Apakah Saya Dikutuk Ibu Saya…?

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Saya seorang perempuan yang menjadi mualaf karena pernikahan. Pernikahan yang kami lakukan adalah karena kecelakaan (maaf: hamil duluan). Ketika menikah tidak ada seorang pun anggota keluarga saya yang mengetahui pernikahan kami. Mereka baru kami beritahu tiga bulan kemudian.

Keluarga saya terutama ibu sangat shock mendengar kabar saya sudah menikah dan menjadi seorang muslimah. Ibu yang dalam keadaan sakit semakin parah sakitnya dan tidak pernah sembuh lagi sampai empat tahun kemudian beliau wafat.

Ketika akan melahirkan anak pertama, saya mengalami kesulitan dalam proses kelahiran anak pertama tersebut. Seorang kerabat suami saya menyarankan supaya saya memohon do’a dan restu pada ibu saya supaya saya bisa lancar melahirkan anak pertama.

Ketika saya menelpon ibu saya, bukannya doa dan restu yang saya terima dari beliau tapi justru kata-kata yang sangat meyakitkan hati yang saya dapatkan, sehingga saya tidak tahan untuk tidak menangis. Ibu saya bahkan menyumpahi (mengutuk) saya bahwa hidup saya tidak akan pernah bahagia.

Pertanyaannya: Apakah do’a dan sumpah (kutukan) Ibu saya yang seorang nasrani bisa dikabulakn Allah dan kutukan itu menimpa pada diri saya yang seorang muslimah?

Mengingat selama sepuluh tahun saya menikah dengan suami saya dan telah dikaruniai tiga orang putra, saya memang merasa tidak bahagia. Kami sering sekali cekcok terutama karena masalah ekonomi. Perbedaan budaya dan karater kami yang sama-sama keras juga sering menjadi pemicu percekcokan di antara kami.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh

Ibu Yulia yang disayang Allah,

Subhanallah, ternyata jalan hidayah itu memang mahal ya Bu. Semoga saat ini Anda telah tentram dalam aqidah Islam, meski awalnya masuk Islam karena pernikahan. Semoga Allah swt mengampuni semua dosa-dosa Ibu dan suami di masa lalu. Amin. Pengorbanan Anda sedemikian besar dalam Islam, seperti para sahabat maupun shahabiyah yang dijauhi keluarganya karena telah masuk Islam. Andapun begitu, sampai-sampai harus kehilangan kasih sayang orang tua. Ibu Yulia tetap harus banyak bersyukur karena tak semua ‘dipilih Allah’ melalui jalan seperti yang telah Ibu lakukan.

Mahalnya hidayah itu, Bu, harus Ibu isi dengan pemahaman yang baik terhadap agama ini, juga interaksi yang intensif untuk mengamalkannya. Jadi Ibu benar-benar cinta terhadap agama, menghendaki perbaikan hidup berdasarkan syariatNya dan bertanggung jawab terhadap pilihan yang telah Ibu putuskan. Jadi tidak semata-mata karena Ibu menikah dan Ibu memilih menjadi muslimah. Perbanyak ilmu ya Bu, ikutilah majelis taklim atau pengajian secara rutin, karena agama itu tidak hanya sebatas ritual, tetapi lebih banyak didahului oleh pemahaman.

Ibu, di dalam Islam, masalah takdir, jodoh dan rizki semuanya sudah diatur Allah. Jadi, tak ada seorang pun yang bisa mencampuri nasib dan keberuntungan kita. Semuanya atas kehendak Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan yang kurang lebih artinya:

”Tidak beriman seorang hamba sampai dia mempercayai baik buruk takdir, dan sampai dia menyadari bahwa apa yang ditaqdirkan menimpanya tidak akan meleset dari dirinya dan apa yang ditaqdirkan meleset darinya tidak akan menimpanya.” (HR Tirmidzi).

Keikhalasan Ibu menerima krisis yang menimpa ini akan lebih membantu Ibu untuk mengatasi emosi yang muncul. Maka Andapun tak perlu menunjuk kesalahan kepada orang lain baik itu Ibu kandung Anda atau suami Anda.
Ibu jangan memikirkan terlalu dalam ”kutukan’ Ibu Anda, karena ia tak berpengaruh apa-apa selama keyakinan kita kuat kepada Allah. Tetapi kalau Ibu senantiasa memikirkannya maka akan mensugesti terus menerus. Ibu pasti akan mencari cara untuk menghubungkannya. ”Oh, pernikahan saya tak bahagia, ini pasti karena kutukan Ibu saya dulu ” atau, ”Oh, ekonomi keluarga saya tak lancar, ini pasti karena saya dikutuk….dst.” Janganlah Ibu percaya pada hal-hal semacam itu yang merugikan secara psikologis.

Daripada Ibu memfokuskan diri pada asumsi yang Ibu bangun, ”Pernikahan saya tak bahagia….”, kenapa Ibu tak mencari fokus yang lain, yang lebih optimis dan lebih menggairahkan, seperti: ”bagaimana ya… caranya agar pernikahan saya bahagia?”. Muhasabah atau evaluasi diri merupakan hal yang utama.
Misalnya Ibu menemukan bahwa masalahnya pada perbedaan karakter, Ibu bisa mengevaluasi diri dan mencoba mengubah diri. Mulai dari diri sendiri dan hal yang sederhana yang dapat Ibu lakukan.

Memang awalnya pasti sulit ya, masak sih sekarang saya melembutkan suara, dia enggak? Masak sih sekarang saya tak pernah membentaknya tapi dia membentak saya? Masak sih saya harus diam ketika ia mendebat saya? Sakit di awal tak masalah, Bu. Semoga makin lama Ibu makin piawai melakukannya dan cinta antara Ibu dan suami menjadi semakin subur dan berkembang. Ibu jangan berhenti mencoba kreatifitas baru dan sandarkanlah semua yang Ibu lakukan itu untuk mencari ridho Allah, tidak semata-mata mencari ridho suami agar Ibu tak merasa cepat lelah dan putus asa.

Semoga ketika banyak cara sudah Ibu coba, komunikasi yang sehat akan terbangun dengan suami maupun keluarga besar. Yakin ya Bu dengan pertolongan Allah…

Semoga Ibu dimudahkan dalam melalui cobaan-cobaan hidup. Amin.

Wallahu a’lam bish-shawab Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Bu Urba