Beberapa waktu yang lalu saya membaca suatu pertanyaan di millis mengenai “suami pelit”, sehingga menyebabkan isteri tersebut ingin bekerja agar keperluan pribadinya terpenuhi.
Mungkin untuk ukuran keluarga yang tingkat ekonominya rendah hal-hal semacam ini bisa dimaklumi. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, untuk memenuhi kebutuhan primer pun masih belum layak.
Tapi lain hal jika pada keluarga yang mampu menjalankan praktek tersebut.
Saya jadi membayangkan bagaimana seandainya hal tersebut terjadi pada saya. Bagaimana seharusnya saya bersikap andai saya mempunyai suami seperti itu? Terus terang mungkin saya akan bersikap protes dan menyatakan keberatan saya, karena sikap kurang bijaksana suami.
Terbayang oleh saya ketika saya ingin membersihkan rumah, tapi tak disediakan alat untuk membersihkan rumah seperti sapu, kain pel dan alat-alat kebersihan lainnya.
Untuk peralatan memasak pun saya disediakan peralatan yang hampr semuanya bekas, karena suami segan untuk mengeluarkan uang, maka tanpa malu suami pun meminta-minta peralatan rumah tangga yang bekas.
Untuk memenuhi pakaian anak dan peralatan mainannya pun saya harus meminta lungsuran atau belas kasihan orang lain, padahal uang suami saya banyak.
Keperluan pribadi saya untuk membeli alat-alat kosmetika seperti sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, sampoo, bedak dan lain-lain harus yang semurah mungkin tanpa memperhatikan efek dari penggunaaan alat kosmetik tersebut.
Anak-anak pun harus merengek-rengek dan menangis hanya karena tidak dibelikan sepatu.
Sedangkan untuk berzakat yang wajib pun menggunakan dalil yang bisa mengeluarkan zakat yang semurah-murahnya.
Subhanallah betapa tabahnya isteri yang tahan terhadap suami seperti itu.
Memang isteri harus taat dan patuh pada perintah suami, tapi jika suami bertindak salah dan kurang bijaksana, seharusnyalah kita sebagai isteri meluruskannya.
Bukankah kita diperintahkan untuk berada dipertengahan ketika membelajankan harta? Islam mengajarkan kita untuk bersikap pertengahan dalam segala permasalahan.
Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).
Memang sikap berlebihan tidak dianjurkan, karena sikap berlebihan merupakan sikap hidup yang dapat merusak jiwa, harta, dan masyarakat. Sedangkan pelit atau kikir merupakan sikap hidup yang menahan dan membekukan harta.
Sedangkan menurut hadits sebagai berikut:
- Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan, dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari dia msikin dan membutuhkannya. (HR Ahmad)
- Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran. (HR Ahmad)
Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa syariat Islam memiliki aturan-aturan yang harus dijalankan oleh setiap muslim dalam mengeluarkan hartanya. Dengan adanya beberapa kasus yang dipaparkan di atas saya jadi lebih berintrospeks diri lagi apakah harta yang telah dikeluarkan sudah sesuai dengan aturan Islam atau belum. Bukakankah kita percaya bahwa rizki itu Allahlah yang mengaturnya, dan tak akan pernah salah pemberian-Nya. Jangan pernah takut untuk mengeluarkan harta dijalan Allah. Jika pengeluaran harta sudah sesuai dengan syariat Islam maka insya Allah, Allah akan memberikan harta pada kita berlipat ganda dan senantiasa diberkahi.
Ada kata mutiara dari Buya Hamka yang mungkin patut kita renungkan:
“Jangan serupakan di antara Hemat dan Bakhil, karena orang yang hemat memperhitungkan perbelanjaannya, uang masuk dan uang keluar dengan tujuan apabila perlu dapat membelanjakan harta itu menurut sepatutnya. Tetapi orang yang bakhil mengumpulkan harta dengan tujuan semata-mata menumpul. Orang yang hemat mengatur hartanya, orang yang bakhil diatur oleh hartanya.”