Bercerai dengan Isteri yang Mualaf

Assalamu Aalaikum Wr. Wb.

Saya seorang lelaki berumur 37 tahun dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Rumah tangga saya saat ini sedang diambang kehancuran, adapun masalahnya adalah karena saya sudah tidak tahan lagi mengendalikan perilaku isteri saya yang semau gue. Semenjak menikah delapan tahun yang lalu, isteri saya tidak pernah fokus dalam mengurus suami dan keluarga, bahkan boleh dikatakan dia sama sekali tidak mau mengurus keluarga karena segala keperluan saya dan keluarga, saya lakukan sendiri seperti masak, ngepel, mandiin anak, cuci piring dan segala macam pekerjaan rumah tangga kecuali nyuci baju dan nyetrika. Dulu saya juga suka memncuci baju, tapi karena saya merasa dia terlalu keenakan, saya tidak pernah mau lagi mencuci baju.

Hal lain yang sering membuat saya jengkel adalah sifatnya yang keras kepala dan tidak mau menuruti nasihat suami. Akibat sifat keras kepalanya itu sekarang dia terjerat utang sampai puluhan juta rupiah dan otomatis itu menjadi tanggung jawab saya sebagai suaminya. Hal lainnya adalah dia sering membuat saya malu, dia pernah berkelahi sampai jambak-jambakan dengan tetangganya sampai akhirnya si tetangga mengancam dia akan membunuhnya kalau kami tidak segera pindah rumah (akhirnya kami pindah rumah).

Satu lagi sifat buruk dia yang sering membuat saya khawatir dan terancam, dia orangnya nekad. Beberapa kali dia mencoba bunuh diri karena stres dengan utang-utangnya itu. Dia pernah dua kali mengalami depresi berat sampai dia benar-benar seperti orang gila. Sifat buruknya yang terakhir itu sering membuat saya khawatir akan keselamatan anak-anak saya.

Kalau kami bertengkar dan dia membicarakan kemungkinan kita berpisah (walaupun dia tidak secara tegas minta cerai), saya selalu mengatakan bahwa pernikahan buat saya satu kali seumur hidup. Saya tidak ingin mencerai-beraikan anak-anak saya. Saya tidak ingin saat-saat yang pahit yang saya rasakan ketika saya masih kecil dialami oleh anak-anak saya. Saya akan tetap bertahan sampai dia benar-benar berubah.

Itu prinsip saya dulu ketika saya masih bisa berharap agar isteri saya suatu saat mau berubah menjadi isteri yang patuh dan taat pada suaminya dan menjunjung tinggi kehormatan keluarga. Akan tetapi faktanya sedikit pun dia tidak berubah dan mungkin tidak akan berubah.

Akhirnya saya pun berpikir kemungkinan untuk bercerai dengannya. Masalahnya, isteri saya itu seorang mualaf dan bisa dikatakan dia itu telah dibuang oleh keluarganya. Akan tetapi walaupun begitu, saya yakin orang tuanya itu masih berharap isteri saya kembali ke keluarga besarnya dan kembali ke agamanya semula dengan membawa anak-anak saya.

Pertanyaannya:
Seandainya perceraian itu benar-benar terjadi, seberapa besarkah peluang saya untuk mendapat hak asuh anak-anak saya. Saya ingin hak asuh atas ketiga anak saya, tidak mau satu atau dua, tapi tiga-tiganya. Karena saya tidak mau anak saya tercerai-berai dan saya tidak mau anak-anak saya menjadi murtadin??

Wassalam,

Assalammu’alaikum wr. wb.

Bapak Salman yang dirahmatikan Allah,

Kadang memang tidak mudah mempertahankan prinsip ketika realitas tidak mendukungnya. Sebagaimana prinsip bapak untuk mempertahankan isteri namun semakin berkurang kekuatannya karena isteri menganggap isteri semakin menjadi perilakunya bahkan membahayakan perkembangan anak-anak anda.

Tentu menjalani kehidupan rumah tangga yang selalu dipenuhi konflik membuat resah setiap anggota keluarga yang ada di dalamnya. Perceraian memang bukan hal yang dianjurkan dalam Islam, namun menjadi solusi ketika rumah tangga memberikan kemudhoratan yang besar. Namun tentu saja jika akhirnya anda melepaskan isteri anda maka sebaiknya sudah melalui proses penyelesaian yang baik serta pemikiran yang matang akan berbagai resiko yang kelak diterima.

Perilaku buruk seseorang umumnya hasil dari pembentukan pola asuh yang kurang tepat pada masa-masa perkembangan dan pertumbuhannya. Masih memungkinkan bagi setiap orang untuk melakukan perbaikan diri baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Kadang seseorang membutuhkan tenaga ahli seperti psikolog atau psikiater untuk melakukan perbaikan atas perilaku yang tidak dikehendakinya. Jika kesabaran anda masih cukup untuk bersabar atasistri, mungkin bapak dapat membawanya dulu menemui ahli yang dapat membantunya mengendalikan perilaku buruknya.

Jika tidak ada jalan yang lebih baik lagi dan akhirnya perceraian yang terbaik, maka risiko pengasuhan anak akan diasuh oleh isteri memang dapat terjadi. Karena umumnya anak-anak kecil yang belum cukup umur dan masih membutuhkan pengasuhan ibunya maka akan diserahkan kepada si ibu. Namun latar belakang kepribadian ibu yang buruk atau ia pernah menderita penyakit seperti kejiwaan bisa memungkinkan ibu kehilangan hak asuhnya. Untuk lebih jelasnya saran saya anda dapat menghubungi BP4 atau pengacara perceraian yang lebih memahami dasar hukum hak pengasuhan anak. Wallahu’alambishshawab.

Wassalammu’alaikum wr. wb.

Rr. Anita W.