Assalamu’alaikum wrwb Ustadzah..
Saya baru menikah selama 3 bulan ini. Saya dan suami sama-sama bekerja. Saya kerja kantoran di penerbit, sementara suami mencari ma’isyah dengan menjadi dosen. Pekerjaan saya menuntut saya harus stay di kantor dari pukul 9 pagi hingga 5 sore, Senin-Sabtu. Sebelum menikah saya sudah pernah membicarakannya dengan (waktu itu) calon suami, dan saya meminta pendapatnya. Saya bilang, jika beliau tidak keberatan, saya bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan lalu mencari pekerjaan lain yang lebih fleksibel waktunya, atau bahkan menjadi ibu rumah tangga. Tapi waktu itu calon suami bilang tidak apa-apa, tidak perlu resign dari pekerjaan.
Namun akhir-akhir ini suami sering uring-uringan mengenai waktu kerja saya ini. Beliau menganggap pekerjaan terlalu menyita waktu dan pikiran saya sehingga kurang maksimal dalam melayani suami. Beliau mengeluh saya kurang focus ketika diajak ngobrol, lalu beliau berasumsi, saya pasti sedang mikirin kerjaan – padahal tidak. Sering saya tidak focus karena mikirin besok pagi masak apa untuk sarapan, habis ini mau ngapain: bersihin kamar atau nyetrika, dll. Tapi saya sudah berusaha untuk nyambung kala diajak mengobrol, tersenyum, atau apapun yang bisa membuat beliau senang dengan keberadaan hamba di sampingnya. Beliau juga menganggap saya tidak terlalu becus mengurus rumah. Beberapa bagian di rumah kami dianggap masih berantakan dan beliau tidak puas akan pekerjaan saya mengurus rumah. Saya sendiri insya Allah selalu berusaha membersihkan rumah, menyapu dan merapikan bagian-bagian utama rumah sebelum saya berangkat kerja. Memang, mengepel dan ‘pembersihan total’ hanya saya lakukan di hari Minggu, saat waktu luang lebih banyak. Sampai sekarang Alhamdulillah saya bisa memasak untuk beliau, terutama sarapan dan makan malam.
Rupanya suami masih belum puas dengan hal ini. Beliau merasa, keberadaan saya belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam kehidupan pernikahan kami. Meski saya bekerja, gaji saya memang jauh di bawah suami. Segala fasilitas rumah tangga memang ditanggung oleh beliau. Dan menurut beliau, kurangnya maksimalitas saya melayani suami dan mengurus rumah adalah karena pekerjaan saya.
Untuk kesekian kalinya, saya menawarkan diri untuk berhenti bekerja. Tapi lagi-lagi beliau belum setuju, tapi juga belum member solusi untuk saya agar bisa lebih baik. Saya merasa tidak enak pada suami, rasanya saya cuma numpang tinggal di rumah kontrakan yang beliau biayai sendirian. Rasanya saya gagal menjadi istri yang baik, gagal menjadi berguna bagi suami tercinta.
Apa yang harus saya lakukan ya Ustadzah? Ilmu saya sangatlah dangkal akan hukum-hukum dalam pernikahan. Namun setidaknya saya paham apa hak suami yang harus saya penuhi, dan insya Allah saya selalu berusaha untuk memenuhinya. Namun belum juga bisa membuat suami bahagia. Sungguh saya senang bekerja, namun jika pekerjaan saya membuat suami saya tidak ridha, sungguh pula saya tak akan berpikir dua kali untuk berhenti saja. Tapi suami tidak ingin saya berhenti kerja. Saya bingung, Ustadzah.. bagaimana caranya agar keberadaan saya bisa membawa manfaat bagi orang yang saya cintai? Agar bisa membawa kebaikan dalam diri suami?
Mohon jawabannya… saya tidak ingin lagi mendapati suami marah-marah dan tidak ridha pada saya karena hal ini. Sungguh sepele rasanya, tapi benar-benar membuat saya bingung.
