Assalamualaikum Wr. Wb.
saya memiliki istri dan belum memiliki anak. saya adalah seorang pegawai BUMN dan istri saya bekerja sebagai PNS di jakarta. Istri saya berencana akan melakukan tugas belajar ke Jerman selama 2 tahun. Tugas Belajar Istri saya tersebut adalah inisiatif dari dia dan bukan tugas dari Kantor tempat dia bekerja. Istri saya memang sangat berkeinginan dan bercita-cita pergi ke sana mulai dari sebelum kami menikah dulu. saya sebetul nya tidak rela dia pergi ke sana bu ustad.
pertanyaan saya, bagaimana hukum nya istri saya pergi meninggalkan saya pergi keluar negeri selama 2 tahun. dan apa yang harus saya lakukan ?
terima kasih sebelum nya bu ustad.
Waalaikumsallam Wr. Wb.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu
Sdraku Abdullah yang dirahmati Allah swt.,
Anda sebagai suami wajar merasa berat akan ditinggal tugas belajar selama 2 tahun oleh istri. Selama itu Anda dan istri tentu tak dapat sering bertemu karena belajarnya istri yang cukup jauh memakan waktu dan biaya untuk itu. Kekhawatiran juga karena istri berada dalam kultur dan lingkungan baru yang berbeda dengan kultur semula. Saya memahami apa yang Anda rasakan; hal ini menunjukkan kecintaan Anda pada istri. Sedangkan Istri Anda nampak sangat concern pada peningkatan ilmu.
Sdraku Abdullah yang dirahmati Allah swt.,
Keinginan istri kuliah di luar negeri sepertinya ini adalah bagian dari cita-citanya yang masih menjadi obsesi sejak sebelum sampai menikah. Kalau dulu Anda sudah mengizinkannya, maka mungkin kini setelah ada kesempatan istri akan menagih janji itu. Namun jika Anda belum menjanjikan ketika itu, maka sewajarnya kepergiannya ini dimusyawarahkan baik-baik. Peningkatan ilmu memang hak setiap orang, kadang untuk ilmu-ilmu tertentu malah menjadi kewajiban. Hal ini dapat dilihat dari sisi yang positif; namun perlu dicari titik temu agar dua kepentingan ini dapat mencapai win-win solution atau berdampak adil bagi kedua belah pihak.
Sdraku Abdullah yang dirahmati Allah swt.,
Anda adalah qawwam bagi istri, artinya sebagai pemimpin yang mesti dapat mengarahkan istri dan anggota keluarga kepada jalan yang benar. Gunakan kepemimpinan Anda ini benar-benar untuk melindungi, mengayomi namun juga mengarahkan ketika bengkok. Jadilah sosok pemimpin keluarga yang dapat menyadarkan istri ketika salah, memberi semangat ketika lemah, menunjuki ketika tersesat. Oleh karena itu Anda juga perlu berbekal diri, bekal iman dan ilmu, bekal akhlak dan keteladanan, salah satunya adalah akhlak yang baik dalam berkomunikasi, tegas menyampaikan kebenaran namun tetap sejuk diterima oleh si pendengar.
Sdraku Abdullah yang semoga dicintai Allah swt.,
Dalam keluarga juga mesti dijunjung prinsip-prinsip musyawarah, artinya urusan istri adalah urusan Anda dan sebaliknya yang harus diselesaikan secara bersama, tidak hanya untuk kepentingan sepihak. Jika kepergian istri tanpa meminta pendapat Anda maka istri sudah melanggar prinsip musyawarah, atau jika Anda melarang istri pergi tanpa memberi solusi, maka Anda nampak sebagai suami yang otoriter dan tidak memahami keinginan istri. Jadi saran saya musyawarahkan secara baik-baik, Anda dan istri harus menurunkan dari target ideal masing-masing. Atau mencari cara agar keduanya dapat berjalan seiring; sebagai contoh apakah istri dapat menunda keinginan ini beberapa tahun lagi sampai Anda dapat mencari izin membersamai istri dari perusahaan Anda bekerja; atau sebaliknya istri dapat meningkatkan kapasitas keilmuannya namun jangan sampai mengganggu stabilitas keluarga dan menafikan kewajibannya sebagai istri. Inilah yang harus dibicarakan bersama. Seorang istri yang hanya mementingkan karir namun tidak mementingkan kepentingan suaminya, tentu bukan seorang istri shalihah. Namun Andapun jangan menggunakan hak Anda ini dengan membabi buta. Sarankan misalnya untuk mencari waktu yang tepat atau mencari alternatif negara lain yang lebih dekat sehingga kepergiannya tidak mengganggu tugasnya sebagai istri. Memang masing-masing pihak harus siap berkorban dan menjauhkan dari egoisme yang dapat mengganggu pemenuhan hal yang wajib. Karena hal yang wajib tidak semestinya dikalahkan demi mengejar hal yang sunnah atau mubah. Atau ketika keduanya sama-sama kewajiban, maka wajib ’ain tentu lebih prioritas daripada yang wajib kifayah.
Bpk. Abdullah, saya kira Anda dapat mengukur kekuatan Anda sebagai laki-laki apakah selama ditinggal istri dapat menahan hasrat biologis atau tidak, berterusteranglah pada istri karena dapat berdampak pada keharmonisan Anda berdua.Iringi semua usaha dengan doa dan lebih afdhol Anda bersama istri melakukan sholat istikharah…semoga Allah swt memberi solusi yang tepat pada Anda dan istri, Pak. Amin..
Wallahu a’lam bisshawab,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Bu Urba