Assalamu’alaikum
Ibu Ustadzah yang terhormat, mungkin pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh cerita berikut:
Saya dulu pernah mendekati seorang wanita melalui ayahnya, alasan saya mendekatinya adalah saya melihat bahwa kehidupan sehari-hari keluarga dari wanita tersebut tergolong religius Islami.
Dalam hati saya berharap saya dapat mendapatkan jodoh yang betul-betul baik dalam berbagai segi. Baik itu wanitanya sendiri maupun lingkungan keluarganya.
Namun dengan berjalannya waktu nampaknya apa yang saya harapkan tidak sesuai dengan apa yang saya alami, yang ini disebabkan oleh rasa kecewa saya terhadap wanita tersebut (semoga Allah mengampuni dan merahmatinya). Rasa kecewa tersebut karena antara anggapan saya sebelumnya dengan kenyataan yang ada tidak sama. Maaf saya tidak bisa menyampaikan secara mendetail (saya hanya bisa mendoakan, semoga Allah mengampuni dan merahmati wanita tersebut dan keluarganya. amin)
Pertanyaannya:
Bagaimana cara mengidentifikasi seorang wanita itu betul-betul baik tanpa harus berburuk sangka? Mungkin lewat komunikasi yang dibangun biasanya akan tampak. kemudian tanda-tandanya apa secara ilmu psikologi/ilmu kejiwaan?
Trimakasih
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,
Sdr. Ian yang dirahmati Allah, ..
Sebagian orang percaya bahwa masa mengenal calon pasangan hidup yang terbaik adalah dengan cara pacaran. Sayangnya pacaran telah berubah fungsi bukan bertujuan untuk mengenal sholih/ tidaknya seseorang, namun lebih dominan pada kecenderungan aktifitas seksual, mulai dari bersentuhan hingga berhubungan badan laiknya suami isteri.
Ibu mendukung upaya pengenalan pribadi seseorang bukan hanya dari yang bersangkutan, tetapi juga dari ”orang-orang terdekat” yang sekiranya dapat memandang, melihat, menilai secara obyektif. Mengenal seseorang dari latarbelakang keluarga adalah salah satu jalan untuk mengetahui bagaimana ia dibesarkan, diasuh, dididik dalam sebuah keluarga. Namun ternyata orang tua tak selalu berhasil mengarahkan anak-anaknya, meskipun ia sudah berikhtiar untuk itu.
Artinya ada kalanya seorang ustadz, atau da’i atau orang tua sholih pun anaknya tidak seperti yang diharapkan. Tidak selalu ini berarti kesalahan orang tua. Pergaulan hidup yang begitu kompleks mungkin salah satu penyebabnya.
Sdr. Ian, terkait dengan permasalahan Anda yang merasa ”kecolongan” ketika mengetahui yang sebenarnya dari gadis tersebut, hal ini adalah sebuah ujian yang berharga. Ujian karena Anda sudah berhusnudhan sesuai apa yang diperintahkan agama, namun dalam perjalanan hal yang kita temukan tidaklah sesempurna yang kita harapkan. Ini juga menjadi pembelajaran agar kita kita tidak cepat-cepat menilai seseorang tanpa ada dasarnya.
Kepada sesama mu’min, anggapan kita yang mendasar adalah bahwa mereka adalah saudara kita, ”Innamal mu’minuna ikhwah. Fa ashlihu baina akhowaikum Wattaqullaha la’allakum turhamun”, (QSAl Hujurat: 10). Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara dan dituntunkan untuk saling memperbaiki satu sama lain;
Selain itu sebagai saudara maka ada hak-hak dan kewajiban persaudaraan. Diawali dengan ta’aruf (saling mengenal), kemudian tafahum (saling memahami), kemudian takaful (saling menolong). Ketika seseorang sudah mengenal saudaranya, maka ia akan dapat bersikap empati/ memahami, dan setelah memahami baik hal yang baik atau buruk maka diharapkan dapat saling menolong (takaful) agar keburukan saudara kita dapat menjadi lebih baik. Inilah inti persaudaraan, harus dimulai dari saling mengenal dalam rangka saling menolong dalam kebaikan dan taqwa.
Problem pertama adalah bagaimana dapat saling mengenal? Memang ada pelatihan-pelatihan ”Who Am I’ sebagai sarana melatih pengenalan diri sendiri dan pengenalan orang lain. Untuk menilai diri sendiripun ternyata masih ada hal-hal yang masih dalam ”jendela” yang tertutup, tak dilihat oleh diri sendiri. Mungkin inilah perlunya introspeksi dan bercermin pada pendapat teman terdekat tentang diri kita.
Nah, Sdr. Ian, proses pengenalan kepada seorang saudara atau teman kita memerlukan proses, tidak sebentar, kadang butuh waktu lama, bisa melalui interaksi langsung dengan yang bersangkutan dalam batas-batas pergaulan, bisa juga secara tidak langsung, misalnya melalui teman dekatnya dan orang-orang yang secara obyektif bisa memberi penilaian. Dalam pengenalan kepada seorang gadis yang ”kita minati”pun, diperlukan referensi yang akurat dari pihak lain, tak cukup secara langsung yang kadangkala temuan yang kita dapatkan justru tidak obyektif.
Hal ini disebabkan oleh sifat manusia yang kadang menggunakan ”topeng” (dalam istilah psikologi merupakan bentuk defence mechanism) agar dirinya berada dalam wilayah aman. Sebagai seorang mu’min, petunjuk dari Allah swt. sangat diperlukan agar kita diberi mata-hati untuk melihat hal-hal pada saudara kita dan semoga kita diberi-Nya petunjuk, furqon, untuk dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Amin. Demikian yang dapat Ibu sampaikan semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bissshawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ibu Urba