Jazakillah khairan katsira… Wassalam.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuhu
Ukhti T yang sholihah, usia pernikahan Anda masih sangat muda, baru tiga bulan. Barakallahu Laka wa baraka alaika wa jamaa bainakumaa fi kohir…
ibarat perjalanan, Anda baru selangkah meninggalkan garis start, masih banyak hal yang harus Anda lakukan agar Anda mendapatkan sakinah mawaddah wa rahmah dalam keluarga Anda. Masa-masa awal ini, adalah masa yang sangat menentukan bagi langkah Anda selanjutnya, karena di masa ini, pasangan baru mulai mengenal pasangannya. Mereka akan belajar watak, kepribadian, kebiasaan hidup, ritme biologis masing-masing, termasuk fluktuasi emosi. Mereka akan mengetahui cara pasangannya bergembira, marah atau pun sedih, atau saat mereka berpura-pura. Mereka juga akan mulai mengetahui hal-hal apa yang memicu munculnya emosi tersebut.
Di masa ini, juga akan terjadi adaptasi. Masing-masing pasangan akan saling menyesuaikan diri. Apa kira-kira yang menyenangkan yang akan dilakukan oleh pasangannya agar hati salah seorang di antaranya menjadi senang? Atau apa yang tidak akan dilakukannya karena akan menyebabkan pasangannya tak suka?
Inilah yang sedang terjadi pada Anda dan suami. Waktu kerja Anda yang panjang membuat suami merasa tak nyaman. Saat di mana ia pulang dan membutuhkan kehadiran Anda ternyata tak selalu ia dapati karena Anda masih bekerja. Dan hal itu menjadi alasan baginya untuk ‘uring-uringan’ menyalahkan pekerjaan Anda untuk hal-hal yang mestinya Anda tak lakukan. Di sisi yang lain, ia tahu Anda senang bekerja dan menikmati pekerjaan Anda. Ia juga tahu bahwa pekerjaan bagi Anda tak semata-mata untuk mencari uang tetapi lebih banyak pada kebutuhan psikologis yang akan membantu Anda untuk lebih bijak menyikapi hidup. Ini yang menyebabkan ia berat ketika Anda meminta izinnya untuk berhenti saja dari pekerjaan. Ia tahu ini akan menyakiti Anda, itu sebabnya ia melarang Anda berhenti. Sedang terjadi dilema dalam keputusan yang akan ia ambil. Itu sebabnya ukhti T, tampaknya memang harus Anda yang proaktif untuk membantunya mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri Anda.
Anda mungkin bisa mengambil beberapa alternatif yang berkenaan dengan pekerjaan Anda. Misalnya, Anda mengambil saja pekerjaan part time atau freelance yang akan mengurangi waktu kerja Anda. Atau Anda memanfaatkan keahlian Anda dengan bekerja di rumah. Barangkali ini akan menjadikan Anda lebih produktif dan lebih menenangkan hati suami.
Tentu saja Anda harus meyakinkan suami bahwa keputusan yang Anda ambil sudah Anda pertimbangkan dengan matang. Anda harus meyakinkannya ini untuk kebaikan Anda. Jangan gunakan alasan untuk kebaikan suami, karena tampaknya ia tak terlalu suka dengan alasan itu. Ia ingin Anda mengurangi jam kerja Anda dan lebih berkhidmat untuk urusan rumah tangga, tapi ia tak ingin ia yang dijadikan alasan bagi keputusan Anda. Maka bila Anda mempertimbangkan dengan matang, tentu Anda akan tahu dengan konsekuensinya. Mungkin di masa-masa awal, di mana Anda terbiasa bekerja di kantor, tentu berbeda suasananya dengan bekerja di luar kantor. Anda harus pertimbangkan hal itu.
Memang berbeda menjadi gadis yang belum bersuami dengan menjadi istri. Menjadi istri, tentu harus mendahulukan ridho suami setelah ridho Allah. Maka berusaha untuk menjadikannya ridho dengan mengetahui apa yang disenanginya tentu saja akan menjadi nilai ibadah bagi Anda.
Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi SAW Beliau bersabda : “
SeAndainya aku boleh memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang niscaya aku menyuruh seorang isteri untuk bersujud kepada suaminya.” (H.R Tirmidzi)
Anda pun tak harus mengkhawatirkan tentang peran serta Anda dalam pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga, karena masing-masing sudah memiliki tanggung jawab.
Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi SAW Beliau bersabda : “Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda :
“Satu Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu berikan kepada orang orang miskin dan satu
dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu.” (H.R Muslim)
Perjalanan Anda masih panjang dan Anda harus yakin Allah akan memberi keberkahan bila Anda berusaha bersungguh-sungguh mendapatinya. Amiin.
Wallahu a’lam bish-shawab
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
bu Urba.