasih.

Wasalam

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Ibu Rina yang dirahmati Allah,

Saya dapat mengerti kegundahan yang Anda rasakan, rumahtangga Anda sudah terjalin relatif lama, nampaknya ada kejenuhan dalam hubungan dengan suami; beberapa peristiwa masa lalu yang mengecewakan dan sikap suami sekarang yang kurang memperhatikan Anda nampaknya menjadi pemicunya.

Ibu Rina yang dirahmati Allah,

Suami Anda pernah menuduh Anda tidak perawan padahal Anda tidak pernah berhubungan intim dengan laki-laki. Meskipun peristiwa ini sudah 15 tahun yang lalu, nampaknya sampai sekarang Anda masih sakit hati, ya Bu. Apakah saat itu Anda sudah menjelaskan duduk persoalannya sehingga suami mencabut tuduhannya? Nampaknya Anda membutuhkan pengakuan suami dan itu wajar karena Anda tidak bersalah, namun mengertilah bahwa suamipun memerlukan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan, misalnya apakah Anda pernah jatuh atau ada peristiwa lain yang dapat merusak selaput dara Anda? Konon, ada kasus wanita yang tidak mengeluarkan darah pada malam pertama meskipun mereka masih perawan, dokter mungkin akan dapat menjelaskan masalah ini. Jika dirasa suami harus dijelaskan masalah ini, Anda berdua dapat berkonsultasi bersama pada ahli medis.

Ibu Rina yang dirahmati Allah,

Tentang mahar suami yang bukan berlian asli, nampaknya juga masih mengganggu pikiran Anda, padahal sudah 15 tahun berlalu. Seorang muslimah yang baik tidak akan menuntut mahar yang di luar batas kemampuan suami, mungkin saat itu kemampuan suami belum memungkinkan membeli berlian asli. Ingatkah Ibu akan kisah indah pada masa Rasulullah saw. ketika para sahabat ra tidak mampu memberi mahar untuk calon istrinya maka Rasulullah saw mengizinkan mahar dengan Al Qur’an atau barang apapun yg dipunya walaupun sebuah cincin dari besi? Termasuk putri Rasulullah sendiri mengikhlaskan dirinya dinikahi dengan mahar tersebut, tidakkah ini pelajaran berharga untuk para muslimah? Ibu Rina yang shalihah, harga diri seorang wanita tidak didasarkan pada besarnya nilai mahar yang diterima, kalau toh saat itu suami membohongi dengan memberi berlian yang bukan asli, maka ini lebih pada persoalan akhlak, bukan kemudian menjadikan pernikahan Anda batal, insya Allah. Apalagi jika kemudian ibu mengikhlaskan dan memahami kondisi suami.

Ibu Rina, suami sebagai manusia biasa, tentu punya kekurangan dan kesalahan, seperti Andapun tentu bukan wanita yang sempurna. Hubungan suami- istri bukan hanya sebagai sepasang kekasih, tetapi juga partner atau mitra dalam mengarungi kehidupan. Sebagai mitra wajar jika kemudian saling bahu membahu atau saling mengisi kekurangan masing-masing. Ibu merasa tidak bisa melayani suami dengan baik, bisa jadi karena ada rasa kecewa yang masih mengganjal hingga sekarang. Ibu belum mengikhlaskan apa yang sudah terjadi pada masa lalu, kan Bu? Nah, itulah yang mengganggu secara psikologis dalam hubungan suami-istri. Komunikasi yang tidak lancar dapat memperparah kondisi ini. Ibu, dalam berumahtangga, masing-masing kita sedang menyempurnakan separuh dien kita, oleh karenanya wajar jika amanah keiistrian atau menjadi istri, ibu, pasangan hidup, bukan tugas yang ringan. Bukankah itu bernilai separuh dari dien kita?

Ibu Rina, menjawab pertanyaan ibu, ketika istri meminta cerai, maka belum menjadi talak karena sifat seorang wanita memang emosional. Tapi kalau seorang laki-laki tidak dengan terpaksa dan sadar mengucapkannya untuk sekali maka sudah menjadi talak 1, namun talak 1 masih bisa tinggal serumah dan bisa ruju’ sewaktu-waktu. Misalnya terjadi hubungan suami-istri maka itupun sebagai tanda ruju’nya mereka. Namun untuk lebih jelasnya ibu bisa berkonsultasi di rubrik ustadz menjawab. Tentang apakah langkah ibu sudah benar dengan minta cerai daripada hidup bersama suami tapi penuh kemunafikan, saya kira permasalahannya bukan penilaian benar-salah, tapi apakah kemaslahatan bersama yang ibu tuju ataukah kepentingan sesaat? Ibu yang bisa merenung dan menjawabnya, pertimbangkan untung rugi, maslahat dan madharat bukan hanya dari sudut ibu sendiri, namun juga dari sudut anak dan masa depannya. Saya turut mendoakan bahwa Ibu dapat mengambil keputusan yang tepat. Diskusikan dengan suami tanpa emosional, namun dengan tenang dan niat tulus mencari yang terbaik.

Wallahu a’lam bish-shawab
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Bu Urba