Sy sdh mengalami pernikahan sebanyak 4x dan semuanya kandas di tengah jalan. Sy bingung apa yang salah dalam diri saya dalam mengarungi hidup ini?. Mohon bantuan dan sarannya bagaimana jikalau saya diberi kesempatan untuk menikah lagi?
Apa yang harus sy lakukan agar tidak gagal lagi. Perlu ibu ketahui bahwa semua mantan isteri-isteri saya semuanya kurang dan bahkan dibilang tidak taat sama suami. Semua perkataan (tidak menyimpang dari alquran dan hadits) tidak pernah dituruti karena bertentangan dengan kehidupan ekonomi yang kami hadapi.
Saat ini saya hidup sendiri dan baru saja saya berpisah dengan isteri terakhir saya. Bagaimana dalam menjaga iman sy agar sy kuat dalam menghadapinya?. Saat ini saya trauma untuk menikah, takut nanti akan lebih buruk lagi. Untuk itu mohon sarannya apa yang harus saya lakukan agar hidup saya berarti dan buat ALlah dan berguna bagi sesama. Seperti hadist Rasul " sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain" >
Sekali lagi terima kasih atas bantuannya dan sarannya.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Bp. Rbm yang dirahmati Allah swt,
Berdasarkan cerita Bapak yang masih global di atas, saya cukup memahami bahwa saat ini Bapak dalam keadaan gamang untuk menikah lagi. Insya Allah kegagalan Bapak dalam pernikahan moga-moga dapat menjadi pelajaran penting. Anda sendirilah yang dapat mengambil pelajaran itu.
Mengapa Anda sampai gagal berulangkali? Faktor apakah yang sering menjadi penyebab? Benarkah karena seperti yang Bapak simpulkan bahwa semua wanita (mantan isteri) Bapak tidak ta’at sehingga Anda menceraikannya?
Nah, agar penyimpulan Anda tidak bersifat subyektif maka sangat baik kiranya jika Anda juga mencari masukan dari orang lain. Orang yang sekiranya dapat mencermati kegagalan pernikahan Anda yang sampai empat kali. Apakah perceraian itu berawal dari kehendak Bapak atau dari isteri, dapat menjadi perenungan. Jika semua dari para mantan isteri mungkin ada ”sesuatu yang salah” pada diri Bapak; tentu maksud saya ada hal yang harus diperbaiki.
Tetapi jika semua mantan isteri Anda anggap kurang (tidak ta’at sama suami) inipun perlu pencermatan lagi tentang definisi ta’at. Apakah Anda mengartikan ta’at itu secara sepihak sehingga para isteri merasa dalam keadaan ”terpaksa” untuk mentaati Anda? Meskipun isteri harus taat sama suami, tetapi ketaatan ini bersyarat. Bahkan dalam hal-hal tertentu Rasulullahpun membiarkan para sahabat berargumen dalam suatu urusan sehingga pendapat sahabat inilah yang diterima dan bukan pendapat pribadi beliau.
Padahal Allah swt. memerintahkan untuk mentaati selain taat pada Allah, juga taat pada Rasul dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin)., termasuk suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Namun ketaatan itu dalam hal-hal yang tidak ma’shiyat. Ayat di atas dilengkapi oleh ketentuan lain dalam Al-Qur’an bahwa kaum muslimin diminta membiasakan syura (musyawarah) dalam urusan-urusan yang memang belum ada ketentuan syar’iy.
Bp. Rbm, perkenankan saya mengilustrasikan dengan sebuah contoh: katakanlah Anda meminta isteri untuk menutup aurat, maka mereka harus mentaatinya, karena perintah Anda ini sesuai dengan syari’at. Atau isteri yang boros dalam pengeluaran belanja kemudian Anda ingatkan.
Inilah tugas Anda untuk mendidik mereka. Namun bukan berarti bahwa isteri yang tidak mau menutup aurat atau boros dalam belanja kemudian langsung Anda cerai. Perceraian memang dibolehkan, namun menceraikan isteri menghajatkan suatu alasan kuat dan menjadi pintu darurat, semisal sulit lagi diperbaiki rumah tangga setelah diupayakan secara serius dan sungguh-sungguh. Nah pertanyaannya kemudian adalah apakah Bapak maupun isteri sudah secara sungguh-sungguh mencari solusi? Apakah metode nasihat menasihati dalam keluarga sudah benar?
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baikakhlaknya dan yang paling berlemah lembut pada isterinya” (Hadits Riwayat Tirmidzi).
Kelemah-lembutan dalam menasihati isteri perlu dikedepankan. Jika sudah dan ternyata tidak ada jalan lain, yah apa boleh buat… pintu darurat dapat dibuka. Memang ada masalah-masalah yang kompleks seperti yang berkenaan dengan masalah aqidah, ma’shiyat dan isteri tidak mungkin memperbaikinya lagi. Sebagai kepala rumah tangga, seorang laki-laki tidak hanya berhak menuntut pelayanan dan ketaatan isteri, tetapi juga perlindungan, pembimbingan atau pembinaan kepada keluarga.
” Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah:228).
Suamilah yang wajib mendidik isteri-isterinya agar berakhlak baik, rajin beribadah, menjadi pendidik anak yang baik, dan sebagainya. Moga –moga ilustrasi di atas dapat menjadi bahan perenungan untuk Anda memulai hidup baru lagi. Jangan trauma, orang-orang yang berhasil adalah mereka yang dapat belajar dari kegagalan demi kegagalan yang pernah dialaminya.
Semakin teliti dan hati-hati memilih isteri, juga akan meringankan dalam mengantisipasi problem kita nanti setelah berumah tangga.
Di samping Andapun perlu muhasabah, introspeksi dan meningkatkan lagi kesholihan kita di hadapan Allah swt. Teriring do’a semoga Anda ke depan akan dapat mewujudkan keluarga yang langgeng ya, pak… tentunya keluarga yang senantiasa dalam suasana sakinah-mawaddah-warahmah. Amin..
Wallahu a’lam bissshawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ibu Urba