Assalamu’alaikum wr, wb.
Saya mahasisiwi tingkat II sebuah unuversitas di Depok, umur saya 19. Sekitar tiga bulan lalu uwa/ tante (kakaknya ayah) membincangkan guru ngaji beliau (uwa). Perbincangan itu berujung pada sebuah pertanyaan maukah saya dijodohkan dengan guru ngaji (ustadz) uwa saya. Uwa saya satu bulan ini sudah bicara dengan orang tua saya dan orang tua saya mempersilahkan jika saya sudah merasa mantap. Guru ngaji uwa saya pun sudah berkecukupan dalam materi dan ilmu.
Masalahnya adalah
1. Uwa saya memiliki harapan besar kalau saya akan mau menikah dengan ustadz beliau, sehingga saya belum berani berkata apa-apa apalagi menolak (padahal menerima perjodohan itu pun saya belum berani). Saya khawatir beliau kecewa.
2. Saya merasa persiapan individu dan sosial saya belum memadai.
3. Saya baru kuliah satu tahun dan baru menginjak tahun ke dua, saya pun sedang concern terhadap sebuah organisasi non lembaga da’wah (organisasi ini berkaitan dengan kelautan, sehingga saya harus sering ‘nyebur’ dan latihan dikolam maupun di laut karena saya dan teman-teman di kampus punya ‘misi’ di organisasi itu).
Intinya saya khawatir beliau (orang yang akan dijodohkan dengan saya) kurang bisa menerima aktivitas saya diluar kuliah tersebut. Saya khawatir status saya sebagai orang yang berkecimpung dengan organisasi kelautan akan merusak citra beliau sebagai guru ngaji
4. Saya masih ragu, apakah saya bisa membagi waktu untuk keluarga dengan aktivitas kampus yang tinggi
Saya harap ibu Anita bisa membantu..
Jazakillah khoiron katsiro.
Wassalaamu’alaikum wr, wb.
Assalamulaikum wr, wb.
Saudari Tiwi yang sedang ragu
Memutuskan menikah diusia yang relatif muda merupakan hal yang dianjurkan dalam agama. Namun tentu saja bila pribadi yang bersangkutan sudah cukup matang, kematangan kepibadian memang tidak selalu berbanding lurus dengan banyaknya jumlah usia yang telah dilalui seseorang. Apalagi menikah itu sendiri sangat memerlukan kematangan emosi, kemandirian, tanggung jawab serta mampu mengambil keputusan sendiri tanpa bergantung pada keputusan orang lain.
Seperti juga di usia anda yang baru menginjak 19 tahun, namun sudah diwanti-wanti oleh uwa yang berharap anda menikah dengan uzstad beliau. Tampaknya uwa anda sangat yakin dengan pilihannya yang dirasakan cocok untuk keponakannya. Di samping itu menurut uwa anda, pria tersebut juga telah memiliki kesiapan yang cukup baik untuk menikah, baik materi dan juga ilmu.
Sepertinya, diusia yang memang belum genap berkepala dua, anda merasa belum siap untuk terikat dalam ikrar suci pernikahan. Alasan yang anda kemukakan juga cukup beralasan, karena merasa pribadi anda belum matang dan kesibukan anda dalam aktivitas perkuliahan yang dikhawatirkan akan menjadi terhambat oleh kesibukan mengurus keluarga. Di samping itu hal yang lain yang menjadi kekhawatiran anda bahwa calon suami akan keberatan dengan kegiatan anda saat ini di sebuah organisasi kelautan.
Saudari Tiwi, tentunya kekhawatiran anda belum bisa dibuktikan. Sebelum segala hal yang menjadi kekhawatiran anda tadi dikomunikasikan terlebih dahulu dengan calon suami pilihan uwa anda. Mengenai ketidaksiapan anda menikah, memang tidak boleh dipaksakan, bila anda belum yakin menjalaninya. Namun apa salahnya anda melihat dan mempelajari terlebih dahulu calon yang ‘disodorkan’ uwa anda, siapa tahu nanti anda berubah pikiran.
Untuk memantapkan hati anda mengambil keputusan, cobalah memperbanyak kajian tentang keutamaan menikah dan kesiapan-kesiapan menjelang pernikahan. Dengan demikian anda akan lebih mantap untuk memilih, menerima atau menolak perjodohan ini.
Akhirnya saran dari saya, pelajari dahulu calon yang direkomendasikan uwa anda, jangan langsung menolaknya. Lakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk Allah, sebelum anda membuat keputusan penting dalam hidup anda. Bila dia jodoh anda Insya Allah jalannya akan dipermudah dan segala kekhawatiran anda akan sirna serta berganti dengan kemantapan hati dalam menjalani keputusan anda. Demikian juga sebaliknya bila dia bukan jodoh anda, anda tidak akan ragu-ragu lagi untuk menolaknya.
Wallahualam bishawab.
Wassalamualaikum wr, wb.